Sambungan artikel PERTAMA
Akibatnya industri manufaktur yang memakan banyak biaya harus ditunda bahkan dihentikan, sebagaimana yang terjadi pada IPTN dan PT. Dirgantara Indonesia (DI). PT. DI, dianggap IMF memiliki kinerja buruk, sehingga IMF pun mendesak pemerintah Indonesia menghentikan sokongan dananya.
IPTN –yang kemudian berganti nama menjadi PT Dirgantara Indonesia (Persero) (PTDI) di tahun 2.000– kemudian ditutup karena IMF menolak menalangi dana bantuan untuk pengembangan pesawat, tulis finance.detik.com.
“Mantan Presiden Republik Indonesia (RI) periode 1998-1999 BJ Habibie mengungkapkan penyebab matinya industri pesawat terbang nasional yang dahulu cukup strategis. Dia mengatakan, pemberian dana pinjaman dari International Monetary Fund (IMF) untuk mengatasi krisis pada 1998 adalah penyebab utamanya.” (Habibie: IMF Ingin Matikan Industri Pesawat Nasional, beritasatu.com, Jumat, 18 Januari 2013)
“Tapi kemudian pada saat reformasi, IMF merekomendasikan untuk membubarkan semua industri strategis itu. Ini kriminal kalau menurut saya karena di saat kita sudah mau memetik hasilnya, tapi justru disuruh untuk membubarkan,” lanjut Habibie dikutip detikcom, Senin 25 Mei 2015.
Akibatnya PHK besar-besaran pun terjadi bagi para pegawai industri strategis itu. Padahal mayoritas dari mereka adalah ilmuwan yang sangat pandai dan tentu dapat memajukan Indonesia.
Baca: 3 In 1 Solusi Bebas Riba
Kejahatan Terselubung?
IMF dibentuk tahun 2016, oleh delegasi 44 negara di Bretton Woods dan diratifikasi secara resmi oleh 29 pemerintah pada tahun 1945, adalah lembaga dengan pemangku kepentingan terbesar negara-negara kaya seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang—telah berperan besar meningkatkan utang luar negeri dan domestik Indonesia dan banyak negara lain.
Indonesia punya sejarah kelam saat berurusan dengan IMF. Bukannya keluar dari krisis moneter tahun 1998, Indonesia malah terjerumus ke dalam krisis ekonomi hingga mematik kerusuhan di bidang politik dan keamanan.
Ekonom Rizal Ramli, pernah mengungkapkan saat-saat paling buruk ketika IMF mendikte pemerintah Indonesia di era 1998.
Dia melihat beberapa negara malah terperosok makin dalam. Benar saja, IMF segera mengeluarkan aneka kebijakan yang membuat situasi makin buruk.
“Begitu IMF masuk, dia sarankan tingkat bunga bank dinaikkan dari 18 persen rata-rata jadi 80 persen. Banyak perusahaan langsung bangkrut,” kata Rizal.
Akibat saran IMF, pemerintah terpaksa menyuntikkan dana BLBI sebesar US$ 80 miliar, yang dinilai Rizal awal mula kasus korupsi megatriliunan yang belum tuntas di Indonesia.
Yang paling parah, IMF meminta Indonesia menaikkan harga BBM. Akhirnya pada 1 Mei 1998, Presiden Soeharto menaikkan harga BBM hingga 74 persen dan berdampak kerusuhan dan demonstrasi besar-besaran di Indonesia.
Saran-saran IMF saat krisis 1997/98, membuat kondisi ekonomi negeri ini kian terpuruk hingga sekarang. Sementara IMF sendiri mengakui gagal membantu Yunani yang baru-baru ini didera krisis global belum lama ini.
Peneliti Friedrich Hayek dan Milton Friedman dalam koran “Sosialist Worker ” pernah mencerca IMF dengan mengatakan, “IMF menggunakan utang sebagai senjata untuk memaksa reformasi neoliberal kejam ke pemerintah terpilih.”
“Ada banyak hal yang patut disoraki dalam agenda neoliberal,” tulis pengarangnya. “Namun, ada aspek agenda neoliberal yang belum disampaikan seperti yang diharapkan”. Pekerjaan mereka, tambah mereka, menyebabkan “kesimpulan yang menggelisahkan” – termasuk bahwa kebijakan-kebijakan tersebut menghasilkan peningkatan ketidaksetaraan yang menggerogoti pertumbuhan ekonomi.
Pengamat ekonomi Indef Prof. Dr Didiek J. Rachbini, mengatakan, resep yang diberikan oleh IMF kepada negara-negara yang sedang terkena krisis seperti Indonesia (1998) dan Yunani pada saat ini adalah hal yang keliru. Bahkan, bahkan dia menilai keputusan pemerintah Indonesia di era 1998 telah salah mengikuti saran dari IMF.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Baca: BJ Habibie Dapat Penghargaan “Sepuluh November’ dari ITS
Penerapan ekonomi ribawi di Indonesia telah merusak sendi kehidupan masyarakat dan membangkrutkan negara. Jangankan melihat bagaimana kondisi orang/ perusahaan yang bangkrut karena terlilit utang berbunga, dan kondisi bank yang mengalami kredit macet, negara pun merasakan pahitnya terlilit utang, sehingga menjadi negara kelas dua, hina, mudah diinjak-injak orang, dan terutama kebijakannya dalam mengelola perekonomian nasional terlihat “tidak waras” bagi kepentingan masyarakat banyak.
Liberalisasi dan kehancuran ekonomi Indonesia akibat masuknya IMF juga diakui Mantan Menteri Koordinator Ekonomi Kwik Kian Gie.
“Kita saksikan banyaknya kredit macet ketika Soedradjat Djiwandono yang menerima getahnya dari liberalisasi oleh Adrianus Mooy atas perintah IMF.” (IMF Merusak dan Sangat Merugikan Indonesia, Kwik Kian Gie dalam Kwikkiangie.com, 7/20212)
Dengan hadirnya IMF, Indonesia akhirnya terililit utang ribawi.
Lucunya sekarang ini, 20 tahun berselang, kita menghadapi kondisi yang hampir-hampir mirip dengan krisis moneter 1998. Dan, lagi-lagi, kita dengan penuh kebanggaan mengundang IMF sebagai tamu agung dengan menyiapkan karpet merah dan jamuan super mewah sampai-sampai menghabiskan dana hampir satu triliun.
Tidak cukup kah kegetiran BJ Habibie? Dan sekarang mengapa kita masih keukeuh mengundang mereka lagi?*/Rofi Munawwar