Sambungan artikel PERTAMA
Kedua, yang juga menjadi masalah adalah apakah cadar menjadi ancaman negara? Pihak UIN Kalijaga menjurus ke arah sana. Permasalah ancaman negara dengan prinsip salus populi suprema lex (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi) dan kemudian dihubungkan dengan pelarangan pengenaan cadar juga merupakan kekeliruan.
Untuk membuat formulasi bahwa sebuah keyakinan beragama kelompok tertentu memberi ancaman kepada negara bukan sesuatu yang mudah. Jangankan dari sudut pandang Pancasila, dari sudut pandang liberalisme pun-yang memisahkan negara dengan agama- bukanlah sebuah konsensus memberi ruang terlalu besar kepada negara untuk membatasi kebebasan beragama dengan dalih sebuah keyakinan atau aktivitas bertentangan dengan liberalisme.
Varian Liberalisme: Radikal vs Pluralis
UIN SUKA kerap dikait-kaitkan dengan agenda liberalisasi yang marak di sejumlah perguruan tinggi keislaman. Bahkan ketika isu cadar mencuat di UIN SUKA, tuduhan itu kembali agenda liberalisasi muncul. Salah satunya adalah cuitan Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah di media sosial Twitter yang mengaitkan kebijakan rektor UIN dengan liberalisasi. Tuduhan atau kaitan UIN SUKA dengan agenda liberalisasi memang bisa dilacak baik secara literatur ataupun kesaksian. Masalahnya adalah jika benar agenda liberalisasi itu hidup, liberalisme tidak tepat diterapkan di negara Pancasila, terlebih liberalisme radikal.
Liberalisme sendiri ketika berhadapan dengan agama setidaknya bisa dikategorisai ke dalam tiga bentuk.
Pertama, liberalisme radikal totaliter yang dicirikan dengan sikap anti agama,bahkan permusuhan, yang luas dan kental. Contoh terbaik untuk kategori ini adalah rezim Attaturk Turki dan Prancis di awal revolusi.
Baca: Terkait Cadar, PP Muhammadiyah: Tak Bisa Disebut Radikal berdasarkan Busana
Kedua, liberalisme radikal restriktif. Sebuah gaya radikal dalam tubuh liberalisme yang ditandai dengan sikap membatasi agama jika dipandang berseberangan dengan liberalisme.
Stephen Maccedo dan Will Kymlicka (dalam beberapa sisi) adalah contoh liberalis model ini.
Ketiga, liberalisme pluralis. Liberalisme dengan corak ini cenderung bersahabat dengan agama, meskipun tidak bisa dikatakan sesuai dengan agama, terlebih Islam. Bagi liberalisme pluralis, doktrin agama, dalam banyak kesempatan, tidak selalu menjadi masalah walaupun bertentangan dengan prinsip-prinsip liberalisme.
Di Amerika Serikat, perseteruan antar liberalisme radikal restriktif dengan liberalisme pluralis juga hidup. Salah satu yang merepresentasikan perseteruan itu adalah kasus Minersville v. Gobitis(1940) dan kasus West Virginia v. Barnette (1943).
Kedua kasus ini menjadi menarik karena menggambarkan setidaknya dua fenomena. Pertama, perseteruan antara negara dan kelompok keagamaan yg mempertahankan kebebasan beragama. Kedua, perubahan sikap AS dari satu liberalisme ke liberalisme yang lain.
Baca: UIN Suka Cabut Larangan Bercadar, Dahnil: Alhamdulillah
Kasus Minersville v. Gobitis berawal dari individu siswa dari kelompok Saksi Yehuwa (Jehovah’s Witnesses) yang bersekolah di lembaga pendidikan Minersville School District menolak melakukan aksi hormat bendera (flag salute), sebab aksi demikian dianggap melanggar ajaran agama yang diyakini kelompok Saksi Yehuwa. Akan tetapi, sikap menolak melakukan hormat bendera itu harus dibayar mahal,ketika pihak sekolah kemudian memutuskan mengeluarkan siswa dari sekolah, lantaran dipandang menyalahi peraturan tentang kewajiban hormat bendera.
Saat kasus dibawa hingga tingkat Supreme Court, Mahkamah Agung AS saat itu memutuskan siswa yang menolak kewajiban menghormat bendera kalah dalam sengketa tersebut. Persoalan tidak berhenti sampai di sini. Kasus sejenis kembali muncul 3 tahun berselang yang kemudian dikenal dengan kasus West Virginia v. Barnette. Kali ini Supreme Court AS memenangkan kelompok yang melakukan penolakan hormat bendera, karena memandang tidak alasan memadai bagi negara mewajibkan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan beragama individu atau kelompok. (ChuckSmith,“The Persecution of West Virginia Jehovah’s Witnesses and the Expansion of Legal Protection for Religious Liberty,” Journal of Church and State, 3, 2001: 543, 570-576).
Hakim Supreme Court, Felix Frankfuter, yang menjadi satu-satunya hakim dissenting dalam kasus West Virginia v. Barnette bisa dijadikan contoh liberalis radikal restriktif. Bagi Frankfuter negara bisa membatasi kebebasan beragama jika memang dibutuhkan, meskipun bukti-bukti untuk mengatakan “dibutuhkan” tidak kokoh.Kedua kasus sekaligus ini menunjukkan bahwa argumen ancaman terhadap negara yang dapat membatasi kebebasan berkeyakinan (beragama) tidak menjadi konsensus di kalangan liberal yang dikenal tidak mendasarkan argumennya pada agama. Jika pada negara liberal –yang tidak merujuk pada nilai agama- masih memberi ruang pada kebebasan berkeyakinan, maka tidak seharusnya begitu mudah menyematkan alasan ancaman terhadap negara dengan membatasi kebebasan berkeyakinan (beragama) di negara Pancasila yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Melihat fenomena pelarangan cadar di UIN SUKA, mungkin bisa dijadikan peringatan bahwa liberalis radikal sudah mulai menampakkan diri, paling tidak sudah menyemai benih. Di Indonesia liberalisme radikal ditandai dengan sikap membatasi gerak agama ketika dipandang bertentangan dengan prinsip liberalisme (kerap bersembunyi di balik Pancasila).
Preseden sebelumnya dapat diamati dalam beberapa kasus seperti: stigmatisasi anti kebhinekaan terhadap mereka yang memilih pemimpin berdasarkan agama; cap intoleran bagi siapa yang enggan mengucapkan “selamat” di hari raya non Muslim; dan anti penerapan syariat dalam kehidupan bernegara dengan alasan pluralisme. Sebagai negara yang berasas Pancasila pemahaman liberalisme radikal baik totaliter atau restriktif tidak cocok dan bertentangan dengan semangat Pancasila itu sendiri. Bibit-bibitnya pun harus diwaspadai dan dihindari oleh para anak bangsa terutama kalangan umat Islam. Wallahu a’lam.*
Mahasiswa Magister Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Konsentrasi Agama dan Politik