Dilarang mengajar di USU, Deliar malah diangkat menjadi rektor IKIP Jakarta (sekarang namanya Universitas Negeri Jakarta). Tujuh tahun lebih ia memimpin Kampus Cagur (calon guru) itu, dari Februari 1967-Agustus 1974. Larangan mengajar di USU karena bersikap kritis, tidak membuatnya kapok untuk tetap kritis di posisinya sekarang. Ia tetap berani dan jujur bersuara. Walau berujung sama.
Malari
Dalam peristiwa Malari 1974, para mahasiswa, termasuk mahasiswa IKIP Jakarta, mendemo kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka. Mereka memprotes dominasi modal asing dan kesenjangan masyarakat. Demo itu pecah jadi keributan. Mobil-mobil dan toko-toko dibakar. Deliar memandang kerusuhan ini bukan ulah mahasiswa. Sebab truk-truk tentara yang membawa orang-orang pinggiran atau luar Jakarta, menurunkan mereka di tempat-tempat kerusuhan ini. Sedangkan penguasa menyalahkan mahasiswa.
Akibatnya, Ketua Dewan Mahasiswa UI, Hariman Siregar, dan beberapa orang dosen UI ditahan. Deliar membela mereka. Ia menulis artikel yang berjudul “Mencari Jalan Keluar dari Kemelut Sekarang” demi memperbaiki keadaan pendidikan dan pemerintah. Kalau penguasa dalam keterangannya lebih menekankan penertiban dan sanksi, tulisan Deliar ini lebih menekankan pembinaan dan penampungan aspirasi mahasiswa.
Setelah demo reda, Kopkamtib Laksamana Sudomo mengundang rektor-rektor atau wakil dari universitas negeri dan swasta di seluruh Jakarta hadir berbincang. Sudomo dalam pertemuan itu menilai rektor bertanggung jawab atas demo mahasiswanya. Omongan ini dibantah Deliar. Tuntutan demo mahasiswa itu, kata dia, bukan masalah yang ditangani rektor. Menurutnya, tangan rektor tidak cukup panjang untuk menghadapi masalah di luar kampus.
“Masalah luar itu harus ditangani pemerintah…,” tegasnya. Karena itu, “… rektor tidak bisa disalahkan dalam soal demonstrasi mahasiswa itu.”
Rapat antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) Sjarif Thayeb dengan para rektor se-Jakarta kemudian diadakan. Dalam rapat itu, Deliar membacakan pernyataan Senat IKIP Jakarta yang simpati pada gerakan mahasiswa. Sjarif tidak setuju dengan pernyataan itu.
Dipecat
20 Mei, ia dipanggil oleh Sjarif. Kali ini soal pidatonya dalam acara Dies Natalis IKIP Jakarta kemarin. Sjarif curiga pidato itu suatu “komando”. Ia menganggap Sjarif berlebihan. Sjarif akhirnya menyampaikan, pidato pegawai negeri tidak boleh berlawanan dengan kebijakan pemerintah. Bahkan Sjarif menganjurkan Deliar mengundurkan diri kalau tidak setuju.
Baca: Syamsuddin Arif: Politik Islam berbeda dengan Islam Politik
Dakwah Media BCA - Green
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Tapi dasar Deliar, ia tidak mau dibungkam. Pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar IKIP Jakarta yang berjudul “Partisipasi dalam Pembangunan” yang akan dibacakan pada 26 Juni, berisikan peninjauan kembali secara menyeluruh kebijakan pemerintah. Setelah dibaca oleh Sjarif, ia diminta menunda pembacaan pidatonya. Di antara isi pidato yang Sjarif larang bacakan adalah soal peran teknokrat dan kedudukan umat Islam.
Kalau mau juga diadakan pidato pengukuhan, kata Sjarif, syaratnya pidato itu diganti dan diperiksa terlebih dahulu. Tentu saja Deliar tidak mau. Sebab menurutnya pidato itu bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan bermaksud baik. Karena menolak, ia dilarang membacakan pidato pengukuhannya sebagai guru besar. Ia juga dipecat dari jabatannya sebagai rektor IKIP Jakarta. Tentu bukan suatu kehinaan baginya dipecat karena meneguhkan pendirian dan mempertahankan kejujuran. Peristiwa ini bukanlah tragedi bagi Deliar Noer, tapi tragedi untuk pendidikan bangsa ini. Apakah akademisi zaman ini banyak yang sekritis dan seberani Deliar? Wallahu a’lam. * Islam dan Negara (Bersambung….)
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)