Sambungan artikel PERTAMA
Invasi Soviet pada Afghanistan di tahun 1979 merupakan perkembangan lain yang memperkuat hubungan keduanya (Arab Saudi dan Ikhwanul Muslimin).
Bersama Amerika Serikat, Arab Saudi secara rahasia menyalurkan miliaran dolar pada kelompok mujahidin Afghanistan yang memerangi Uni Soviet. Melalui pengumpulan donasi dan upaya-upaya mobilisasi, Ikhwanul Muslimin dikatakan telah menjadi bagian integral dalam pendirian yang disebut sebagai “orang Arab Afghanistan“, yang nantinya ada kelompok al-Qaeda (al-Qaidah).
Tetapi hal ini tidak berlangsung lama. Keharmonisan antara mereka terganggu dua perkembangan penting di wilayah itu: Ikhwanul Muslimin yang menyambut Revolusi Iran pada 1979 dan mengecam Arab Saudi yang mengundang tentara asing ke dalam Perang Teluk.
Mantan Presiden Iraq Saddam Hussein telah memerintahkan invasi dan penjajahan Kuwait pada 1990 dalam upaya untuk memperoleh cadangan minyak negara itu.
Waspada akan itu, Arab Saudi dan anggota Dewan Kerajasama Teluk (GCC) lainnya meminta AS dan negara Barat untuk menangkis ancaman Iraq dan ekspansi di wilayah itu –sebuah langkah yang oleh Ikhwanul Muslimin dan cabang lokalnya dikritik secara terang-terangan.
Baca: Ikhwanul Muslimin: Mesir Telah Berubah Menjadi Negara Bandit
Sebuah gerakan Islam Saudi, dikenal sebagai Sahwa (Kebangkitan Islam) melancarkan kampanye domestiknya sendiri untuk memobilisasi masyarakat Saudi melawan keputusan kerajaan yang memperbolehkan tentara AS menggunakan wilayah Saudi dalam memerangi Saddam Hussein.
Kelompok itu juga menulis beberapa surat terbuka pada Raja Fahd yang menuntut reformasi politik radikal.
Gerakan itu dinilai menjadi tanda ‘sebuah penyimpangan’ yang jelas dari kerangka tradisional yang melaluinya pendirian agama berinteraksi dengan monarki, yang biasanya meninggalkan kebijakan dan politik luar negeri untuk dikelola secara eksklusif oleh keluarga penguasa sementara organisasi keagamaan mengendalikan budaya dan urusan keagamaan.
Pada 1995, kerajaan itu telah menutup gerakan Sahwa, tetapi secara penuh menyalahkan Ikhwanul Muslimin karena dinilai menjadi pembuat masalah yang bertanggungjawab atas perbedaan pendapat yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
Pasca serangan 11 September 2011 juga menandai pergeseran lain dalam dinamika antara kerajaan Saudi dan Ikhwanul Muslimin.
Menghadapi tekanan yang terus meningkat dari AS agar bekerjasama dalam melawan “terorisme”, kerajaan mulai bersikap keras pada organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan Ikhwan, membuka perang media melawan mereka – menandai perubahan besar dari sikap politik mereka yang pernah akrab di masa lalu.
Pangeran Nayef bin Abdul Aziz Al Saud, yang kemudian menjadi Menteri Dalam Degeri (Mendagri), secara terbuka bahkan pernah menuduh Ikhwanul Muslim menjadi “sumber semua kejahatan” dan akar dari permasalahan di Dunia Arab dan mungkin di dunia Islam.
Tak lama kemudian terjadilah Arab Spring (Musim Semu Arab) yang semakin mempersempit hubungan mereka. Di saat dunia menyaksikan keruntuhan empat kediktatoran Arab (di Tunisia, Mesir, Libya dan Yaman), Sahwa Saudi melihat kesempatan baru guna mendorong pemerintah melakukan reformasi politik.
Sejumlah petisi ditandatangi dan disebarluaskan di sosial media pada 2011, seperti “Panggilan Reformasi”, ditandatangani oleh sejumlah anggota Sahwa termasuk Nasir al-Umar, dan ” Menuju sebuah negara hak dan institusi” yang ditandatangani oleh Salman al-Awda. Al-Awda kemudian menulis surat terbuka lainnya untuk Raja Abdullah pada Maret 2013.
Meskipun tidak mencapai skala pemberontakan seperti yang terjadi negara lain selama Arab Spring terjadi di Arab Saudi, suasana Arab Spring tetap membangkitkan ketakutan pihak kerajaan.
Kemunculan politik Islam di Mesir secara khusus meresahkan rezim Saudi, terutama ketika mantan Presiden Mesir yang dikudeta, Dr Mohamad Mursi menyatakan kesiapannya untuk membangun sebuah “hubungan yang konstruktif” dengan Teheran – musuh bebuyutan Arab Saudi.
Baca: Bela Ikhwanul Muslimin Mesir, Erdogan Sebut IM Organisasi Ideologi
Itu semua membuat kerajaan, bersama Kuwait dan UEA, menjanjikan 12 miliar dolar pada Mesir di tahun 2013 – empat kali lipat dari paket bantuan yang diberikan AS dan Eropa pada Mesir – seminggu setelah penggulingan pemimpin terpilih pertama Mesir, Presiden Mursi.
Bahkan satu tahun kemudian, Arab Saudi menunjuk Ikhwanul Muslim sebagai “organisasi teroris” bersama tersangka lain yang jelas-jelas lebih teroris, seperti DAES dan kelompok garis keras besar lain yang bertempur di Suriah.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Almarhum Raja Abdullah bin Abdulaziz Al Saud mengumumkan hukuman penjara 20 tahun bagi siapapun yang didakwa anggota dari “kelompok teroris” dan ikut bertempur di luar negeri.
Tetapi penunjukan “kelompok teror” tidak menghalangi Arab Saudi dari menggeser posisinya. Pada 2015, kerajaan menjadi tuan rumah dari sejumlah pemimpin yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin: Rachid Ghannounci (pemimpin dari partai Islam Annahdah di Tuniasia), Abdul Majeed Zindadni (pemimpin partai al-Islah di Yaman), dan Khalid Misy’al (mantan pemimpin Hamas) dalam pertemuan yang dianggap memiliki kemungkinan kembalinya hubungan harmonis antara keduanya.
Sejak awal, hubungan antara Arab Saudi dan Ikhwanul Muslimin telah bergantung pada satu faktor: Arab Saudi.
Sejarah mendemonstrasikan bahwa Riyadh dapat menggeser posisinya tergantung tujuan politiknya.
Mengomentari hubungan diplomatik yang buruk antara Qatar dan blok Saudi, Sekretaris Negara AS Rex Tillerson mengatakan penggolongan Ikhwanul Muslimin, secara keseluruhan, sebagai sebuah “kelompok teror” adalah bermasalah.
“Terdapat elemen-elemen dari Ikhwanul Muslimin yang telah menjadi bagian dari pemerintahan,” katanya, menunjuk parlemen di Bahrain dan Turki sebagai contohnya.
“Elemen tersebut … telah melakukan hal itu tanpa menggunakan kekerasan dan terorisme,” katanya.
“Jadi dengan menunjuk Ikhwanul Muslimin secara keseluruhan sebagai sebuah organisasi teroris … Saya pikir anda dapat mengapresiasi kerumitan yang memasuki hubungan kami dengan [pemerintah-pemerintah di wilayah],” ujarnya dikutip Aljazeera.*