Ketika ditangkap di perairan Kupang, Nusa Tenggara Timur, kapal besi berkapasitas muatan 598 gross ton (gt) tersebut memasang bendera Timor Leste. Belakangan, kapal tersebut diketahui berasal dari China.
Di dalam kapal ditemukan sekitar 35 ton ikan yang kebanyakan berupa hiu macan yang termasuk hewan dilindungi.
Saat diperiksa oleh aparat, ditemukan juga beberapa bendera negara lainnya di dalam kapal, antara lain bendera Malaysia, China, Filipina, Indonesia, dan Singapura.
“Ini disebut dengan multiple flagging dan tidak dibenarkan dalam hukum internasional,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Senin (04/12/2017) lansir Anadolu Agency.
Baca: “Agenda Terselubung” Kedatangan Kapal Perang US Navy di Tanjung Perak
Kapal Fu Yuan Tu 831, sebut Menteri Susi, sudah memasuki perairan Indonesia dan menangkap ikan secara ilegal sebanyak 19 kali sepanjang periode Agustus-November 2017.
Kapal milik Fred Ho yang diproduksi pada 2001 itu dinakhodai oleh Wong Zhi Yi dan memiliki anak buah kapal (ABK) sebanyak 21 orang. Sembilan orang ABK berkebangsaan China, enam berkebangsaan Indonesia, tiga berkebangsaan Myanmar, dan tiga orang lainnya berkebangsaan Vietnam.
“Berdasarkan hasil wawancara sejauh ini dengan para ABK, terdapat perbedaan perlakuan antara ABK Indonesia dengan ABK lain terkait dengan besaran gaji dan jenis pekerjaan,” ujar Menteri Susi.
Keenam ABK Indonesia itu diketahui belum digaji selama delapan bulan karena berbagai alasan.
ABK hanya dibayar rata-rata Rp 350 ribu per bulan, kadang dengan tambahan bonus dari nakhoda yang berkisar antara Rp 300-500 ribu.
Baca: Survei Median: China Dianggap Ancaman Terbesar Indonesia
Enam ABK Indonesia juga mengatakan bahwa ABK asing mendapat gaji tiga kali lebih besar dan mendapat kipas angin atau AC di kamar mereka, sementara ABK Indonesia tidak.
Nakhoda dan kapten mesin kapal tersebut dijerat dengan Pasal 92 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan ancaman hukuman pidana penjara maksimal delapan tahun dan denda maksimal Rp 1,5 miliar.
Mereka juga dijerat dengan Pasal 93 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan ancaman hukuman pidana penjara maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 20 miliar.*