Hidayatullah.com–Beberapa hari setelah peristiwa 11 September, Kapten James J Yee, pembina rohani Islam yang bertugas di pangkalan Angkatan Darat Fort Lewis, mendapat tugas baru. Menurut yang pernah mendengar ceramah-ceramahnya, kemanapun pergi ia selalu menyampaikan, bahwa Islam bukan agama kekerasan, di pangkalan militer, gereja, masjid, kampus dan di jalan-jalan Olympia, kota tempatnya tinggal bersama isteri dan puterinya.
Kegigihan Kapten Yee, 35 tahun, dalam menyampaikan Islam diakui orang-orang yang mengenalnya. Kegigihan yang sama telah mengatarnya jadi jagoan gulat waktu SMA, lulus akademi militer West Point, dan menjadi seorang muallaf yang teguh. Kegigihan itu juga dibawanya ketika tahun lalu ditugaskan membina para tahanan Muslim di penjara Teluk Guantánamo, Kuba. Di tempat itu, Kapten Yee-lah yang membuat azan terdengar lima kali sehari ke seluruh sudut penjara lewat sebuah pengeras suara. Kalau CD-player-nya mengalami kerusakan, ia sendiri yang melantunkan azan lewat sebuah mikrofon.
Sudah jadi bagian dari tugasnya, katanya dalam sebuah wawancara April lalu, untuk menengahi kesalahfahaman antara para tahanan dan pejabat penjara.
“Saya memberi masukan kepada komandan pangkalan dengan rasa hormat pada agama dan membantu fasilitas peribadahan di sini,” kata Kapten Yee. “Tapi yang terpenting, saya berguna meredakan berbagai ketegangan di dalam kamp.”
Kapten Yee meninggalkan Guantánamo dua pekan silam menuju rumahnya. Tapi belum sempat ia bertemu keluarganya, 10 September lalu para pejabat militer menangkapnya di suatu tempat di Florida dan menahannya di sebuah markas militer di South Carolina. Sejak itu ia terus diperiksa atas kecurigaan melakukan kegiatan mata-mata di Guantánamo. Para pejabat militer menolak mengatakan kenapa Kapten Yee, yang belum dikenai tuduhan apa-apa, diperiksa secara intensif. Para pejabat hukum lain mengatakan penyelidikan itu diarahkan pada kecurigaan kegiatan mata-mata, bantuan yang melenceng kepada para tahanan, atau kemungkinan pelanggaran tugas militer lainnya.
Seorang pejabat militer kemarin menyatakan, Kapten Yee ditemukan telah menggambar denah-denah letak para tahanan di dalam kamp, daftar siapa interogator dan siapa yang diinterogasi, serta catatan-catatan tentang apa saja yang ditanyakan.
Pejabat, yang menolak disebutkan identitasnya itu mengatakan, salah satu alasan kecurigaan atas Kapten Yee karena ia pernah terlihat bersama dua anggota militer lain yang sedang dalam pengawasan. Tidak jelas apakah salah satu dari dua orang itu adalah penerbang senior Ahmad I al-Halabi, yang pernah jadi penterjemah di Guantánamo yang dituduh melakukan kegiatan mata-mata dan mengirimkan rahasia-rahasia militer ke Suriah.
Para pejabat militer tidak akan membeberkan nama-nama penasihat hukum Kapten Yee. Di bawah hukum militer AS setiap tahanan harus sudah dibawa ke pengadilan dalam waktu 120 hari sesudah penangkapannya.
Mereka yang mengenal Kapten Yee di Olympia mengaku heran mendengar kabar penangkapannya. Yee tinggal di kota itu empat tahun terakhir ini dan aktif di masjid setempat. Terkadang ia mengimami shalat dan memberi khutbah Jumat menggantikan imamnya. Menurut mereka yang mengenalnya, Yee selalu menegaskan adanya kesalahfahaman terhadap Islam sesudah 11 September, 2001. Mereka juga mengatakan, Yee selalu menegaskan kesetiaannya yang kokoh pada Amerika Serikat dan pada dinas kemiliterannya. Pria itu selama ini terdaftar sebagai pembina rohani di Batalyon Sandi ke-29 di Fort Lewis.
“Saya pikir ia justeru kebalikan dari seorang mata-mata,” kata Imam Muhamad Joban dari Olympia Islamic Center, di mana Kapten Yee shalat berjamaah dan mengimami sekitar 300 orang, kebanyakan imigran dari Kamboja. “Ia setia pada negerinya. Ia berusaha membantu negeri ini memahami Islam lebih baik, bahwa Islam bukan agama kekerasan, sebagaimana disangka orang.”
Imam Joban mengatakan ia kaget mendengar penangkapan Kapten Yee. “Seluruh jamaah terkejut,” katanya dalam sebuah wawancara hari ini. “Dia bukan jenis orang yang melakukan hal itu. Kalau Anda bertemu dengan Yee, Anda tidak akan percaya. Ia seorang pendiam dan rendah hati, saya yakin dia tidak akan mencelakai negerinya sendiri.”
Imam Joban mengatakan Kapten Yee kembali ke Olympia dari Guantánamo pada bulan Maret, sesudah enam bulan bertugas, dan diberitahu oleh pihak Angkatan Darat bahwa ia telah ditugaskan kembali ke sana.
“Saya tanya [kepada Yee], ‘Bagaimana?’” kenang Imam Joban. “Lalu dia mengaku merasa susah harus berjauhan dengan keluarganya, tapi ia mengatakan, ‘saya seorang militer dan saya harus melayani negeri ini.”
Menurut Imam Joban, Kapten Yee tak pernah menceritakan keadaan di Guantánamo atau menunjukkan keprihatinan tentang para tahanan, melainkan berkonsentrasi pada bagaimana ia bekerja memenuhi kebutuhan rohani para tahanan.
Dalam wawancara bulan April lalu, Kapten Yee menceritakan ia memastikan daging yang disajikan untuk sekitar 660 orang tahanan terjamin kehalalannya. Ia menceritakan kepada Imam Joban, dirinya mendesak agar setiap tahanan punya satu mushaf Quran dan setiap sel agar disediakan masker kain yang bisa digantung di langit-langit supaya mushaf-mushaf Quran tidak harus tergeletak di tanah.
Kapten Yee, putera dari keluarga imigran Cina, dibesarkan sebagai seorang Kristen Protestan (Lutheran) di Springfield, New Jersy, sekitar 20 mil barat Manhattan, New York. Sesudah bersyahadat di awal tahun 1990-an, ia belajar ke Suriah, di mana ia bertemu dengan jodohnya, seorang gadis Suriah, dan menguatkan keislamannya saat bergabung dengan dinas militer di Arab Saudi, demikian ia menceritakan perjalanan hidupnya dalam wawancara dengan harian The New York Times bulan Oktober 2001.
Menurut Yee, pendidikannya di Suriah tidak memenuhi syarat seorang pembina rohani militer, maka ia diberi sebuah “surat akreditasi” oleh Graduate School of Islamic and Social Sciences di Leesburg, negara bagian Virginia, yang telah diserifikasi oleh pihak militer untuk melatih para pembina rohani.
Namun pimpinan sekolah itu, Dr Taha Jabir al-Alwani, menyatakan dalam sebuah wawancara hari ini meskipun sekolahnya telah melatih sembilan orang pembina rohani Muslim, tapi tak pernah melatih maupun memberi sertifikat kepada Kapten Yee. “Kami bahkan tak pernah mengenal orang ini,” kata Taha. “Kami tak ada kaitan apapun dengannya.”
Kedua orang tua Kapten Yee, yang tinggal di Springfield, di mana ia dibesarkan, menolak memberi komentar, juga anggota keluarga lainnya. Sebuah tulisan diletakkan di pintu depan rumahnya berbunyi, “Maaf, tidak terima wartawan atau media.”
Isterinya, Whoda Yee, yang tinggal di apartemen mereka di Olympia bersama ibu kandung Yee, menolak berbicara tentang kasusnya. Namun ia meluruskan kekeliruan yang muncul di beberapa surat kabar, bahwa suaminya telah mengganti nama jadi Youseff. Menurutnya nama itu panggilan sayang darinya, dan nama Arab untuk ayah Yee, Joseph, sebab lidah ibu kandung Yee lebih mudah menyebut Youseff daripada James.
“Semua surat kabar memberitakan dia mengganti namanya,” kata isteri Yee. “Itu tidak benar, dia tak pernah mengganti nama. Dia menyukai namanya.”
Imam Joban mengatakan isteri Kapten Yee menelfonnya beberapa hari yang lalu dan mengaku “sangat khawatir”, karena sudah menunggu kedatangan Yee selama beberapa jam di bandar udara Seattle-Tacoma, dan tidak tahu ke mana harus mencari sampai beberapa hari kemudian seorang pengacara memberitahu, bahwa sang Suami telah ditangkap. Whoda masih belum ada kontak apapun dengan suaminya, kata Imam Joban.
Dalam wawancara dengan surat kabar ini, Kapten Yee, yang dilahirkan di kota Naperville, negara bagian Illionis, mengatakan pertama kali ia tertarik pada Islam di tahun 1991, setelah berkenalan dengan beberapa orang perwira Angkatan Darat Mesir yang satu kelas dengannya saat mengikuti pendidikan transportasi di Fort Knox, Kentucky. Setelah mengamati para perwira Mesir itu berpuasa selama bulan Ramadhan, ia mengatakan, “sepertinya itu menginspirasi saya untuk pergi dan mempelajarinya sendiri.”
Ia mengaku bersyahadat pada bulan April 1991, dan pada bulan Agustus mendapat tugas ke Arab Saudi seusai Perang Teluk.
Kapten Yee mengaku sering mengunjungi sebuah tenda di pangkalan militer Khobar Towers, yang menyediakan buku dan brosur tentang Islam dalam bahasa Inggris, yang disponsori oleh pemerintah Saudi.
Pada tahun 1993, ceritanya, Angkatan Udara dan keluarga kerajaan Saudi membayarinya dan beberapa orang Amerika untuk menunaikan ibadah haji, kewajiban setiap Muslim minimal sekali seumur hidup.
Ia menunaikan haji yang lagi dua tahun kemudian, dan mencari kemungkinan belajar teologi dan sains Islam serta bahasa Arab di sekitar kawasan Timur Tengah.
“Saya tidak mau mempelajari agama saya di lembaga sekular,” katanya. “Saya mau pergi dan belajar dari metode tradisional, jadi belajar langsung kepada para ulama Muslim di Timur Tengah.”
Sampailah Yee di madrasah Abu Nour di Damaskus, Suriah, yang dipimpin Syeikh Ahmad Kuftaro, Mufti Besar Suriah, pemimpin agama tertinggi, dan berafiliasi kepada pemerintah Suriah. Di madrasah itu belajarlah ia bersama mahasiswa Muslim lain dari berbagai belahan dunia.
Ingrid Mattson, profesor di McDonald Center for Islamic Studies and Christian-Muslim Relations di Hartford Seminary, mengatakan madrasah-madrasah di Damaskus berorientasi sufisme, aliran yang tidak militan dan lebih spiritual, serta menghindari politik.
“Menurut pengetahuan saya dan dari berbagai pembicaraan dengan Muslimin Amerika yang pernah belajar di sana, madrasah-madrasahnya mengajarkan Islam yang sangat tradisional dan spiritual, dan apalagi pemerintah Suriah tidak membolehkan unsur politik diajarkan di madrasah-madrasahnya,” kata Mattson.
Setelah empat tahun di Damaskus, Kapten Yee kembali ke AS bulan Desember 1999. Yee langsung diundang mengikuti program Ramadhan di Pentagon oleh seorang bekas sersan tempur Marinir yang berjumpa dengannya saat menunaikan haji, Qaseem A Uqdah. Pria ini kemudian mendorongnya melamar jadi pembina rohani militer. Pada saat itu Uqdah merupakan figur penting dalam merekrut dan mengajukan beberapa calon pembina rohani militer. Sekarang Uqdah tidak menjawab telepon maupun pesan-pesan e-mail.
Di kota kelahiran Kapten Yee di Springfield, kini banyak perbincangan tentang situasi misterius yang dihadapi “Jimmy”. Yee dikenang teman-teman sekelasnya dan bekas pelatih gulatnya sebagai anak yang sungguh-sungguh dan jujur, bekerja sebagai pengatar koran dan dikagumi kelihaiannya dalam olah raga gulat.
Rick Iacono, pelatih gulat Kapten Yee, mengaku dirinya lah yang merekrut Yee dalam tim gulat sekolahnya, meskipun beratnya hanya sekitar 50 kg waktu SMA. Menurut Iacono, bekas muridnya itu tampil mengesankan karena selalu berkonsentrasi pada apa yang dikerjakannya. Yee tetap berhubungan baik dengan Iacono dan kadang-kadang berkunjung ke bekas sekolahnya itu, Jonathan Dayton High School, dan ngobrol tentang gulat dengan para siswa.
Iacono mengatakan ia menerima pesan-pesan e-mail dari Kapten Yee sesudah 11 September, meminta kepada semua orang yang dikirimanya agat tidak menilai semua Muslim sebagai teroris.
“Ia benar-benar serius tentang hal itu, sampai saya merasa tidak enak,” kata Iacono.*
Dilaporkan oleh Laurie Goodstein, Sarah Kershaw , Neil A. Lewis dan ditulis oleh Sarah Kershaw—The New York Times—Wpr/Hidayatullah.com