Oleh: Fathur Rohman
Hidayatullah.com | PENULIS skenario atau sutradara tentu punya maksud ketika menyiapkan dan menyuapkan dialog atau audiovisual tertentu. Tapi suatu scene dalam film dapat ditangkap berbeda oleh penontonnya. Karena itu, tulisan Dr Zahrul Fata (dalam Titanic, Corona, dan Atheisme; dimuat Hidayatullah.com 11/04/2020) tidak keliru ketika menangkap adanya “pesan atheisme” dalam secuplik adegan di film Titanic ketika “sekelompok pemain musik yang sama sekali tidak merasakan kepanikan sambil terus memainkan alat musik” pada saat “kapal akan tenggelam”.
Jika ditelisik lebih lanjut, musik yang dimainkan oleh “sekelompok pemain musik” violin itu sebenarnya gubahan atas melodi yang dibuat tahun 1856 oleh Lowell Mason untuk lirik lagu berjudul Nearer, My God, To Thee (Makin Dekat Tuhan) buatan Sarah Fuller Flower.
Bagi orang yang beragama Kristen, aktivitas bernyanyi dipercaya sebagai bentuk persembahyangan. Qui bene cantat, bis orat (Ia yang bernyanyi dengan baik sama dengan berdoa dua kali), demikian ungkapan yang kerap diatribusikan kepada Santo Augustinus.
Barat dan Film
Namun kembali lagi ke perihal utama, pesan implisit Ustadz Zahrul Fata bahwa film-film Barat lazim menginspirasikan pesan atheisme ialah benar belaka. Studi yang dilakukan Stanley Rothman (MOVIES: Is God Really Dead in Beverly Hills? Religion and the Movies, 1996) dengan analisis isi (content analysis) terhadap film-film yang berkaitan dengan tema-tema keagamaan dari masa ke masa, menemukan penurunan dramatis dalam komposisi reljius karakter-karakter dalam film.
Pada dekade 1945-1956, 19 persen karakter dalam film-film besar diketahui tertampilkan sebagai pemeluk Protestan, Katolik, Yahudi, atau agama lain yang dikenali. Sebagian besarnya yakni 81 persennya, tidak diketahui agamanya, ateis, atau agnostik. Persentase itu anjlok pada dekade 1976-1990, hingga tersisa 4 persen saja karakter yang dalam film diketahui orientasi keagamannya. Mayoritasnya atau 96 persennya menampilkan karakter film yang ateis, agnostik, atau tidak jelas agamanya.
Di sisi lain, Barat kian tak segan melakukan komodifikasi terhadap agama dan Tuhan. Hal ini seperti diungkap Jeffery A. Smith (2001) dalam Hollywood Theology: The Commodication of Religion in Twentieth-Century Films.
Menurut pengamatannya, industri sinema akan dapat terus mengupas perihal ketuhanan, karena agama atau ragam versinya, itu punya nilai jual. Bahkan suatu sosok lawan-Tuhan (antagonist of God) atau pengganti-Tuhan (God substitute) dapat begitu menarik hati penonton sampai-sampai menghasilkan banyak sekuel. Industri hiburan dapat mengeksploitasi hampir semua tema yang dianggap menarik oleh penonton yang membayar, mulai dari yang serius sampai yang parodi. Derajat Yang Maha Kuasa kian di-downgrade, tak lebih dari sekadar bahan baku buat penciptaan hiburan dan kesenangan. Karenanya, kita layak awas serta waspada.
Barat yang imajinasinya kini sedang mendominasi dunia, menurut Syekh Ali Jum’ah (Corona, Fiksi dan Bagaimana Memahami Barat), biasanya melewati pola sebagai berikut dalam membangun pengetahuan: bermulai novel (karya fiksi), lantas jadi film, lalu bergolak di media massa, kemudian jadi kajian di kampus-kampus dan parlemen, sampai akhirnya diterapkan atau dihadirkan oleh pemerintahannya (dan korporasinya). Selain meraup untung, film di Barat menjadi komunikator imajinasi yang cukup berpengaruh, mengantarkan potensi dan kemampuan sampai terakumulasi menjadi tindakan dan kenyataan yang khas kebudayaan dan worldview Barat.
Film Contagion (2011) yang diproduksi berbiaya 60 juta dolar AS dan meraup pemasukan 136 juta dolar AS, belakangan ketika wabah Covid-19 menjadi pandemi, lagi-lagi melejit naik jadi daftar utama tontonan populer di berbagai layanan nonton film daring. Masyarakat beramai-ramai kembali ke film, untuk memenuhi hasrat keingintahuan campur kekhawatiran.
Maka sekaligus meneruskan konteks wabah corona yang diangkat oleh Al-Ustadz, agaknya relevan jika kita telaah lebih jauh 3 film Barat bertemakan wabah dari periode berbeda. Ketiga film tersebut yaitu The Andromeda Strain (1971), 12 Monkeys (1995), dan Outbreak (1995). Jika kita mencoba “mencari Tuhan” dalam film-film tadi, apakah gerangan yang akan kita ketemukan?
Telaah Tiga Film Wabah
The Andromeda Strain diangkat dari novel sci-fi best-seller. Pemutaran filmnya juga mencatat untung besar. Itu semua menunjukkan pirsawan masyarakat di Barat menyambut dengan antusias. Premis film ini kira-kira: apa yang terjadi ketika organisme yang dibawa sebagai hasil misi luar angkasa untuk pengembangan senjata biologis, malah bocor di bumi.
Karena bikinan hampir 40 tahun silam, jika kita tonton sekarang, film ini akan terasa betul lawasnya dibandingkan selera mutakhir. Tetapi dalam gambaran yang lawas itupun, penonton dapat menangkap ambisi kuat Barat untuk senantiasa mengedepankan sains sebagai yang mahatma. Teologi lewat, metafisika minggir dulu, sains lah yang terutama. Penggambaran yang berakar dari positivisme Comte ini sesungguhnyalah juga terkandung di dua film lainnya yang akan kita bicarakan.
Sejak awal-awal film, scene dengan sudut pengambilan frog-eye view (diambil dari bawah) memperlihatkan latar salib di puncak gereja sebagai simbol agama Kristen dengan segera menjadi kecil kerdil belaka dibandingkan 2 orang ilmuwan berpakaian serba putih yang datang (maju mendekati mata penonton) sebagai penyelidik dan penyelamat, sampai akhirnya salib yang naas itu tertutup sama sekali. Sementara korban-korban wabah lainnya divisualkan terbaring dalam posisi horizontal, seorang pendeta justru divisualkan tergeletak dalam posisi jungkir balik dengan kepala di bagian bawah anak tangga depan gereja. Scene lainnya menampilkan close-up perempuan tua berkalung salib. Lolongan “God is dead” dari Nietzsche, seperti yang diperingatkan Dr Zahrul Fatah, terdengar lamat-lamat dari scene-scene tersebut. Religiusitas binasa diganyang materialisma? Kemahakuasaan Tuhan apa artinya di hadapan penderitaan? Demikian agaknya bisikan iblis yang diam-diam coba dinegosiasikan.
Nama Tuhan dalam kebudayaan Barat sebagai God dan Lord hanya disebut 2 kali di film berdurasi lebih dari 2 jam ini. Itu terjadi ketika si saintis perempuan digambarkan kaget bukan kepalang sewaktu melihat si organisme tampak bertambah besar di monitor pengamatan.
Yang kedua, diucapkan oleh si saintis laki-laki sewaktu melihat si organisme berkembang biak. Ungkapan gerejawi lainnya, “haleluya” justru diucapkan oleh 1 di antara 2 orang penyintas yang selamat dari wabah, yakni seorang lelaki tua pemabuk miras.
Film 12 Monkeys, menambahkan lagi unsur sci-fi dengan menghadirkan perjalanan lintas waktu (time-travel). Premisnya kira-kira: bagaimana generasi manusia yang gagal total menjalankan peran khalifatullah fil ardh, berusaha memutar zaman untuk mencegah apa yang sudah terlanjur diperbuat.
Dikisahkan, manusia penyintas dari pandemi global yang menelan 5 milyar jiwa, terperangkap di ruang-ruang bawah tanah, akibat keadaan di muka bumi berubah drastis karena ganasnya wabah. Untuk mengetahui persis, dari mana sebenarnya wabah itu berasal, dikirimlah serangkaian relawan pelintas waktu ke masa lalu. Misi utamanya satu, untuk melakukan pencegahan agar wabah tidak terjadi. “To get us back on top in charge of the planet” (Untuk membawa kita kembali ke puncak yang bertanggung jawab atas planet ini), kata tokoh utama, James Cole, si relawan ke sekian.
Tapi si pelintas waktu yang membawa pengetahuan dari masa depan ini, justru menjadi bulan-bulanan orang-orang selama melakukan tugasnya. Ia dianggap dan diperlakukan sebagai orang gila. Peringatannya mengenai masa depan yang akan terjadi hanya berbalas olok-olok, tertawaan, dan malah berbuah pengejaran serta penangkapan. Paling jauh film ini hanya mereferensi istilah cassandra complex, di mana orang dikutuk dengan kemampuan meramal dengan benar, tapi justru ramalannya itu tidak bakal ada satupun yang percaya. Sementara dalam referensi kita, meski dalam banalitasnya, bagian ini dapat mengingatkan bagaimana lumrahnya perlakuan langsung orang-orang kafir dari berbagai generasi dahulu kepada para nabi (pembawa naba’ / berita).
Film yang tayang bulan Desember dan turut menghadirkan sepintas suasana natal ini, tidak sama sekali memperdengarkan kata Tuhan di sepanjang penayangan. Hanya ungkapan “have a merry christmast” yang terdengar samar bukan sebagai kegembiraan dari Cole si tokoh utama. Yang lebih jelas terdengar justru keluhan-keluhannya ketika harus bolak-balik ke masa lalu yang berbeda-beda buat melakukan misinya. Ia mengaku merasa “confused“. Karena baginya manusia tidak diciptakan untuk berpikir dalam dua dimensi.
Di hadapan interogasi tim saintis di dunia bawah tanah, ia juga mengeluh tak lagi dapat membedakan mana kenyataan, mana bukan. I don’t think the human mind is meant to exist in two different … dimensions. It’s very confusing! You don’t know what’s real and what’s not. Pada titik nadirnya, Cole mengaku tak mampu lagi bolak-balik nomaden dari masa depan ke masa lalu ke masa kejadian, serta hanya ingin menjadi pribadi utuh, di mana keutuhannya itu ia definisikan dengan kedisinikinian (terma yang bersipongang dengan pengertian mendasar dari sekulerisme). I want the future to be unknown. I just want to be the present, I want to stay, this time.
Selain si tokoh utama yang dicap orang edan, dihadirkan juga Kathryn sebagai ilmuwan dan dokter psikiatri yang mengalami perubahan karakter selama interaksinya dengan si tokoh utama. Perhatikan ketika Pak Bos-nya meyakinkan Kathryn soal kemasuk-akalan. You are a rational person. You are a trained psychiatrist. You know the different between what’s real and what’s not (Anda orang yang rasional. Anda adalah seorang psikiater terlatih. Anda tahu perbedaan antara apa yang nyata dan yang tidak).
Dengan muram tegang dan agak satir, Kathryn menjawab, psychiatry is a latest religion. We decide what’s right or wrong. We decide who’s crazy or not. I’m in trouble here. I’m losing my faith. (psikiatri adalah agama terbaru. Kami memutuskan apa yang benar atau salah. Kami memutuskan siapa yang gila atau tidak. Saya ada masalah di sini. Saya kehilangan iman saya).
Keluhan-keluhan si dokter dan si tokoh utama itu, serta plot secara utuh, jika disimak lebih saksama, dapat membuat kita bersimpati, tampak betapa letih dan penatnya peradaban Barat yang dibelenggu oleh paham modernisme, rasionalisme, dualisme, kemajuanisme, kebaruanisme, meninggalkan silam yang penuh trauma, dan mewariskan kebingungan demi kebingungan, sambil berpretensi melakukan “perbaikan” dengan menyebarkan “pembangunan”. Simpati ini cukup beralasan kala kita saksamai juga twist yang disajikan di akhir film. Ianya dapat mengingatkan kita kepada Tragedi Sisyphus yang berpayah-payah membawa batu dari lembah ke puncak gunung, hanya untuk menggelindingkan lagi batu itu ke bawah, lalu ia mesti turun kembali, buat mengulanginya lagi. Tak habis-habis. Tak sudah-sudah.
Tak hanya itu, keseluruhan film juga dapat mengantar penonton berkesimpulan: sains nir-etika itu membunuhmu. Tapi apakah tambahan pulasan etika saja bakal sungguh-sungguh mencukupi? Sementara secara metafisika, sains Barat yang telah buta sebelah, yang membatasi “reality” sebatas yang dapat dicerap panca-indera saja, bukankah memang terancang untuk suatu “bunuh diri” kebudayaan, sebab telah keliru memaknai “wujud”, telah “membunuh Tuhan” sejak dari pikiran.
Representasi “Tuhan” yang agak mendingan, dapat dijumpai dalam Outbreak, terutama di bagian-bagian akhir.
Agaknya karena film ini memperlihatkan secara intens bagaimana si virus menyerang manusia demi manusia di wilayah yang berbeda dari peristiwa di masa lalu bersambung sampai ke masa kejadian. Sehingga terlihat pula, bagaimana penggambaran mayat, proses penularan, dan penderitaan para korban dalam kesakitan dan menghadapi kematian.
Berkali-kali kata “God” disebut. Kata “Tuhan” ini juga secara intens disebut ketika si tokoh utama berupaya mencegah usaha-usaha militer. Menyelesaikan penyebaran virus dengan mengebom habis suatu populasi? Tentu gila. Kontan tensi konflik pun naik tajam antara si protagonis dan si antagonis.
Don’t kill all of these people just to kept your lie. If you manipulate the truth, the president, the country, the constitution, it’s not just the town you killing. It’s the big piece of American soul. But what I’ve been telling you is the truth. So help me God! (Jangan bunuh semua orang ini hanya untuk menyimpan kebohonganmu. Jika Anda memanipulasi kebenaran, presiden, negara, konstitusi, itu bukan hanya kota yang Anda bunuh. Itu adalah bagian besar jiwa Amerika. Tapi yang saya katakan adalah kebenaran. Tolonglah aku, Ya Tuhan!)
Demikian ujar si protagonis dari helikopter kecilnya dalam posisi terbang tepat menghalangi moncong pesawat pengebom yang berkali lipat besarnya.
Jiwa, “Ketakutan”, dan Fitrah Bertuhan
Maka, benar belaka apa yang diterangkan penulis kepada kita. “Sejatinya rasa kebertuhanan tidak akan pernah hilang dalam diri manusia. Rasa itu memang kadang samar dalam diri seseorang, terutama saat lapang tapi ia tak akan pernah hilang. Secara fitrah perasaan bahwa di sana ada Dzat tempat bergantung akan hadir pada saat sempit. Yang demikian itu karena Allah sudah mengambil sumpah —di zaman azali—dari setiap manusia sebelum jiwanya dihembuskan ke dalam jasadnya (QS: Al-A’raf: 172).”
Jika pada 12 Monkeys ketegangan Barat soal “jiwa” semacam terwakili oleh kekalutan Kathryn si dokter psikiatri, pada Outbreak, kata “jiwa” dilekatkan buru-buru pada entitas negara-bangsa. Manusia seakan tergesa-gesa dikerangkeng dalam peran sebatas sebagai warga-negara, karena kerangka itu yang mungkin dianggap paling manjur dalam membentuk pikiran dan tindakan? Padahal kita patut bertanya lebih jauh lagi, sesempit apakah paham nasion(alisme) mungkin menjelma, dan seluas apakah konsep “jiwa” dalam diri pribadi manusia. Termasuk prediksi ke depan, apakah kebudayaan Barat akan seberuntung nasib laboratorium Wildfire yang menyaru sebagai gedung departemen pertanian di The Andromeda Strain. Ataukah serupa warga-desa yang bunuh diri karena gila akibat terpapar organisma luar angkasa. Tentu ini dapat jadi bahasan yang lain lagi.
Adapun kalaulah harus ada scene yang amat jelas hikmahnya, barangkali terwakili oleh dua momen. Pertama, sakaratul maut-nya Casey (si ilmuwan di Outbreak) yang ikut terpapar gara-gara Alat Pelindung Diri (APD) miliknya tidak lagi memadai karena rusak (bukan karena diekspor besar-besaran seizin pemerintahnya). Kedua, momen terkuncinya Charlie (si ilmuwan senior di The Andromeda Strain) di ruangan lab berisi organisme yang bocor dari penampungnya. Setegang Kathryn sewaktu berujar lirih “I’m losng my fatih”, keduanya tampak pasrah ketika sama-sama mengatakan “I’m (so) scared”, “Aku sungguh takut.” Jikalau Casey dan Charlie sama referensinya dengan kita, tentulah sebelum-sebelumnya mereka bakal belajar memahami bagaimana hubungan antara yakhsyaLlaah, ulama, ilmu, dan Al-’Aliim. WaLlaahu a’lam bishshawab.*
Penulis alumnus SPI Jakarta, Penstudi Cadik, anggota FLP