Kelompok besar pun jika tidak bisa adil karena mengidap penyakit ta’asub, pada akhirnya akan menjadi penindas
Hidayatullah.com | KEFANATIKAN golongan dan kelompok bisa menjadi ancaman bagi perkembangan pemikiran masyarakat ke arah yang lebih positif dan kompetitif. Ta’asub menyebabkan pikiran menjadi sempit, beku, tidak adil dalam membuat penilaian dan tidak mampu memunculkan ide-ide baru yang segar.
Istilah fanatisme berarti sikap ekstrem dan berlebihan dalam suatu keyakinan atau pendirian, dan biasanya terkait dengan keyakinan agama. Istilah ini diidentikan dengan kefanatikan.
Lawan dari fanatisme dan ta’asub adalah tasamuh dan toleransi. Tasamuh diartikan dengan kelapangan dada, keluasan pikiran dan kesabaran.
Fanatisme disinggung dalam Al-Qur’an Al-Maidah: 77
قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ لَا تَغْلُوا۟ فِى دِينِكُمْ غَيْرَ ٱلْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوٓا۟ أَهْوَآءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا۟ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّوا۟ كَثِيرًا وَضَلُّوا۟ عَن سَوَآءِ ٱلسَّبِيلِ
“Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS: Al-Maidah:77).
Selain fanatisme dan ta’asub, ada istilah lain dalam agama, yaitu Al-Ghuluww, al-tanattu’ dan al-tasydid. Sikap ekstremisme sangat bertentangan dengan keadilan sebagaimana yang dituntut oleh Islam.(Al-Qaradhawi, The Rise of Islam Between Challenges and Extremism).
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Jauhi ghuluw dalam agama. Sungguh, orang-orang sebelum Anda hancur karena mereka ekstremis dalam agama.” (Ibn Majah dalam Kitab al-Manasik).
Rasulullah ﷺ mengingatkan;
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ
“Berhati-hatilah kalian dari sikap ghuluw dalam beragama! Sebab, umat-umat sebelum kalian sungguh telah binasa disebabkan ghuluw yang mereka perbuat dalam beragama.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban).
Kefanatikan dan ta’asub yang dibenci adalah sikap mereka yang berusaha menafikkan orang lain dengan dirinya sendiri dan mengingkari peran orang lain. Sikap ekstrem ini seolah berkata: “Ini hak saya untuk berbicara dan tugas Anda untuk mendengarkan.” “Hak saya untuk memimpin dan tugas Anda untuk mengikuti.” “Pendapat saya benar dan tidak mungkin salah, pendapat Anda salah.” “Kami berhak karena kami besar!”
Fanatik dan ta’asub seperti ini akan semakin berbahaya ketika sikap ini diwujudkan dalam bentuk kekerasan dan pemaksaan, sekalipun ada keadaan yang memberikan kelonggaran atau kemudahan. Misalnya, berusaha untuk membuat sesuatu yang tidak wajib menjadi wajib. Individu yang memilih untuk berperilaku seperti ini termasuk di antara mereka yang memilih sikap yang sangat keras terhadap manusia. Tindakan tersebut berpotensi ghuluw (radikal).
Fanatik dan ta’asub bisa dilakukan dalam kelompok kecil atau besar. Kalaupun kefanatikan ini dilakukan oleh kelompok mayoritas, juga berpotensi berbahaya, apalagi jika diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang bersifat memaksa. Jika suatu kelompok besar tidak diperlakukan secara adil karena mengidap penyakit ta’asubi, maka pada akhirnya juga akan menjadi penindas.
Sikap fanatisme dan fanatisme terhadap pendapat sendiri maupun pendapat guru dan kelompok merupakan salah satu gejala ekstremisme. Ini menggambarkan stagnasi ideologi seseorang yang tidak bisa melihat kemaslahatan umum. Ia juga menggambarkan seseorang yang tidak mampu membuka diskusi untuk membandingkan pendapatnya dengan pendapat pihak lain untuk mengambil pendapat yang lebih kuat dari proposisi dan penalaran.
Syeikh Al-Qaradhwi dan Ta’asub
Syekh Al-Qardhawy pendapat perbedaan pendapat adalah sesuatu yang tidak mungkin dicegah. Hal ini karena selama ada alasan yang memungkinkan, maka perbedaan tidak akan pernah berakhir.
Menurutnya, kefanatikan yang ada pada sebagian umat Islam, seringkali menimbulkan suasana tidak nyaman dan merugikan umat Islam itu sendiri. Ini karena masing-masing dengan antusias mempertahankan pendapatnya masing-masing dan menganggap pendapatnya paling benar.
Perbedaan pendapat akan selalu ada karena Islam tidak membatasi penafsiran yang menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Selama penafsiran didasarkan pada sumber-sumber hukum yang diperbolehkan, maka perbedaan-perbedaan ini akan selalu tumbuh.
Perbedaan antara ulama yang mengambil rukhsah dengan mengambil ‘azimah (sesuai dengan perintah hukum Islam), atau yang mengambil hukum dengan hati-hati (al-ahwath) dengan orang yang mengambilnya dengan cara yang lebih mudah (al-aysar), tidak mungkin bertemu sampai hari kiamat. Para sahabat juga berbeda pendapat di antara mereka.
Namun hal itu tidak membuat mereka saling bertengkar, justru mereka hidup damai dalam ranah perbedaan. Mereka saling mendoakan satu dengan yang lain tanpa curiga dan atau menghina, mencela.
Al-Qaradhawi sangat kecewa dengan sikap sebagian umat Islam yang tidak bisa membedakan perbedaan pendapat yang terpuji dan tercela berdasarkan syariat. Pandangan tajam Qaradhawi tentang perbedaan yang terpuji dan tercela ini, telah ditampilkan dalam bukunya As-Syahwah al-Islamiyah baina al-ikhtilaf al-masyru ‘wa al-tafarruq al-madzmum (Kebangkitan Islam antara Yang Terpuji dan Yang Tercela). Perbedaan). Atau dalam kitab lain Awaamil sa’sah wa al-muruunah fii al-syariah al-Islamiyah (Unsur Fleksibilitas dalam Syariah Islam).
Mudah Menyesatkan, Mudah Membid’ahkan
Perbuatan kafir mengkafir adalah perkara yang amat dipandang serius oleh syarak (hukum Islam). Lebih-lebih lagi jika dilakukan secara membuta tuli tanpa mengetahui kaidah-kaidah syarak dalam menanganinya. Apa yang lebih membimbangkan bila pengkafiran dilakukan terus ke atas peribadi seseorang muslim tanpa sebarang usul periksa. Firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Maksudnya: “Dan orang-orang yang mengganggu serta menyakiti orang-orang lelaki yang beriman dan orang-orang perempuan yang beriman dengan perkataan atau perbuatan yang tidak tepat dengan sesuatu kesalahan yang dilakukannya, maka sesungguhnya mereka telah memikul kesalahan menuduh secara dusta, dan berbuat dosa yang amat nyata.” (Surah al-Ahzab: 58)
Mufti Wilayah Persekutuan Malaysia dalam ‘Tahhih Al-Mafahim’, mengulas bab kafir-mengkafirkan sesama muslim. Pertama: Barangsiapa yang tidak mengingkari orang kafir, maka dia kafir. Artinya seseorang dapat menyimpang dari imannya jika ia tidak mengakui bahwa orang-orang yang kafir terhadap teks Islam seperti Nashara, Yahudi, Atheis dan lain-lain adalah kafir. (Lihat Al-Ibtal li Nazariyyah al-Khalt Bayn Din al-Islam wa Ghayrih min al-Adyan, 94)
Kedua: Barangsiapa menuduh seseorang yang bukan kafir adalah kafir, maka kafir itu berbalik kepada dirinya sendiri.
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir!” maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya.” (HR. Bukhari no. 6104).
Berdasarkan hadits tersebut, al-Isfirayini mengatakan siapa yang membid’ahkan orang yang tidak bid’ah, menyesatkan orang yang tidak sesat atau mengkafirkan orang yang tidak kafir, maka hukum tersebut akan kembali kepadanya. (Lihat Al-Tabsir fi al-Din, 180).
Ketiga: Kesalahan dalam membiarkan orang yang kafir itu hidup lebih ringan berbanding kesalahan menumpahkan darah seorang muslim. Imam al-Ghazali mengatakan banyak orang dengan mudah menjatuhkan kafir terhadap golongan yang keliru dalam berijtihad sedangkan mereka itu bukan termasuk dalam golongan yang mendustakan Rasulullah ﷺ.
Pengkafiran itu berlaku kebanyakannya bermula dari kefanatikan dan sikap ta’asub. Sedangkan tidak ada keyakinan kekafiran terhadap orang yang keliru dalam mentakwil, karena ‘ismah (penyimpanan) darah seorang Muslim adalah final berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (25):
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الإِسْلاَمِ
Maksudnya: “Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga dia mengucapkan, tiada tuhan yang layak disembah melainkan Allah, Muhammad itu Rasulullah, apabila mereka mengucapkannya, maka terpeliharalah daripadaku darah dan harta mereka kecuali dengan hak Islam (syarak).” (Lihat Al-Iqtisad fi al-I’tiqad, hlm. 270).
Termasuk di bawah kaidah ini juga apa yang dinukilkan oleh Zarruq dari Ibn Furak bahwa:
الغلط في إدخال ألف كافر بشبهة الإسلام خير من الغلط في إخراج مسلم واحد بشبهة كفر
“Keliru memasukkan seribu orang kafir dengan syubhat Islam lebih baik berbanding keliru mengeluarkan (mengkafirkan) seorang Islam dengan syubhat kekufuran.” (Lihat Qawa’id al-Tasawwuf, hlm. 31)
Semoga kita semua dijauhkan dari kelompok fanatik dan ta’asub. Baik fanatik/ta’asub individu, ta’asub kelompok/golongan/ormas, juga ta’asub guru dan pengajian, yang berujung pada perpecahan umat dan retaknya tali ukhuwah. Wallahu a’lam.*