Hidayatullah.com–Pascapengakuan 11 anggota Kopassus terkait penyerbuan di LP Cebongan, Sleman, banyak propaganda yang dilontarkan oleh pejabat negara, elit TNI, para purnawirawan yang secara kontradiktif justru memberikan apresiasi kepada 11 anggota Kopassus tersebut.
Menurut mantan Ketua Perhimpunan Bantuan hukum dan HAM (PBHI) Hendardi, muncul ide pemberian gelar kehormatan ‘ksatria pemberantas premanisme’ terhadap 11 anggota Kopassus adalah sebuah kampanye dan bentuk pembodohan publik yang menyesatkan.
“Premanisme dan kelumpuhan hukum menghadapi premanisme adalah soal yang berbeda. Jadi, ketika aparat negara dengan menggunakan senjata yang dibeli dan biayai oleh negara untuk tujuan kejahatan jelas itu fakta yang berbeda. Jadi tidak bisa dicampuradukkan bahwa soal kejahatan 11 anggota Kopassus sebagai antitesa atas premanisme dan kelumpuhan hukum. Apalagi pasukan elit ini pernah juga diduga melakukan tindakan kejahatan serupa,” ujarnya dalam rilis yang dikirim ke redaksi hidayatullah.com, Senin (08/04/2013).
“Pembunuhan misterius saja tidak bisa dibenarkan, apalagi membunuh orang yang sebagian haknya telah diambil karena masuk tahanan,” tambahnya.
Menurut Hendardi, cara mencintai Kopassus bukanlah dengan cara memberikan proteksi dan pembelaan ketika anggota mereka melakukan kejahatan, tetapi dengan cara mengapresiasi prestasi sungguhan seperti kasus pembebasan penyanderaan pesawat di Thailand, dll.
Sementara itu, jika 11 anggota Kopassus ini tidak diadili secara fair, bahkan memperoleh penghormatan khusus, maka peristiwa semacam ini akan potensial terjadi dan terus memperoleh pembenaran.
“Tindakan Tim Mawar, Petrus, dan penyerbuan LP Cebongan tidak pernah memperoleh pembenaran apapun, karena itu merupakan kejahatan yang harus dimintai pertanggungjawaban.”
Perppu Peradilan Militer
Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai Hendardi tampak gamang menghadapi desakan agar Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) tentang Peradilan Militer.
Kegamangan SBY jelas beralasan karena posisi politiknya yang semakin lemah dan membutuhkan proteksi super aman dari keluarga besar TNI. “Tetapi, alasan ini tidak bisa dibenarkan, karena membiarkan 11 prajurit itu diadili di peradilan militer, sama saja SBY membiarkan dan bahkan mendukung impunitas. Tidak ada jaminan fair trial dalam peradilan militer.”
Gagasan mengeluarkan Perppu Peradilan Militer agar anggota TNI yang melakukan tindak pidana di luar dinas ketentaraannya, harus diletakkan dalam kerangka bahwa saat ini telah terjadi darurat keadilan, di mana instrumen hukum potensial (karena mengacu pada pengalaman peradilan militer) tidak mampu menciptakan keadilan bagi publik. Jadi, Perppu tidak melulu didasarkan pada situasi darurat fisik atau kekosongan hukum. RUU Peradilan Militer selama ini gagal dibahas karena TNI berkebaratan atas draft tersebut. Karenanya peristiwa LP Cebongan harus menjadi momentum yang bisa mendorong percepatan terbitnya aturan baru. [baca juga: Andai Pelaku Cebongan itu Remaja Masjid, Apa Kata BNPT? ]
Alternatif lain yang bisa didorong untuk memastikan 11 anggota Kopassus ini diadili di peradilan umum adalah dengan melakukan judicial review agar setidaknya 2 pasal (Pasal 9, 10) UU 31/1997 dinyatakan inskonstitusional. Dengan demikian tidak ada pilihan lain kecuali segera menerbitkan Perppu, karena pasal-pasal tersebut inkonstitusional.*