“Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama”, demikian pepatah masyhur. Orang lain hanya dapat mengenang sosok yang telah tiada dengan mengeja nama, serta merangkaikan do’a untuknya.
Begitu juga dengan lelaki luar biasa, sebut saja Sulantas. Tanggal 28 September 2015 lalu, ia berpulang di usia 52 tahun dengan perantara sakit yang sekian lama menguji kesabaran dan keikhlasan.
Pembawaan almarhum yang sederhana, ramah, santun dan senang berbagi, tentu saja membuat banyak orang senang bisa mengenal beliau.
Meski seorang pegawai negeri sipil, ia tetap bisa aktif dalam kegiatan-kegiatan keislaman dan bersinergi dengan beberapa pegiat ormas Islam di Kabupaten Kutai Barat dan daerah lainnya.
Sempat menjabat sebagai ketua Komite Sekolah SMP Integral Hidayatullah Melak, pria 7 orang anak ini senang berbagi nasihat dan pengalaman kepada para santri, guru dan pengurus pesantren.
Masih lekat dalam ingatan saat kami berkunjung ke rumah dinas yang ditempatinya sekeluarga. Kala itu kondisi kesehatan beliau sudah kurang baik. Beberapa kali masuk rumah sakit. Cerita-cerita menarik seputar pengalaman rohaninya mengalir indah. Menguatkan semangat dakwah yang pasang dan surutnya susah diprediksi.
“Jangan takut punya anak banyak. Kalau bisa malah punya anak sebanyak-banyaknya,” kata-katanya tentu saja membuat kami, pasangan yang baru dikaruniai dua putri, tersipu malu.
Harta saja jika tidak cukup menjadi bekal perjalanan sejati jika tidak terlebih dulu dikonversikan menjadi amal shalih. Begitupun dengan ilmu yang bermanfaat. Jika kemudian amal shalih, dan ilmu yang bermanfaat kemudian dilengkapi dengan anugerah anak shalih yang banyak, Insyaa Allah, semoga mencukupi bekal untuk masuk ke SyurgaNya.
Sebab anak, punya perjalanan seumur hidupnya untuk menjadi shalih. Sehingga kapanpun ia shalih dan mendo’akan orang tuanya yang sudah berpulang, tentu saja dapat mengalirkan pahala yang tak putus untuk kedua orang tuanya.
Semakin banyak anak yang berusaha menjadikan dirinya shalih, semakin banyak peluang orangtua untuk mendekat ke Syurga hingga kelak berkumpul bersama anak-anaknya.
“Jangan takut hidup susah karena punya banyak anak,” sambungnya lagi. Sebab rezeki anak itu bukan di tangan orangtuanya. “Allah sudah atur sedemikian indahnya! Bahkan cacing saja yang di dalam tanah, masih bisa hidup.”
Kebanyakan orangtua terlalu sombong merasa bahwa hidup anak bergantung di pundaknya. Seolah mereka akan mati kelaparan jika tidak ada nafkah darinya. Sekalipun menghalalkan segala cara dengan dalil menyenangkan keluarga. Padahal semua itu hanya perantara rezeki Allah bisa sampai pada keluarganya.
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah.” (QS. Saba’: 24)
Bahkan kepada hewan dan burung-burung saja Allah sudah tentukan rezekinya.
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”(QS. Hud: 6).
Tugas kita adalah memilih dan memilah jalan baik yang mana untuk menjemputkan rezeki halal bagi keluarganya.
Almarhum adalah contoh, bagaimana sederhana adalah sebuah pilihan. Teguh memegang prinsip juga merupakan pilihan. Perjuangannya membuktikan bahwa harta bukanlah satu-satunya keindahan yang dikejar.Semakin mendekat padaNya, semakin kita sadar bahwa kita tidak ada apa-apanya.
Semoga kelak, anak-anaknya tumbuh menjadi sosok-sosok bermental baja, serta shalih dan shalihah seperti yang beliau harapkan. Begitu juga dengan kita semua. Aaamiin.*/Rezeki N. Diah, seorang guru. Tinggal di Melak, Kutai Barat