PAGI hari, 19 Desember 1948, mentari di langit kota pelajar tertutup oleh rangkaian pesawat tempur Belanda. Bom – bom yang dijatuhkan dari udara meluluhlantakkan kota Yogyakarta. Serangan tersebut kemudian dikenal dengan AgresiMiliter II Belanda yang bertujuan menghilangkan eksistensi Indonesia yang baru merdeka dan menculik para pemimpin negara.
“Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu-Kota Jogyakarta. Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra”demikian pesan telegram yang dikirimkan oleh dwi-tunggal Soekarno-Hatta.
Sadar bahwa kondisi ibu kota dan pemerintahannya dalam bahaya, Soekarno-Hatta meminta agar Sjafruddin Prawiranegara membuat pemerintahan darurat di Sumatera Barat, agar keberadaan Negara Indonesia tetap dipandang ada di mata internasional.
Sayangnya, telegram dari dua pimpinan tertinggi di negri ini tak sampai ke tujuan karena sulitnya komunikasi saat itu, di tempat lain, Sjafruddin dengan harap-harap cemas menunggu kabar dan komando dari Yogyakarta,tak kunjung mendapat kabar. Ia lalu mengumpulkan para pejabat Negara yang hadir pada saat itu untuk melakukan rapat.
Mantan anggota Badan Pekerja KNIP (1945) ini mengusulkan agar dibentuk semacam pemerintahan darurat, gubernur Sumatera Utara TM Hassan menyetujui usulan tersebut karena syarat diakui sebagai sebuah Negara harus ada pemerintahan.

Pada 22 Desember 1948 Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) didirikan dengan Sjafruddin menjadi pemimpinnya, dibantu TM Hasan sebagai wakil dan beberapa tokoh lain, serta Jenderal Besar Soedirman tetap menjadi panglima perang.
Sjafruddin sendiri lebih memilih julukan yang tepat adalah ketua, bukan presiden atau semacamnya yang biasa disematkan sebagai pemimpin Negara.
Ketika PDRI usai diproklamirkan, seorang pemuda menyambangi Sjafruddin untuk bertanya tentang kondisi Negara.
“Jadi, Pak Sjaf yang akan menggantikan posisi Bung Karno?”
“tidak persis dibilang seperti itu, saya hanya Ketua PDRI, bukan Presiden PDRI”jawab Sjafruddin.
Baca: Pemerintah Isyaratkan Gelar Pahlawan Syafrudin Prawiranegara …
Pemuda tersebut termenung mendengar jawaban dari Sjafruddin, rasa penasarannya semakin bertambah. “Bapak punya beberapa menteri serta Panglima Perang di bawah komando bapak?”pemuda itu bertanya kembali.
“iya betul, apa tujuanmu bertanya seperti ini?”pungkas Sjafruddin.
“maaf pak”pemuda tersebut menimpali, “kalau memang kondisinya seperti itu, bapak sekarang adalah seorang, Presiden Sjafruddin Prawiranegara”.
Percakapan antara Sjafruddin dan pemuda tersebut dikisahkan dalam buku“Presiden Prawiranegara : Kisah 207 Hari Sjafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia” karya Nasery Basral.
Setelah PDRI diproklamirkan, Sjafruddin beserta anggota kabinetnya sering berpindah-pindah tempat hingga sampai bermalam di hutan rimba demi menghindari kejaran tentara Belanda.
Mereka kini menjadi musuh nomor wahid yang paling dicari-cari.
Berdirinya PDRI merupakan sinyal kepada dunia Internasional bahwa Negara Indonesia masih ada dan member pesan kepada penjajah Belanda bahwa perjuangan rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya tidak pernah padam. Didukung oleh Jenderal Besar Soedirman, PDRI menjadi symbol eksistensi bangsa Indonesia.
Perjuangan Sjafruddin bersama tokoh-tokoh lain di PDRI membuahkan hasil, Belanda tak kunjung berhasil menumpas PDRI. Di sisi lain, mereka mendapat kecaman dari dunia internasional karena melakukan agresi militer kepada Negara yang sudah berdaulat.
14 April 1949, pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan Perundingan Roem-Royen, perundingan ini menandai berakhirnya perjuangan PDRI. 13 Juli 1949 Sjafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandate kepemimpinan kepada Soekarno-Hatta. Beberapa bulan kemudian, Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia secara utuh.
Jejak dan sumbangsih mantan Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Kemakmuran tahun 1946 ini dalam mempertahankan kemerdekaaan Indonesia sangatlah penting. Mantan tokoh Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) bisa dikatakan sebagai salah satu penyelamat Negara. Ironisnya perjuangan Sjafruddin seolah-olah terlupakan oleh sejarah, padahal perannya layak dicatat dalam tinta emas sejarah sebagai salah satu tahap mempertahankan kemerdekaan bangsa kita.*/Arya Jagad Pamungkas