Oleh: Mikael Marasabessy
Hidayatullah.com | GAGASAN Pan-Islamisme muncul menjelang akhir abad ke-19. Gagasan Pan-Islamisme muncul di tengah kondisi umat Islam yang tidak menentu; terjajah oleh imperealisme dan kolonialisme barat, stagnasi dalam kehidupan beragama, dan juga perpecahan yang terjadi di dalam umat Islam itu sendiri.
Atas dasar hal tersebut Jamaluddin Al-Afghani, seorang cendikiawan muslim dari Afghanistan mengajukan beberapa pandangan yang kemudian oleh barat disebut dengan pandangan Pan-Islamisme. Junichi Hirano, dalam Historical Formation of Pan-Islamism : Modern IslamicReformists Project for Intra-Umma Alliance and Inter-Madhahib Rapprochement, mengatakan:
One of the prominent German Orientalists, Carl Becker, defines “pan-Islamism” as “the realization of the Islamic concept of Islamic world integration, by uniting under the sole leader of the community (Imam)”; he maintains that the term “pan-Islamism” originated after the Berlin conference in 1884 (Becker 1924: 231–51).
Gagasan bersatunya umat Islam yang menjadi dasar dari Pan-Islamisme sebagaimana disebutkan di atas, atau dalam terminologi Arab disebut “Wahda Islamiyah” merupakan solusi dari kondisi umat Islam saat itu. Selain dari gagasan bersatunya umat Islam, Pan-Islamisme juga memiliki gagasan mengenai tajdid atau pembaharuan.
Pembaharuan yang dimaksud adalah memperbaharui pola pikir umat Islam dan keluar dari kejumudan yang selama ini menggerogoti umat. Kejumudan itu sendiri adalah sebuah stagnasi yang terjadi di kebanyakan kalangan umat Islam yang dimanifestasikan dalam sikap terlalu pasrah dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah.
Baca: “Si Pengganggu” dari Timur dan Penggagas Pan-Islamisme
Lebih lagi tertutupnya pintu ijtihad pada masa itu menyebabkan Umat Islam tidak dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Tajdid dan wahda islamiyah menjadi pokok gagasan Pan-Islamisme yang dianggap sebagai solusi untuk keluar dari kondisi umat Islam saat itu yang kurang baik atau dengan kata lain berada dalam sebuah krisis.
Dalam perjalannya gagasan Pan-Islamisme mendapat banyak dukungan dan respon yang baik dari banyak kalangan umat Islam. Di antaranya; para revivalis atau penggerak umat Islam yang percaya dengan islamisasi masyarakat, para pendukung persatuan umat yang tidak setuju atau menolak adanya batas-batas negara, juga para pengagum khalifah yang juga percaya akan keharusan meneruskan kekhilafahan sebagai sebuah sistem politik, serta para pendukung penerapan syariat Islam yang sempurna sebagaimana yang ada di dalam al-Qur’an dan Sunnah, dan para pejuang Islam yang berjuang untuk keluar dari kolonialisme barat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan Pan-Islamisme tidak hanya tersebar karena dua gagasan hebat di atas, tetapi masih banyak lagi gagasan dan pemikiran gemilang yang ditawarkan oleh Pan-Islamisme mengenai solusi untuk keluar dari krisis saat itu. Disisi lain para tokoh dari Pan-Islamisme yang sangat cerdas merupakan daya tarik tersendiri bagi umat Islam saat itu.
Tokoh kunci dari pemikiran ini ada tiga, mereka: Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha, hubungan ketiganya merupakan guru dan murid. Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) merupakan seorang aktivis Islam yang memiliki ide untuk mempersatukan umat Islam demi melawan kolonialisme yang dilakukan oleh Barat.
Muhammad Abduh (1849-1905) merupakan murid yang paling potensial dari Jamaluddin al-Afghani. Melalui Muhammad Abduh pemikiran-pemikiran gurunya (Jamaluddin al-Afghani) dapat tersebar dan semakin sempurna meskipun ada sedikit perbedaan mengenai sikap yang harus diambil umat Islam; apakah dengan jalan revolusi atau reformasi. Kemudian Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) yang merupakan murid dari Muhammad Abduh menuangkan idenya dalam majalah “Al-Manaar” yang menyebar hampir ke seluruh negara muslim termasuk Indonesia.
Selain itu, Sayyid Jamaluddin al-Afghani sebagaimana founding father dari Pan-Islamisme merupakan seorang tokoh yang dianugerahi secara alami maupun melalui usaha, dengan sifat-sifat yang tidak dapat diperoleh pada orang lain. Ini telah diyakini oleh orang-orang yang melihat beliau dari dekat.
Disamping kecerdasannya yang luar biasa, beliau juga dianugrahi dengan kemampuan besar dan kuat dalam berbicara: kata-katanya dapat memukau. Pidato-pidatonya di Mesir menggerakan jiwa para pendengarnya sehingga mereka menangis dan penuh emosi.
Baca: Runtuhnya Nasionalisme Arab
Masuknya Pan-Islamisme ke Nusantara
Umat Islam Indonesia di awal tahun 1900 telah merubah pandangannya terutama mengenai pembentukan gerakan melawan penjajah. Umat Islam diawal 1900 mendapat sebuah model baru yaitu Pan-Islamisme dan Patriotisme yang ditularkan oleh jemaah haji Indonesia yang pulang dari Makkah, akibat dari persinggungan intelektual dan ideologi dengan para jemaah haji lain terutama jemaah haji dari mesir yang kebanyakan membawa pemikiran Pan-Islamisme tersebut. (Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Kuntowijoyo).
Pandangan ini kemudian diperkuat dengan munculnya berbagai gerakan keagamaan diawal tahun 1900-an yang memiliki misi yang kurang lebih sama dengan Pan-Islamisme secara umum, diantaranya: Sarekat Islam, Muhammadiyah, Persis, Jamiat Khair. Meskipun gerakan-gerakan tersebut tidak sepenuhnya secara seratus persen meniru gerakan Pan-Islamisme, tetapi dalam beberapa ide besarnya terlihat sekali pengaruh gerakan Pan-Islamisme di dalamnya. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan Pan-Islamisme adalah gerakan yang paling dominan mempengaruhi umat Islam di Nusantara khususnya Hindia Belanda atau Indonesia pada masa itu.
Di awal masuknya pemikiran Pan-Islamisme di Nusantara, Sarekat Islam adalah corong paling besar dalam menyebarkan pemikiran ini. Sarekat Islam berhasil mempengaruhi lebih dari tiga juta penduduk Nusantara; baik yang ada di Indonesia maupun di Malaysia.
Keberadaan organisasi Sarekat Islam di Malaysia dibuktikan dari catatan tentang pemberontakan tani tahun 1928 yang dipimpin oleh Haji Abdul Rahman Limbong. Haji Abdul Rahman Limbong sendiri berasal dari negeri Terengganu, salah satu dari empat belas negeri yang berada dibawah negara Malaysia. Beliau mengakui bahwa dirinya merupakan anggota Sarekat Islam yang ada di Indonesia, yang dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto. (Mohd Nasir bin Mohd Tap, Dialog Agama dan Faham Kiri (Selangor: IDE Research, 2019).
Maka dapat kita simpulkan bahwa Sarekat Islam masuk ke Nusantara melalui jalur haji dan disebarkan oleh organisasi besar dan mapan yaitu Sarekat Islam yang dipimpin oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau H.O.S. Tjokroaminoto.
Baca: Orang-orang Arab-Indonesia dalam Arus Pergerakan Nasional dan Kemerdekaan
Sarekat Islam Sebagai Perpanjangan Tangan Pan-Islamisme
Sarekat Islam di Indonesia bagi sebagian sejarawan merupakan perpanjangan tangan daripada Pan-Islamisme yang ada di mesir. Sarekat Islam diyakini sebagai anak ideologi dari Pan-Islamisme.
Ada tiga hal yang melandasi keyakinan diatas; yang pertama ialah kemunculan Sarekat Islam yang relatif berdekatan dengan kemunculan Pan-Islamisme. Gerakan Sarekat Islam lahir sekitar lima belas tahun setelah gerakan Pan-Islamisme mulai tenar. Kedua, dalam soal pemikiran, Pan-Islamisme juga memiliki cita-cita untuk melawan tirani yang sama dengan cita-cita Sarekat Islam . Ketiga, Pan-Islamisme juga menjunjung tinggi ide persatuan bagi umat Islam sama halnya dengan Sarekat Islam .
Pan-Islamisme mulai dikenal atau tenar dan memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan bangsa Mesir tahun 1897 sampai kurang lebih tahun 1922. Meskipun sebenarnya gerakan ini telah lama muncul. Sarekat Islam lahir pada tahun 1913, Sarekat Islam merupakan perpanjangan dari Syarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh H. Samanhoedi pada tahun 1905. Gerakan SDI pada awalnya terabatas pada bidang ekonomi saja, gerakan ini muncul karena adanya usaha untuk menekan monopoli perdagangan batik yang dilakukan oleh etnis China di kota Solo.
Pada tahun 1913 Syarikat Dagang Islam memperluas pergerakannya dengan merubah namanya menjadi Sarekat Islam. Sarekat Islam juga tidak dipimpin oleh H. Samanhoedi melainkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dikemudian hari dapat membawa Sarekat Islam sebagai organisasi besar yang bersifat nasional yang mampu membangkitkan sentimen perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda, dan mampu menyadarkan seluruh lapisan masyarakat untuk kembali berjuang demi mencapai kemerdekaan.
Sejak dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto gerakan Sarekat Islam mencangkup seluruh bidang, dan yang paling mencolok adalah pada bidang politik. Perubahan dari gerakan yang menitik beratkan pada bidang ekonomi kepada bidang politik dan mencangkup seluruh bidang termasuk sosial, pendidikan, keagamaan merupakan sebuah upaya untuk mencapai cita-cita yang lebih tinggi lagi yaitu Zelfbestuur atau pemerintahan sendiri.
Sebagaimana diungkapkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto dalam pidatonya pada kongres Centraal Sarekat Islam di Bandung:
“ … Bilamana kita memperoleh Zelfbestuur yang sesunggunya, artinya bila tanah air kita, kelak menjadi suatu negara dengan pemerintahan sendiri, maka seluruh lapisan masyarakat semuanya akan menuju ke arah dan bersama-sama memelihara kepentingan kita bersama, dengan tidak pandang bulu, bahasa, bangsa, maupun agama … bahwa pembentukan suatu Zelfbestuur … dengan segenap kekuatan yang ada dan menggunakan segala tenaga serta daya upaya kita melalui jalan yang benar dan lurus … akan terwujud dalam waktu 10 tahun.” (Jang Oetam: jejak dan perjuangan H.O.S. Tjokroaminoto, Aji Dedi Mulawarman).
Keinginan untuk mendirikan pemerintahan sendiri dan menolak batas-batas suku, ras maupun bangsa merupakan ciri khas dari gerakan Pan-Islamisme yang diadopsi oleh organisasi Sarekat Islam di Nusantara. Perjuangan bersama adalah kunci kemenangan melawan penjajahan yang sudah beratus-ratus tahun diderita oleh masyarakat Nusantara.*
Penulis Wakil Ketua Islamic Studies Forum for Indonesia (ISFI) IIUM Periode 2020/2021, Pelajar Master Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences, IIUM