Hidayatullah.com– Lebih dari 20.000 orang mengungsi di ibu kota Haiti, Port-au-Prince, dalam empat hari, menurut badan PBB, karena penduduk melarikan diri dari aksi kekerasan geng yang merajalela sehingga melumpuhkan negara Karibia yang diliputi banyak masalah itu.
Gregoire Goodstein, kepala kantor perwakilan International Organization for Migration (IOM) di Haiti, mengatakan situasi kemanusiaan di Port-au-Prince sudah mengerikan.
“Kemampuan kami untuk menyalurkan bantuan sudah mencapai batasnya. Tanpa dukungan internasional segera, penderitaan masyarakat akan bertambah parah secara cepat,” imbuh Goodstein dalam sebuah pernyataan.
IOM mengatakan bahwa sekitar 17.000 dari kira-kira 20.000 orang yang baru-baru ini terpaksa berpindah tempat atau mengungsi sudah berada di tempat penampungan sementara, banyak di antara mereka yang sudah mengungsi atau berpindah tempat berkali-kali.
“Skala pengungsian seperti itu belum pernah terjadi sejak Agustus 2023,” kata IOM dalam rilis persnya seperti dilansir AFP Ahad (17/11/2024).
Perdana Menteri Haiti Alix Didier Fils-Aime dilantik pada hari Senin (11/11/2024), menggantikan perdana menteri sebelumnya Garry Conille, yang diangkat pada bulan Mei tetapi terlibat dalam perebutan kekuasaan dengan dewan transisi yang anggotanya tidak dipilih lewat pemilu.
Kejahatan dengan kekerasan di Port-au-Prince masih tinggi, geng-geng bersenjata lengkap menguasai sekitar 80 persen wilayah ibu kota. Mereka kerap menyerang warga sipil, meskipun pasukan internasional yang dipimpin Kenya sudah dikerahkan untuk memulihkan keamanan di sana.
Aksi kekerasan dan kriminalitas geng sudah menyebabkan hampir 4.000 kematian di Haiti tahun ini saja, menurut kantor urusan hak asasi manusia PBB.
Haiti kehilangan koneksi penting dengan dunia luar sejak pekan ini ketika Amerika Serikat melarang semua penerbangan sipil ke negara tersebut selama sebulan, setelah tiga pesawat komersial yang akan mendarat atau bertolak dari Port-au-Prix terkena tembakan peluru.*