Hidayatullah.com–Hal penting yang akan dilakukan di Munas III antara lain, melakukan perubahan struktur. Pada periode lalu, lembaga tertinggi di Hidayatullah adalah Dewan Syura (DS), dan lembaga ini langsung dipimpin oleh Pimpinan Umum.. Di bawah Dewan Syura terdapat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) yang merupakan lembaga eksekutif, dipimpin oleh Ketua Umum.
Menurut Sekretaris Jenderal DPP Hidayatullah demisioner, BM Wibowo, ternyata dalam pelaksanaan ada banyak hal yang memerlukan kerjasama intensif antara DPP dan DS, misalnya dalam penyusunan peraturan organisasi, anggaran tahunan, juga dalam perumusan konsep dan kebijakan.
Di sisi lain, posisi Pimpinan Umum yang menjadi kesatuan dengan Dewan Syura juga membatasi kewenangannya, dan Pimpinan Umum tidak dapat memutuskan sesuatu di luar mekanisme musyawarah Dewan Syura yang waktunya telah ditentukan.
Maka Badan Pekerja Munas merumuskan rencana perubahan struktur di tingkat pusat. Pertama, perubahan sebutan Dewan Pimpinan Pusat, dari lembaga eksekutif menjadi lembaga tertinggi yang bersifat kolektif. Di dalamnya ada Pimpinan Umum, Majelis Pertimbangan Pusat, Dewan Syura, dan
Pimpinan Pusat selaku eksekutif. Pemimpin tertinggi organisasi adalah Pimpinan Umum, sedangkan secara kolektif Pimpinan Umum dibantu oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat dan Ketua Dewan Syura. Adapun dalam pelaksanaannya, Pimpinan Umum dapat memfungsikan Ketua Umum sebagai wakil organisasi di ranah publik.
Kepemimpinan Pimpinan Umum
Sejak lahirnya Hidayatullah, Munas tidak pernah digunakan untuk memilih Pimpinan Umum, karena Pimpinan Umum tidak diangkat melalui pemilihan tersebut, dan tidak dibatasi masa jabatannya. Tetapi Munas digunakan untuk memilih Ketua Umum sebagai pemimpin eksekutif, dan anggota Dewan Syura sebagai mitra konsultatif bagi eksekutif. Periodisasi untuk jabatan-jabatan di luar pemimpin tertinggi adalah cara bagus untuk meningkatkan kinerja, dan tidak melanggar tradisi keislaman sama sekali.
Dalam munas Hidayatullah kali ini akan dilakukan perubahan, salah satunya adalah struktur di tingkat Pusat dengan memisahkan Pimpinan Umum dari Dewan Syura. Beda dari Munas organisasi yang lain, Munas ini tidak memilih Pimpinan Umum, sedangkan pemilihan Ketua Umum pun melalui musyawarah. Munas ini benar-benar akan menawarkan sesuatu yang baru.
Pimpinan Umum di Hidayatullah dipilih melalui Sidang Istimewa yang dihadiri oleh kalangan terbatas sebagai perwakilan dari ummat. Mereka dapat dianggap sebagai ahlul-hal wal-‘aqd, yakni kalangan yang memiliki legitimasi untuk itu. Sidang Istimewa diadakan sewaktu-waktu bila diperlukan, yaitu bila Pimpinan Umum udzur atau wafat.
Sedangkan Ketua Umum dipilih di Munas, namun tidak berdasarkan suara terbanyak yang melibatkan seluruh peserta, karena Hidayatullah mengikuti konsep syura, bukan demokrasi. Dalam syura, sesuai namanya, musyawarah untuk mufakat diutamakan. Tentu saja agar musyawarahnya bermutu, pesertanya harus melalui seleksi yang memadai, sehingga hasil mufakatnya benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
Sesuai dengan konsep yang dianut Hidayatullah, meski Munas sedang berlangsung, kepemimpinan di Hidayatullah tidaklah demisioner, karena masih ada Pimpinan Umum yang tetap memimpin secara absah. Ketua Umum akan dipilih oleh formatur. Formatur ditetapkan oleh Pimpinan Umum, yang unsurnya berasal dari anggota Majelis Pertimbangan Pusat ditambah kandidat-kandidat Dewan Syura yang berasal dari usulan di tingkat wilayah.
Mereka akan melakukan dialog pendalaman terlebih dahulu dengan kandidat-kandidat Ketua Umum sebelum melaksanakan pemilihan. Jadi sejak awal pada saat peserta mengusulkan nama-nama calon anggota Dewan Syura, mereka sudah tahu bahwa mereka sekaligus mengusulkan nama untuk calon formatur pemilihan Ketua Umum.
Pemilihan Dewan Syura dan Ketua Umum
Mekanismenya pemilihan Dewan Syura, DPW melalui musyawarah bersama DPD-DPD akan mengajukan 11 nama calon Anggota Dewan Syura (sekaligus calon formatur Ketua Umum). Usulan ini harus bersifat resmi dengan stempel, tanda tangan Ketua dan Sekretaris DPW, serta dilampiri salinan daftar hadir peserta musyawarah.
Pimpinan Umum akan memilih 33 di antara nama-nama yang diusulkan itu untuk menjadi anggota formatur bersama anggota Majelis Pertimbangan yang telah ditetapkan sebelumnya. Selanjutnya, ke-33 nama itu dikembalikan kepada peserta untuk dipilih menjadi anggota Dewan Syura definitif.
Teknisnya, peserta akan memilih 6 di antara 33 orang, dan calon dengan suara terbanyak 1 s/d 11 akan menjadi anggota Dewan Syura definitif.
Seleksi untuk jadi ketua umum cukup berat. Pertama, calon Ketua Umum adalah kandidat Dewan Syura yang (biasanya) mendapatkan dukungan terbanyak, oleh karena mereka adalah urutan nomor 1, 2, dan 3 dari 11 nama yang diusulkan oleh DPW. Selanjutnya Pimpinan Umum akan menetapkan 3 di antara nama-nama itu untuk menjadi kandidat Ketua Umum, tentunya setelah melakukan pendalaman dengan yang bersangkutan. Barulah kemudian ketiganya dapat dipilih menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat.
Rumusan ini merupakan kombinasi dari berbagai keinginan: menegaskan sistem syura dan mengakomodasi kecenderungan pemilih. Pembahasan awal dilakukan oleh Badan Pekerja Munas, yang anggotanya berasal dari Dewan Pimpinan Wilayah, dari DPP, dan dari Dewan Syura. Justru yang menghendaki tidak digunakannya mekanisme pemilihan langsung adalah Wilayah, berdasar pada hasil pertemuan mereka dengan anggota Badan Pekerja Munas yang berasal dari DPW.
Selain itu, Hidayatullah telah memiliki pengalaman dua kali memilih Ketua Umum melalui cara seperti ini, terbukti hasilnya tidak meragukan sedikit pun, justru mengurangi friksi karena kandidat Ketua Umum tidak akan melibatkan massa untuk mencari dukungan.
Menurut Abu A’la, semua hal di atas adalah hasil badan pekerja Munas yang telah disampaikan pada sidang pleno, tapi belum final. Finalisasinya ada di Munas, sebagai forum musyawarah tertinggi organisasi. Setelah Munas menyetujui perubahan Pedoman Dasar Organisasi, di mana di dalamnya termaktub struktur yang baru, maka perubahan ini otomatis terjadi. Namun demikian, kita juga sudah melakukan upaya sosialisasi sebelumnya karena tidak mungkin hal mendasar seperti ini dibahas secara tiba-tiba.
Rencana perubahan dan turunannya telah disaring melalui Rapat Pleno DPP (eksekutif), lalu Rapat Pleno Dewan Syura, lalu Rapat Gabungan DPP & DS, dan pada April lalu kita membahasnya dengan Dewan Pimpinan Wilayah di Jakarta. Selama bulan Mei ini pembahasan dan sosialisasi dilakukan dengan Dewan Pimpinan Daerah, sehingga diharapkan pada Juni seluruh peserta telah memahaminya dan Munas siap dilaksanakan. Meskipun peserta Munas tidak memilih Pimpinan Umum maupun Ketua Umum, ada beberapa agenda penting di Munas. Yang pertama adalah melakukan perubahan Pedoman Dasar Organisasi (PDO). Ini hal sangat penting, yang memerlukan andil peserta secara aktif. Yang kedua, mengesahkan Program Umum 5 Tahunan. Ini juga sangat penting, karena akan digunakan oleh Pengurus untuk melangkah dalam 5 tahun ke depan, tidak peduli siapakah yang akan menjadi Ketua Umum. Yang ketiga barulah melakukan pemilihan. Peran penting peserta dalam pemilihan adalah menentukan siapa yang akan menjadi anggota Dewan Syura.
Ada kemungkinan dilakukan penggantian. Misalnya, salah seorang di antaranya terpilih menjadi Ketua Umum, atau Pengurus Harian Pimpinan Pusat (eksekutif), atau udzur, wafat, dll. Maka pergantian dilakukan dengan menggunakan mekanisme suara terbanyak berikutnya. Hidayatullah tidak memperbolehkan terjadinya rangkap jabatan antar struktur (Pimpinan Umum, Majelis Pertimbangan, Dewan Syura, Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah) untuk menghindari konflik kepentingan, sehingga mereka yang beralih posisi akan digantikan oleh yang lain.
Ada yang bertanya, bagaimana bila yang terpilih atau yang menggantikannya itu ternyata tidak ideal? Inilah memang risiko dari mekanisme suara terbanyak. Akan tetapi, risiko itu dapat dikurangi, bila seluruh kandidat disaring dengan baik. Pertama, DPW mengusulkan nama-nama dengan seleksi ketat, disesuaikan dengan fungsi Dewan Syura yang merupakan lembaga mitra eksekutif, sekaligus memiliki kewenangan pengawasan. Tidak sebagaimana sebelumnya, Dewan Syura akan melakukan fungsi intensif, membahas sesuatu sejak awal hingga akhir, dan melakukan fungsi eksternal bersama eksekutif (Pimpinan Pusat) sebagai satu kesatuan di Dewan Pimpinan Pusat.
Seleksi kedua dilakukan oleh Pimpinan Umum, yang tentunya akan meloloskan nama-nama dengan cermat, dan didahului pendalaman terhadap yang bersangkutan, komitmennya, waktunya, kapasitasnya, dll. Diharapkan, ke-33 nama ini telah merupakan kader-kader pilihan yang layak memangku amanah di tingkat nasional sehingga siapa pun yang terpilih tidaklah
bermasalah.[shw/hidayatullah.com]