Oleh: Gilig Pradhana
SEJAK berita mengenai wacana pengaturan doa di sekolah dimuat oleh detik.com pada 1 Desember 2014, pro dan kontra mengalir tajam. Hal ini sangatlah wajar mengingat semangat keberagamaan di Indonesia boleh dibilang sangat kental. Dunia pendidikan sekalipun tak lepas dari nuansa agamis, seperti tercantumnya faktor iman dan taqwa pada visi atau misi sekolah.
Seperti diketahui, dua hari ini berita di Indonesia disibukkan dengan isu Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah Anies Baswedan yang akan mengevaluasi doa dalam proses belajar mengajar yang selama ini telah berlangsung di sekolah-sekolah negeri.
Yang menarik ialah, salah satu permasalahan yang sedang dievaluasi berkenaan dengan tata cara membuka dan menutup proses belajar.
Persoalan ini dimunculkan oleh sejumlah orangtua murid yang mengeluhkan tata cara agama tertentu yang mendominasi dalam proses belajar mengajar. Hal itu membuat siswa penganut agama lain menjadi tidak nyaman.
Berikut detik.com mengutip pernyataan mantan rektor Universitas Paramadina ini, “Saat ini kita sedang menyusun, tatib soal aktivitas ini, bagaimana memulai dan menutup sekolah, termasuk soal doa yang memang menimbulkan masalah. Ini sedang direview dengan biro hukum,” ujar Anies dalam jumpa pers di kantornya, Gedung Kemendikbud, Jalan Jend Sudirman, Jakarta, Senin (1/12/2014).
“Sekolah di Indonesia mempromosikan anak-anak taat menjalankan agama, tapi bukan melaksanakan praktik satu agama saja,” tuturnya.
Tentu saja hal ini mudah ditebak, bahwa “satu agama saja” yang dimaksud adalah Islam, mengingat jumlah pemeluknya mayoritas di Indonesia, kecuali Bali, Papua, dan beberapa daerah di Indonesia bagian timur.
Kenapa Baru Sekarang?
Banyak guru dan orangtua yang menampik isu tersebut sebagai suatu ketidaknyamanan mengingat proses belajar-mengajar sudah diawali dan diakhiri dengan doa sejak puluhan tahun republik ini berdiri, dan tidak ada keluhan dari siswa yang beragama minoritas. Sekolah-sekolah negeri selama ini menjadi pilihan netral bagi seluruh masyarakat Indonesia karena mengakomodasi seluruh ummat beragama dengan baik.
Kekhawatiran kaum Muslim mengenai rencana “diaturnya” (baca: dihapuskan) doa oleh pemerintah, khususnya, sangat beralasan, mengingat mereka berharap bahwa pendidikan karakter dan keagamaan untuk putra-putrinya dapat diperoleh di sekolah negeri. Sedangkan alternatif sekolah Islam yang kebanyakan dikelola swasta, kendatipun menyediakan pendidikan agama yang lebih berkualitas masih belum terjangkau oleh sebagian kalangan.
Pertama, kalau guru dilarang meneladankan doa dalam secara Islam, maka yang terjadi adalah sekulerisasi, yakni menjauhkan kaum Muslimin dari ruh ibadah.
Selama ini, siswa Muslim yang belajar di sekolah non-Muslim juga dibimbing doa menggunakan tata cara non-Islam, dan hal tersebut dimaklumi oleh kaum Muslimin mengingat fungsi kelembagaan mereka memang untuk mendidik sesuai ajaran agamanya. Jadi, toleransi beragama kaum Muslimin sudah berjalan cukup baik dalam dunia pendidikan Indonesia.
Kedua, bila guru dituntut berdoa secara semua agama, maka itu pluralisasi.
Sebelumnya, Pjs Ketua bidang Pendidikan MUI Anwar Abbas di Jakarta, Selasa (09/12/2014), menghimbau, “Jangan dibuat cara berdoa dengan mengganti kata Allah menjadi Tuhan Yang Maha Esa” karena akan mengaburkan identitas agama yang pada akhirnya pasti akan membuat ummat Islam merasa tidak nyaman. Bila faktor dominasi agama tertentu menjadi landasan bagi pemerintah untuk menetralisirnya, maka subyektivitas akan menjadi liar, bisa-bisa akan muncul aturan untuk mengganti “Assalaamualaykum” dengan “Selamat Pagi” sebagaimana yang pernah diusulkan “Bapak Pluralisme Indonesia”.
Beginilah semestinya, pendidikan bagi ummat Islam merupakan bagian dari ibadah, tak (boleh) terpisahkan. Selama ini umat beragama lain diperbolehkan berdoa sendiri menurut keyakinannya, tanpa paksaan. Maka biarlah tetap begitu. Sebagaimana bila dalam sekolah Nasrani, murid-murid Muslim juga seharusnya diperbolehkan berdoa menurut keyakinannya, tanpa tekanan.
Mengenali perbedaan itu upaya awal untuk saling menghargai. Kalau identitas tidak boleh ditunjukkan, maka keberagaman akan menjadi tabu, dan itu menghilangkan motto Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”.
Klarifikasi atau Pembatalan?
Namun kita bersyukur, bahwa Anies Baswedan menampik akan mengatur doa di sekolah sebagaimana yang diberitakan di media massa. Dia menyebut itu hanya wacana. Bahkan sebaliknya, beliau malah akan mendorong semangat religiusitas.
“Kita menganjurkan agar sekolah itu dimulai dengan doa diakhiri dengan doa. Ini baru wacana, dan kita ingin ini didorong,” ungkap lulusan Universitas Maryland tersebut kepada ROL, Selasa (09/12/2014) kemarin. Beliau akan mendiskusikan hal ini kepada kementerian agama.
Seandainya beliau lebih terbuka, mengenai materi apa yang hendak didiskusikan dengan Kemenag, mungkin akan lebih jelas lagi. Sebab memulai dan mengakhiri pelajaran dengan doa bukanlah wacana, melainkan sudah diterapkan di sekolah-sekolah. Sehingga ketika beliau bertanya, “Kenapa muncul sekarang?” pertanyaan itu lebih tepat beliau jawab sendiri, bukan pada publik.
Lepas dari spekulasi apakah pernyataan beliau tersebut adalah klarifikasi ataukah sebetulnya adalah pembatalan dari sencana sebelumnya, masyarakat dapat kembali tenang dan melanjutkan proses belajar mengajar sebagaimana biasanya. Yang menarik ialah reaksi publik yang seolah terbagi secara dikotomis, ini tetap perlu untuk ditindaklanjuti, terutama latar belakang yang mendukung, meskipun jumlahnya tidak mewakili. Dalam rangka melindungi kebebasan beribadah kaum minoritas, tanpa harus mengorbankan kebebasan beribadah kaum mayoritas.
Di lain pihak, Ustadz Yusuf Mansur yang sempat mempertanyakan dan mengklarifikasi kebijakan ini menekankan bahwa beliau (yang cukup representatif di kalangan ummat Islam) akan tetap menegur pihak yang meresahkan umat, khususnya pemerintah. Dalam tweet-nya, pimpinan Pondok Pesantren Daarul Quran Bulak Santri ini mengapresiasi kaum Muslimin yang telah melakukan peran pengawasan terhadap pemerintah, media massa, dan masyarakat sendiri.
Begitulah seharunya tokoh masyarakat dan publik (khususnya kaum Muslim). Dengan fenomena media sosial, sesungguhnya fungsi pengawasan juga bisa lebih cepat dan efesien. Wallahu a’lam.*