Mengadu Domba FPI dengan NU
Oleh: Amran Nasution *
Hidayatullah.com–Kenyataannya itu memang dilakukannya: memerangi Islam. Afghanistan dihancurkan. Iraq, negeri Muslim yang lain, yang sama sekali tak ada hubungan dengan terorisme, juga dihancurkan. Sekarang sudah lebih 1 juta penduduknya meninggal dunia. Lebih 4 juta menjadi pengungsi, termasuk ke negeri tetangga, Jordania dan Suriah.
Amerika menggunakan cara kuno kolonialisme: adu domba. Penduduk Sunni dan Shiah di Iraq yang sebelumnya bisa hidup tentram, diadu domba sehingga saling membunuh. Setelah itu, orang Shiah diadu dengan Shiah yang lain, Sunni diadu dengan Sunni.
Di Lebanon juga begitu. Hizbullah yang Shiah diadunya dengan kelompok Sunni. Di Palestina, kelompok Fatah diadu dengan Hamas. Arab Saudi dan negeri lainnya di Teluk yang kaya minyak ditakut-takuti dengan isu senjata nuklir Iran.
Campur tangan dalam bentuk dukungan konkret Kedutaan Besar Amerika Serikat kepada kelompok Ahmadiyah dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), ketika kelompok penghujat Islam dan kelompok liberalis itu bentrok dengan kelompok Front Pembela Islam (FPI) di Monumen Nasional, 1 Juni yang lalu, jelas dalam rangka war on terror. Yaitu untuk mengadu domba umat Islam – kelompok FPI dengan kelompok NU pendukung Gus Dur. Selain bermaksud untuk mengeliminasi kelompok FPI yang sangat anti-Amerika.
Berbagai indikator menunjukkan upaya itu gagal. Kelompok NU tak jadi bentrok dengan kelompok FPI, berkat PB NU yang dipimpin K.H.Hasyim Muzadi, cepat turun tangan. Soalnya PB NU juga secara resmi berpendapat Ahmadiyah adalah aliran sesat.
Kelompok FPI juga tak bisa dieliminasi. Terbukti demontrasi besar-besaran pecah mendukung FPI di Jakarta dan kota lain sampai Pemerintah SBY grogi dan buru-buru mengeluarkan SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah.
Yang merepotkan, kepolisian Indonesia sudah lama mendapat bantuan dana dari Pemerintah Amerika Serikat. Sehingga menjadi tanda tanya besar: apakah sikap berat sebelah polisi dalam kasus Monas berhubungan dengan bantuan dollar? Yang pasti, polisi hanya menangkap kelompok FPI, sementara AKKBB dan Ahmadiyah tak disentuh. Apalagi belakangan ketahuan, pria beratribut AKKBB dan berpistol di Monas itu adalah anggota polisi dan penganut Ahmadiyah.
Pemerintah dan lembaga bantuan dari Amerika Serikat juga banyak memberikan bantuan ke Mahkamah Agung. Sungguh mengerikan kalau dengan bantuan itu, Amerika akan mendikte Mahkamah Agung dalam keputusannya.
Itu juga yang dipersoalkan Muhammad Ali SH, pengacara Muchdi PR, bekas pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) yang ditangkap polisi karena dituduh terlibat pembunuhan aktivis HAM Munir. Dalam keterangan pers, 4 Juli yang lalu, pengacara itu memperlihatkan bukti fotocopy surat dari para anggota Kongres Amerika Serikat yang meminta Presiden SBY untuk menindak anggota BIN.
Surat kepada Presiden itu sampai dua kali, yaitu tahun 2005 lalu diulang pada 2006. Belum jelas tekanan kepada SBY yang disampaikan melalui telepon atau pertemuan langsung. Tapi karena surat itulah Muchdi ditangkap dan diperiksa polisi. ‘’Penangkapan itu politis, bukan karena alasan hukum,’’ kata Muhammad Ali. Yang jelas, Muchdi yang bekas Komandan Jenderal Kopassus itu, setelah pensiun menjadi Ketua Tapak Suci, organisasi pencak-silat Muhammadiyah. Muchdi memang berasal dari keluarga Muhammadiyah Yogyakarta.
Kasus ini memperjelas betapa dominannya pengaruh Amerika Serikat atas Indonesia. Indonesia adalah negara besar, penduduknya banyak, alamnya kaya, tapi seakan hanya protektorat Amerika Serikat. Sampai anggota Kongresnya pun bisa menekan Presiden SBY dengan dalih hak asasi manusia.
Mestinya, kalau betul Presiden SBY menjalankan politik luar negeri bebas aktif, Kongres Amerika itu harus diberitahu bahwa tangan mereka berlumuran darah orang Iraq. Karena persetujuan merekalah Presiden Bush bisa menyerbu Iraq. Karena persetujuan mereka pula sampai sekarang penjara Guantanamo masih kukuh berdiri. Anggota Kongres kayak begitu kok mau bicara HAM, apalagi menekan seorang Presiden negara berdaulat. Kenyataannya itu terjadi.
Sekadar untuk diketahui sponsor surat Kongres Amerika Serikat itu adalah Tom Lantos, anggota DPR (House of representative) dari Partai Demokrat, yang meninggal dunia Februari lalu, dalam usia 80 tahun. Ia dari Partai Demokrat tapi dia adalah pendukung utama Perang Irak dan pendukung setia penjara Guantanamo. Soalnya, Tom Lantos adalah seorang Yahudi fanatik. Dia dilahirkan di Budapest, Hungary, dari keluarga Yahudi, kemudian merantau ke Amerika Serikat.
Oktober lalu, Lantos mendamprat sejumlah anggota Parlemen Belanda yang baru mengunjungi Guantanamo. ‘’Kalau bukan karena Amerika Serikat, Belanda sampai sekarang adalah provinsi dari Nazi Jerman,’’ kata Lantos kepada anggota Parlemen Belanda yang kritis terhadap Guantanamo ketika menemuinya di Washington.
‘’Pernyataan seperti itu mematikan perdebatan, itu menyakitkan dan tak produktif,’’ kata Harry van Boumel, salah seorang anggota Parlemen Belanda (International Herald Tribune, 27 Oktober 2007).
Sponsor yang lain adalah Mark Steven Kirk, 49 tahun, anggota DPR mewakili Partai Republik. Steven Kirk seorang yang cerdas tapi sangat konservatif. Dia pendukung setia Perang Iraq dan juga anti-imigran Meksiko. Bulan lalu ia bikin heboh ketika dalam wawancara radio dia bilang setuju polisi menembak di tempat Obama. Setelah heboh, ia seenaknya meralat ucapannya dengan mengatakan yang ia maksudkan adalah Osama bukan Obama, Capres Partai Demokrat itu.
Musuh-musuh Obama memang suka memplesetkan namanya dengan Osama bin Ladin yang cuma beda huruf b dengan s. Soalnya, sampai sekarang di bawah permukaan masih beredar isu bahwa Obama adalah seorang Muslim tersembunyi.
Isu bahwa ia belajar di madrasah di Jakarta yang dipimpin seorang kiai ekstrim, walau sudah diralat, tetap dipercaya sebagian masyarakat. Apalagi Obama sulit membantah bahwa ayahnya serta leluhurnya dari garis ayah memang keluarga Muslim.
Tapi sukseskah Perang Salib Presiden Bush? Ternyata tidak. Sudah banyak artikel dan buku ditulis untuk menceritakan kegagalan Pemerintah Amerika Serikat dalam perang melawan teror. Yang terakhir, Maret lalu, Kolumnis Fred Kaplan menulis Daydream Believers – How a Few Grand Ideas Wrecked American Power (John Wiley & Sons Inc., 2008).
Buku ini membahas dengan sangat jelas bagaimana kegagalan demi kegagalan itu terjadi. Tentara Amerika Serikat terjerat di Iraq, perlawanan Taliban meningkat di Afghanistan – tahun ini terbanyak tentara Amerika tewas di Afghanistan — dan meningkatnya permusuhan di seluruh dunia terhadap Amerika Serikat, termasuk rakyat Eropa Barat.
Semua diceritakan. Bagaimana hubungan semangat moral dan agama Presiden Bush dengan kebijakan luar negerinya yang ekspansionis. Bagaimana kebijakan baru Pemerintah terbentuk dari semangat menggebu-gebu pelaku Perang Salib itu dan nasionalisme.
Maka kesalahan demi kesalahan dilakukan Pemerintahan Bush. Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld muncul dengan konsep pasukan kecil tapi dengan peralatan sangat canggih untuk menyerang Iraq. Nyatanya jumlah pasukan yang kecil itu memang mampu mengalahkan Iraq, tapi tak mampu menjaga keamanannya, apalagi menegakkan hukum dan ketertiban.
Bekas tentara Iraq yang berjumlah ratusan ribu diberhentikan dan dibiarkan menjadi penganggur di jalan-jalan. Ternyata mereka kelak menjadi tentara perlawanan yang merepotkan dan menewaskan banyak serdadu Amerika. Apalagi Garda Republik, pasukan elit Iraq yang terlatih itu. [bersambung/hidayatullah.com]
* Penulis adalah Direktur Institute for Policy Studies