Hidayatullah.com—Di negara dengan mayoritas penganut keyakinan Budha, ternyata juga memperhatikan batas-batas kewajaran dalam berbusana. Myanmar hari Minggu (3/4) menyatakan, mereka yang berpakaian “dekaden’ saat perayaan Tahun Baru yang akan datang bisa menghadapi satu bulan di penjara.
Mulai 13 April nanti Myanmar akan mengadakan festival empat hari menandai Tahun Baru tradisional dalam kalender lunisolar yang digunakan di Thailand, Laos, dan Kamboja. Saat merayakan tahun baru ini merupakan salah satu kesempatan bagi masyarakat dapat merasakan kebebasannya di bawah rezim represif.
Di negeri yang masih dililit kemiskinan itu, warga yang merayakannya akan saling siram dengan air di antara mereka dan menari di jalan-jalan, dengan diberikan ketentuan etika yang memadai dari pemerintah. Myanmar berada di bawah kekuasaan militer selama 50 tahun.
Setelah pemilu tahun lalu, junta militer secara resmi dibubarkan dan menyerahkan sejumlah kekuasaan kepada pemerintah sipil, tetapi aturan untuk berpesta selama perayaan Tahun Baru tetap tidak berubah.
Jurnal News Watch, satu majalah mingguan, memuat peringatan dari pemerintah kepada penyelenggara acara agar menghindari memakai pakaian yang bertentangan dengan budaya Myanmar.
Dikatakan bahwa komite khusus akan mengawasi apa yang akan dipakai seseorang dengan menggunakan kamera CCTV guna merekam kerumunan masyarakat nantinya.
Mereka yang memakai pakaian ‘dekaden” dan wajahnya tertangkap CCTV, dapat menghadapi denda atau dipejara sampai satu bulan di penjara. Tidak disebutkan pakaian ‘dekaden” apa yang dilarang, tetapi pemerintah di masa lalu telah meminta perempuan untuk tidak mengenakan tank top dan celana pendek yang minim.
Peringatan terdahulu juga mengatakan, mereka yang bersuka ria agar tidak membunyikan klakson dan menghindari permainan kasar yang dapat melukai orang, seperti melempar tas penuh dengan es.
Barangkali cara pengawasan yang dilakukan Myanmar ini dapat menjadi rujukan bagi Wilayatul Hisbah (polisi Syariat Islam) yang bertugas menegakkan hukum-hukum Islam di tengah masyarakat Aceh, serta daerah lain yang menerapkan Perda syariat Islam.*