Hidayatullah.com—Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat (AS) mengkonfirmasi bahwa pembunuhan pemimpin al-Qaeda, Ayman al-Zawahiri dalam serangan pesawat tak berawak di kediamannya di Kabul, Afghanistan telah dirancang sejak Mei. Semula, itu diragukan karena beberapa foto di tempat kejadian menunjukkan bahwa tidak ada tanda-tanda ledakan yang menjelaskan serangan itu, dan pihak berwenang AS bersikeras bahwa tidak ada orang lain yang terluka dalam insiden itu.
Setelah bertahun-tahun melacaknya, angkatan bersenjata AS menembakkan dua rudal Hellfire dari pesawat tak berawak yang terbang di atas ibukota Afghanistan.Penggunaan senjata tersebut sejauh ini tidak pernah diakui oleh Pentagon atau CIA dan R9X mulai mendapatkan perhatian setelah kematian pemimpin senior al-Qaeda, Abu al-Khayr al-Masri, yang dibunuh dalam serangan saat mengendarai kendaraan di Suriah pada Maret 2017.
Sejumlah gambar menunjukkan kendaraan yang dikendarai Abu al-Khayr dengan lubang di atap, dengan semua interior mobil hancur. Namun, bagian depan dan samping kendaraan tidak terpengaruh sama sekali.
Sejak 2017, semua target yang diyakini telah diserang dengan senjata semacam itu telah menunjukkan efek serupa. Kemudian, sedikit demi sedikit, informasi tentang rudal yang dijuluki ‘flying ginsu’ atau pisau terbang itu mulai terungkap.
Selain itu, senjata ini juga disebut ‘bom ninja’ dan sering menjadi pilihan otoritas AS untuk membunuh pemimpin kelompok Al-Qaeda sekaligus ingin menghindari kematian warga sipil. Kesimpulannya, mungkin senjata yang sama digunakan oleh CIA untuk mengakhiri cerita Ayman.
Menurut pernyataan seorang pejabat pemerintah, pada pagi hari tanggal 31 Juli, Zawahiri sedang berdiri sendirian di balkon rumahnya ketika serangan drone diluncurkan. Berdasarkan gambar yang direkam, hanya jendela di satu lantai yang rusak, sedangkan bagian lain dari tempat tinggal tidak terpengaruh.
Keluarga Ayman juga berada di kediaman ketika serangan itu terjadi, tetapi tidak ada dari mereka yang terluka. “Kami dapat memastikan tidak ada pihak lain yang terluka atau tewas dalam serangan itu,” jelas pejabat yang tidak mengungkapkan identitasnya itu dikutip AFP.
Kematian Ayman diumumkan oleh Presiden AS Joe Biden. “Keadilan telah ditegakkan dan pemimpin teroris ini tidak ada lagi,” katanya dalam sebuah pernyataan.
Operasi itu adalah yang terbesar sejak pendirinya, Osama bin Laden, dibunuh oleh pasukan AS pada 2011 selama pemerintahan Barack Obama. Serangan yang menargetkan Zawahiri telah direncanakan sejak Mei dan Juni lalu, dengan otoritas AS terus meneliti dan memantau kediaman pemimpin di Kabul.
Mereka mempelajari pembangunan tempat tinggal untuk menargetkan Zawahiri sampai dia terbunuh tanpa merugikan pihak lain. Pihak berwenang kemudian ‘menyajikan rencana mereka’ kepada Biden pada 1 Juli dan pada 25 Juli, Presiden AS akhirnya memberikan izin untuk melancarkan serangan.
Saat serangan Zawahiri sedang melangkah ke balkonnya di lingkungan Shirpur di Kabul ketika pesawat tak berawak AS menembakkan dua rudal RX9 Hellfire. Tidak ada anggota keluarga al-Zawahiri yang terluka dan tidak ada korban sipil, kata Biden, menyebut misi untuk melenyapkan pemimpin teroris itu “sukses total.”
“Misi ini direncanakan dengan hati-hati dan ketat untuk meminimalkan risiko bahaya bagi warga sipil lainnya. Dan satu minggu yang lalu, setelah diberitahu bahwa kondisinya sudah optimal, saya memberikan persetujuan akhir untuk menjemputnya,” kata Biden. “Kami tidak akan pernah lagi, tidak akan pernah lagi membiarkan Afghanistan menjadi tempat perlindungan teroris karena dia telah tiada. Dan kami akan memastikan tidak ada hal lain yang terjadi,” tambahnya.
Juru bicara Taliban mengatakan, “Imarah Islam Afghanistan sangat mengutuk serangan ini dengan dalih apa pun dan menyebutnya sebagai pelanggaran yang jelas terhadap prinsip-prinsip internasional dan Perjanjian Doha.”
“Tindakan seperti itu merupakan pengulangan dari pengalaman gagal selama 20 tahun terakhir dan bertentangan dengan kepentingan Amerika Serikat, Afghanistan, dan kawasan,” tulis Zabihullah di twitter. “Mengulangi tindakan seperti itu akan merusak peluang yang tersedia.”
Sebelumnya, pihak berwenang AS menawarkan hadiah sebesar US$25 juta kepada pihak mana pun yang membantu menangkapnya.*