Hidayatullah.com– Pentingnya partisipasi politik umat Islam dalam rangkaian kegiatan politik terutama yang berhubungan dengan proses pemilihan pemimpin melalui mekanisme Pemilihan Umum (Pemilu) atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada),
Itulah salah satu persoalan negeri yang disoroti dan menjadi pembahasan Drs. Tohir Bawazir dalam bukunya yang berjudul “Jalan Tengah Demokrasi Antara Fundamentalisme dan Sekulerisme” yang dilaunchingkan di Grand Alia Hotel, Jalan Cikini Raya, Jakarta, Selasa (18/08/2015) malam.
Menurut Bawazir partisipasi politik umat Islam kurang maksimal sehingga cita-cita menghadirkan seorang figur pemimpin yang Islami serta upaya membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berangsa dan bernegara sulit terwujud. Maka, lanjutnya, tak heran jika dalam beberapa kali pemilu dan pilkada, tokoh ataupun kandidat yang mewakili kepentingan bagi umat Islam kalah. Padahal, secara demografi kependudukan, jumlah umat Islam di Indonesia mayoritas sehingga sepatutnya umat Islam dapat menentukan figur yang tepat untuk memimpin.
“Hal ini kami kemukakan, sebab, dalam beberapa tahun ini soal demokrasi selalu digugat dan dipertanyakan oleh sebagian aktifis Islam. Padahal, di awal kemerdekaan Republik Indonesia (RI) seluruh komponen umat Islam sepakat memperjuangkan aspirasi politik menggunakan mekanisme sistem politik yang berlaku, salah satunya yaitu mendirikan partai Masyumi,” papar Bawazir.
Jika mengacu kepada akar sejarah perjalanan bangsa, lanjut Bawazir, umat Islam sepatutnya tidak menghindar dari aktifitas politik dan pemilu. Sistem politik yang berlaku saat ini, menurutnya, sedikit banyak merupakan buah karya pemimpin-pemimpin Islam terdahulu yang patut untuk terus diperjuangkan.
“Tokoh-tokoh umat Islam pada masa itu bukan hanya aktif mendidrikan ormas dan partai politik Islam melainkan turut aktif merumuskan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ujar Bawazir.
Dalam masyarakat yang heterogen, menurut Bawazir, demokrasi memang belum bisa memuaskan keinginan semua komponen masyarakat. Namun, setidaknya dapat menjadi solusi dalam menyelesaikan perbedaan menjadi sebuah kompromi politik. Terlebih lagi, katanya, bangunan politik Islam di masa awal kenabian hingga masa khulafaur rasyidin dibangun dengan semangat demokrasi walaupun kemudian melenceng dan membangun sistem kerajaan.
“Sehingga, apabila di masa sekarang bentuk pemerintahan demokrasi semakin tumbuh, sedangkan bentuk pemerintahan monarki maupun para penguasa diktator semakin ditinggalkan oleh manusia, sejatinya itu sejalan dengan semangat Islam,” pungkas Bawazir.
Cendekiawan Muslim Indonesia, Dr. Adian Husaini menyebutkan buku berjudul “Jalan Tengah Demokrasi Antara Fundamentalisme dan Sekulerisme” karya Drs. Tohir Bawazir itu merupakan salah satu usaha untuk mendudukan demokrasi secara obyektif dan kemudian memberikan kiat-kiat untuk memanfaatkan demokrasi guna kepentingan perjuangan Islam di Indonesia.
“Faktanya, demokrasi telah diterapkan sebagai bagian dari NKRI, umat Islam laksana penumpang kapal bernama Indonesia yang dinakhodai oleh Presiden dan Wakil Presiden RI. Jika nakhoda kapal NKRI menabrakkan kapal ini tenggelam maka umat Islam pun akan terkena dampaknya secara langsung. Jika kapal NKRI ini tenggelam maka seluruh penumpangnya, baik muslim atau non-muslim akan ikut tenggelam,” demikian tandas Adian.
Dalam acara launching buku tersebut, Penerbit Pustaka al-Kaustar selaku penyelenggara, menghadirkan dua pembicara sekaligus di antaranya yaitu Dr. Adian Husaini dan KH. Cholil Ridwan.*