Hidayatullah.com- Pemerintah yang membidangi sektor Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak mampu membawa perbaikan dalam bidang energi. Hal itu terlihat dari kebijakan yang seringkali menyimpang dari konstitusi.
Demikian disampaikan Direktur Energy Watch Indonesia, Ferdinand Hutahaean dalam diskusi “Refleksi Kabinet Jokowi-JK 2015″ di Rumah Makan Handayani Prima Matraman, Jakarta, belum lama ini.
“Penyimpangan pertama kita cermati dari harga bahan bakar minyak (BBM). Sejak pertama kabinet (Jokowi-JK) ini dibentuk, berusaha menggiring negara kita kepada mekanisme pasar,” ujar Ferdinand.
Menurut Ferdinand, terkait kebijakan menyerahkan pada mekanisme pasar justru menempatkan rakyat sebagai konsumen yang terus dieksploitasi.
Ferdinand mencontohkan hal yang paling baru terjadi ketika penurunan harga BBM oleh Menteri ESDM Sudirman Said. Menurutnya keputusan Sudirman Said tersebut tidak memiliki kejelasan.
“Harga dari perhitungan yang kita miliki harga riil masih di bawah. Artinya saat ini pemerintah sedang berusaha mengambil untung besar,” katanya.
Selain itu, Ferdinand mempertanyakan juga soal “pungutan” dana ketahanan energi sebesar Rp 200 dari setiap liter premium serta Rp 300 dari setiap solar yang dibeli oleh masyarakat.
“Pak Sudirman Said dalam konpers menyampaikan dasar hukumnya UU No 30 tahun 2007. Memang pasal itu membolehkkan pemerintah mengambil dana energi. Tapi pertanyaanya adalah pemerintah ambil dana energi dari siapa dulu? Dari rakyatkah atau pelaku bisnis migas?” cetusnya.
Jadi, tegasnya, kebijakan pemerintah ngawur, dan tidak punya konsep jelas. Akhirnya publik pun pasrah menerima apapun keputusan dari pemerintah.
“Padahal publik itu harus dilindungi,” demikian tutup Ferdinand menegaskan.
Sebagaimana diketahui, pada Rabu (23/12/2015), Menteri ESDM Sudirman Said menyatakan bahwa pemerintah akan memungut dana ketahanan energi sebesar Rp 200 dari satu liter premium, dan Rp 300 dari satu liter solar yang dibeli masyarakat dengan asumsi penerimaan sampai pada akhir tahun ini sebesar Rp 16 triliun.*