Hidayatullah.com — Mantan Menteri Agama KH. Tholchah Hasan, menilai tidak semua guru agama di sekolah mempunyai kelayakan mengajar agama, baik dari segi penguasaan bahan ajar, performa dalam menjalankan tugas, maupun keteladanan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk itu, menurut pakar pendidikan Islam ini, perlu adanya pembekalan berkesinambungan bagi peguatan penguasaan guru terhadap materi ajar.
“Pendidikan agama juga lebih terfokus pada aspek kognitif, bukan afektif. Pendidikan agama masih terhenti pada pengajaran ilmu agama, belum mencapai internalisasi nilai. Pendekatannya masih pada a’malul jawarih (perbuatan anggota badan), tidak sampai a’malul qulub (perbuatan hati),” katanya ketika menjadi narasumber dalam Temu Pakar Pendidikan Islam di Hotel Santika, TMII, Jakarta, Senin lalu.
Capaian dan pengaruh pendidikan agama dipertanyakan. Menurut dia, banyaknya perilaku menyimpang di kalangan pemuda pelajar, seperti radikalisasi, narkoba, pergaulan bebas, dan kriminalitas, memunculkan pertanyaan tentang sampai di mana capaian dan pengaruh Pendidikan Agama Islam (PAI) terhadap perubahan perilaku dan sikap peserta didik di sekolah.
Menurut Kyai Tholchah, setidaknya ada 5 faktor yang perlu dicermati dalam merespon problem pendidikan PAI, yaitu, Pertama, faktor guru agama dan kompetensinya. Problem penguasaan materi ajar guru PAI masih sangat terbatas. Kedua, faktor habituasi yang kurang mendukung. Ketiga, kelangkaan figur teladan, dan Keempat, lemahnya pembinaan.
“Guru agama juga lebih mencerminkan dirinya sebatas sebagai pendidik professional, tidak bisa menjadi pendakwah yang bertanggungjawab terhadap pendidikan spiritual. Kompetensi leadership guru agama lemah,” katanya seperti dikutip laman Kemenag.
Padahal, menurut Kyai Tholchah, di luar kompetensi pendidik yang diatur dalam PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, khusus guru agama, harus ada 2 kompetensi yang dikuasai, yaitu: leadership dan spiritual. Akibat dari semua ini adalah pendidikan agama di sekolah terasa kering.
Dikatakan dia, guru agama kurang menggunakan soft-skill secara kreatif sehingga sulit dalam membentuk lingkungan keagamaan yang mendukung. Selain itu, apresiasi dan dukungan komunitas sekolah juga sering kurang memadai. Akibatnya fasilitas dan sarana pembejaran PAI sangat terbatas.
Pendidikan agama dan pembentukan karakter luhur, membutuhkan figur keteladanan (uswah hasanah). Tanpa itu, pendidikan agama akan kering dan hambar. Sayangnya, keteladanan justru mulai langka di sekolah. Guru agama bahkan tidak mampu menjadi teladan di sekolahnya. Banyak guru agama yang minder di sekolahnya, dan merasa lebih rendah di banding guru lain, jelas Kyai Tholchah.
“Dinamika sosial yang demikian kompleks menuntut adanya pembinaan terhadap guru agama untuk mengurangi kesenjangan wawasan dan ilmu pengetahun,” imbuhnya.*