Hidayatullah.com – Pernyataan Kapolres Dharmasraya AKBP Roedy Yulianto yang secara tidak langsung menyudutkan aksi ‘teroris’ berkaitan dengan teriakan kalimat takbir dinilai sebagai suatu yang steorotip terhadap kelompok tertentu.
Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, pernyataan terkait kasus pembakaran Polres Dharmasraya itu menjadi pertanda bahwa kehumasan Polri perlu lebih dikuatkan lagi.
Reza menyayangkan, penyebutan seruan membesarkan nama Tuhan sebagai salah satu indikator ‘teroris’.
Ia menjelaskan, perkataan Kapolres tersebut bersumber dari implicit bias, yakni asosiasi otomatis yang terbangun antara kalangan tertentu dengan stereotip yang dimiliki kalangan tersebut.
Baca: Teroris Karena Teriak Takbir, Maneger: Pejabat Publik Cacat Nalar Kemanusiaan
Karena sudah terlanjur diucapkan secara sadar dan terbuka, menurut Reza, implicit bias bisa naik kelas menjadi explicit bias.
“Implicit ataupun explicit bias, faktanya, juga terjadi pada personel polisi di negara-negara lain. Misalnya, polisi lebih curiga terhadap warga kulit hitam dan Latino,” jelasnya kepada hidayatullah.com melalui keterangan tertulis, Rabu (15/11/2017).
Padahal, terangnya, implicit bias jelas punya pengaruh sangat nyata terhadap relasi yang polisi bangun dengan warga.
Untuk itu, menurut Reza, dalam rangka memastikan terealisasinya Polri sebagai organisasi yang profesional, modern, dan terpercaya, Polri punya kebutuhan untuk menangani explicit bias Kapolres Dharmasraya. Baik secara organisasi maupun hukum.
“Intinya, Polri perlu mengunci perkataan bias tersebut sebagai kekeliruan individu, bukan organisasi. Jangan sampai kian tak terbendung anggapan khalayak luas bahwa ada penistaan terhadap kelompok tertentu dan ada standar ganda alias diskriminasi dalam penegakan hukum di Indonesia,” pungkasnya.
Sementara itu, Koordinator Indonesia Crime Analys Forum (ICAF), Mustofa Nahrawardaya mengatakan sebaiknya institusi Polri tidak lagi menambah persoalan dalam ruwetnya seputar terorisme.
“Jika sepakat tidak ada hubungan antara agama dan terorisme, maka semua anggota polisi, apalagi pimpinan Polri, wajib hukumnya menutup rapat-rapat istilah, statment, atau ucapan yang dapat membangkitkan amarah umat Islam gara-gara sengaja menyebarkan istilah, statment, atau ucapan yang menggiring seolah ada kaitan antara agama Islam dangan terorisme,” ujarnya.
“Tidak elok apabila, justru Polri yang menjadi pemicu amarah umat. Media massa diminta tidak menebarkan konten radikalisme, namun Polri justru memicu umat Islam menjadi radikal. Saya yakin Polri punya niat baik memberantas terorisme. Namun jika niat baik dilakukan dengan cara salah, fatal akibatnya,” tambah pengurus PP Muhamadiyah dalam pernyataannya kepada hidayatullah.com.*