Hidayatullah.com | The Daily Beast | Sahabat al Aqsha–Beberapa waktu lalu, para pemimpin Hamas dan Fatah mengumumkan bahwa mereka akhirnya akan bekerja sama. Akan tetapi, sebenarnya jajaran dan anggota mereka telah bekerja sama dalam waktu yang lama dalam sebuah sistem, yakni di dalam penjara ‘Israel’. Oleh karena itu, perdamaian antara Fatah di Tepi Barat dan Hamas di Gaza bukan hal baru bagi mereka yang mendekam dan menderita bersama-sama di penjara penjajah zionis ‘Israel’.
Karena 40 persen dari seluruh laki-laki Palestina pernah dipenjara oleh penjajah zionis ‘Israel’, merasakan luka fisik dan emosional akibat penahanan tersebut. Oleh karena itu, solidaritas di antara tahanan Palestina tidak mudah hilang, bahkan setelah mereka bebas.
Sistem pemerintahan di dalam penjara yang bersatu antara Fatah dan Hamas ini dikisahkan oleh Salah Hamouri, seorang mantan tahanan Palestina. Hamouri berusia 20 tahun pada Maret 2005, ketika tentara penjajah zionis ‘Israel’ menangkapnya di titik pemeriksaan antara Ramallah dan Al-Quds Terjajah. Penjajah zionis menangkap Hamouri dan kedua anggota Kelompok Pembebasan Palestina lainnya dengan tuduhan atas pembunuhan Rabbi Ovadia Yosef, pemimpin partai Shas ortodoks ‘Israel’.
Punya Pemilihan Umum Sendiri
Sejak tahun 1967, lebih dari 800.000 rakyat Palestina telah ditahan oleh penjajah zionis ‘Israel’. Karena jumlah tahanan politik Palestina sangat banyak, maka struktur pemerintahan internal hadir di dalam penjara. Menurut Hamouri, di dalam penjara penjajah zionis ‘Israel’, ada demokrasi internal di kalangan tahanan.
“Kami memiliki pemilihan umum sendiri,” kata Hamouri.
Hamouri menjelaskan, setiap partai politik memiliki organisasi dan perwakilan untuk membentuk sebuah pemerintahan yang bersatu di dalam sistem penjara. “Setiap partai akan mengirim seseorang yang berfungsi sebagai “Menteri Luar Negeri” ke komite dalam sistem internal di antara para tahanan. Komite ini kemudian akan menunjuk perwakilan yang akan maju dalam negosiasi dengan ‘Israel’,” tutur Hamouri.
Sulit Bergabung Kembali ke Masyarakat
Meski dalam penjara mereka memiliki sistem pemerintahan yang baik, tapi para tahanan tetap sulit untuk kembali bergabung di masyarakat setelah bebas dari penjara. Hamouri mengatakan, Otoritas Palestina memiliki program dukungan keuangan bagi mantan tahanan, subsidi untuk pendidikan, asuransi kesehatan, dan pinjaman usaha, namun semuanya bernilai kecil.
Selain tidak adanya sistem yang mendukung mantan tahanan dapat kembali bergabung dengan masyarakat, stres psikologis juga membuat mereka memilih berdiam diri di rumah setelah bebas. Beberapa penyebab stres psikologis ini adalah penyiksaan fisik dan emosional bertahun-tahun di penjara, larangan bertemu keluarga selama ditahan, serta larangan untuk mengikuti berbagai kegiatan seperti politik setelah bebas. Mohammad Al-Batta, Direktur Program Rehabilitasi bagi Mantan Tahanan, mengatakan bahwa sebenarnya kementerian kesehatan menawarkan pelayanan psikologis, namun hanya sedikit yang menggunakan.
“Kami tidak punya sistem sosial yang memungkinkan para tahanan kembali menyatu dengan masyarakat. Bagi masyarakat, kami adalah pahlawan dan kami harus merasa bangga karenanya. Akan tetapi, tidak ada yang menanyakan kepada para tahanan apa yang terjadi selama bertahun-tahun di penjara. Beberapa dari tahanan tidak sanggup bertahan dengan kondisinya. Aku juga mengenal beberapa orang yang dipenjara selama 20-30 tahun. Ketika bebas, mereka pun hanya berdiam di rumah, karena tidak bisa pergi keluar,” jelas Hamouri. *