Hidayatullah.com–Presiden Palestina Mahmud Abbas akan mengumumkan pemerintah persatuan pada hari Kamis besok, mengakhiri tujuh tahun pemerintahan yang berseteru di Tepi Barat dan Jalur Gaza, kata seorang pejabat.
“Kami telah selesai melakukan konsultasi mengenai pemerintah nasional hasil konsensus,” kata Azzam al-Ahmed, utusan gerakan Fatah pimpinan Abbas, kepada AFP yang dilansir Channel News Asia Rabu (27/5/2014), setelah pembicaraan di Gaza dengan penguasa Hamas.
“Pengumuman ini akan disampaikan presiden beberapa saat mendatang,” katanya
Organisasi Pembebasan Palestina, yang didominasi oleh Fatah, menandatangani kesepakatan rekonsiliasi tak terduga-duga dengan Hamas pada tanggal 23 April, yang memberikan kedua belah pihak lima minggu untuk menyusun “pemerintahan mandiri ” teknokrat yang dipimpin oleh Abbas.
Kesepakatan mengenai pemerintah persatuan akan membuka jalan bagi pemilihan presiden dan parlemen yang telah lama tertunda .
Hamas menang telak dalam pemilu parlemen terakhir pada tahun 2006.
Tapi Uni Eropa dan Amerika Serikat menolak menjalin hubungan dengan gerakan Islam tersebut, kecuali jika meninggalkan kegiatan perlawanan dan mengakui Zionis Israel beserta kesepakatan perdamaian yang telah dicapai di masa lalu.
Perwakilan dari faksi yang bertikai telah melakukan beberapa putaran pembicaraan untuk menyembuhkan pertikaian berdarah karena Hamas mengusir Fatah dari Gaza dalam bentrokan mematikan pada tahun 2007.
Kedua belah pihak menandatangani kesepakatan rekonsiliasi di Kairo pada tahun 2011 dan Doha pada tahun 2012, tetapi kesepakatan tidak terlaksana.
Hamas sebelumnya mendapat dukungan Mesir di bawah Presiden Mohammad Mursy dari Ikhwanul Muslimin, tetapi kemudian mendapat tekanan dari Kairo sejak militer menggulingkan Mursy pada bulan Juli tahun lalu dan mengetatkan lintas menuju Gaza dengan menutup perbatasan Rafah dan menghancurkan terowongan yang digunakan untuk membawa pasokan penting.
“Kontak sedang berlangsung dengan Mesir terhadap perlintasan Rafah, dan akan ada langkah-langkah pembicaraan setelah pemerintah terbentuk,” kata Ahmed.
Gaza mengalami krisis bahan bakar terburuk setelah Mesir menghancurkan terowongan tahun lalu. Pada saat yang sama, kelompok hak asasi memperingatkan bahwa warga Gaza tidak bisa mendapatkan akses yang tepat untuk perawatan medis dengan melalui perbatasan, baik Rafah atau Erez di utara Gaza, yang dikontrol tentara Zionis Israel.
Rekonsiliasi kesepakatan itu menimbulkan kemarahan dari pihak Israel, menempatkan ‘paku terakhir di peti mati’ dari pembicaraan damai yang ditengahi AS antara negara Zionis dan kepemimpinan Palestina berbasis di Tepi Barat, Abbas.
Washington telah menegaskan bahwa pemerintah Palestina harus berkomitmen “jelas” dengan prinsip-prinsip non-kekerasan dan mengakui eksistensi Israel. Ini mengacu pada penolakan Hamas untuk mengakui Israel dan mendukung perjuangan bersenjata melawan Zionis Israel.*