يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus [10]: 57)
Muqaddimah
Hidayatullah.com | Surat Yunus tergolong surat Makkiyah (yang turun sebelum peristiwa Hijrah Nabi beserta para sahabatnya ke kota Madinah), kecuali pada beberapa ayat saja. Yakni ayat ke-40, 94, 95, dan ayat ke-96 yang turun setelah surat al-Isra. Hal itu dikatakan ahli tafsir Ahmad bin Musthafa dalam karyanya Tafsir al-Maraghi.
Umumnya yang termasuk Makkiyah, biasanya menceritakan kekuasaan Allah, Sang Maha Pencipta. Mulai dari penciptaan langit, bumi, dan seluruh isinya, pertukaran siang dan malam, serta adanya ketetapan peristiwa kebangkitan dan pembalasan setiap amalan manusia di Hari Kiamat nanti.
Menurut al-Maraghi, ayat di atas menjelaskan dorongan kepada manusia untuk menindaklanjuti pengakuan terhadap Rububiyah Allah. Pengakuan itu tidak cukup kecuali setelah mengubah pola pikir dan pola hidup selaku orang beriman, sesuai dengan al-Qur’an. Indikasi sederhananya, seluruh amalannya sehari-hari sejalan dengan rambu-rambu ajaran al-Qur’an.
Makna ayat
Mufassir ath-Thabari berkata, ayat ini menegaskan tentang kedudukan agung al-Qur’an. Kata “min Rabbikum” (dari sisi Tuhan kalian) menguatkan makna, al-Qur’an itu Kalamullah (firman Allah). Ia datang sebagai ucapan langsung dari Allah, bukan buatan Nabi Muhammad, apalagi jika dikatakan hanya diada-adakan oleh manusia lainnya.
Misi pertama al-Qur’an, lanjut ath-Thabari, adalah sebagai pelajaran atau nasihat (ma’uizhah) bagi manusia. Demikian itu hanya bisa berfungsi jika orang itu mengimani al-Qur’an dengan penuh keyakinan. Sebab ia mengingatkan manusia tentang Hari Akhirat dan berbagai peristiwa besar yang menyertainya. Bahwa di sana ada pembalasan yang setimpal berupa surga dan neraka kelak.
Selanjutnya, al-Qur’an juga berfungsi sebagai penyembuh (syifa) bagi manusia. Dengan daya i’jaz (mukjizat) dan seizin-Nya, al-Qur’an tak hanya sanggup mengobati penyakit fisik seseorang. Lebih dari itu, menerangi kegelapan hati dan mengentaskan kebodohan akal manusia. Al-Qur’an adalah sumber segala ilmu. Di dalamnya terkandung semua jenis ilmu yang dibutuhkan manusia.
Usai menghilangkan karat penyakit di hati dan pikiran manusia, saatnya al-Qur’an bekerja pada tingkatan fungsi berikutnya. Yaitu menanamkan hidayah yang akan menerangi jalan kehidupan manusia di dunia. Sebagai penerang, hidayah bukan sekadar mengenal kebaikan atau keburukan. Tapi juga memilah dan menyikapinya dengan tindakan yang nyata.
Sekira itu kebaikan atau ketaatan, hidayah al-Qur’an mengantarnya bersungguh-sungguh menjalankan perintah agama. Sebaliknya jika keburukan atau kemaksiatan, orang yang mengantongi hidayah tentu menjauhinya sebisa mungkin. Bahkan jika sanggup, ia berusaha melenyapkan mudharat (keburukan) tersebut.
Untuk itu, orang yang mendapat hidayah al-Qur’an dengan sendirinya tampak berbeda dengan lainnya. Setidaknya hidayah itu tampak dari akhlaknya yang mulia, adabnya yang santun, gagasannya yang jernih, fisiknya yang sehat, serta segala perilakunya yang mencerminkan misi rahmatan lil alamin.
Abu al-Fida ibn Katsir, ahli tafsir lainnya berkata, semua fungsi al-Qur’an tersebut hanya bisa dirasakan oleh yang beriman dengan penuh keyakinan terhadap ajarannya. Ia tidak diberikan kepada yang masih meragukan al-Qur’an apalagi mengabaikan dan mengingkarinya. Hanya bagi golongan Mukminin (kaum beriman), Mushaddiqin (orang-orang jujur), dan Muqinin (golongan yang bertakwa).
Menguatkan penjelasan di atas, Ibnu Katsir menerangkan, sekurangnya indikasi tersebut tampak ketika orang itu menjalankan nasihat dengan meninggalkan segala pelanggaran dan kemaksiatan. Berani mencampakkan bisikan syubhat (kesamaran) dan syukuk (keraguan) yang mengusik pikirannya. Serta tak henti membersihkan jiwanya dari ragam penyakit yang menodainya.
Secara ringkas, al-Maraghi lalu merangkum penjelasan di atas, bahwa al-Qur’an adalah solusi konkrit untuk mewujudkan kembali peradaban manusia yang bermartabat. Sebagaimana capaian puncak itu pernah dilahirkan oleh generasi terbaik manusia. Mereka disanjung terbaik bukan karena capaian materi atau kehebatan teknologi yang dipunyai. Namun semata karena mereka mengamalkan empat pilar fungsi al-Qur’an tersebut.
Pertama; mengamalkan setiap nasihat al-Qur’an. Mauizhah yang dimaksud bukan hanya dengan ketika nasihat itu berupa ucapan dan janji manis (targhib) untuk berlomba dalam kebaikan. Tapi juga meliputi ancaman dan peringatan keras (tarhib) yang mampu meluluhkan hati dan mendorong untuk menghindari keburukan sejauh-jauhnya.
Kedua; menyembuhkan penyakit. Penyakit terparah menurut al-Maraghi adalah kesyirikan yang bercokol dalam hati manusia. Selama ia belum mengimani Allah dan Hari Akhir atau belum berislam dengan benar, berarti hati orang itu masih sakit. Seluruh penyakit hati itu hanya bisa disembuhkan dengan cahaya al-Qur’an.
Terapi mudahnya, perbanyak interaksi dengan al-Qur’an. Mulai dari membaca al-Qur’an dengan bacaan yang benar, mempelajari al-Qur’an dengan membaca terjemah atau tafsirnya, menghafalkannya, hingga mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain.
Ketiga; dua tingkatan sebelumnya jika dikerjakan niscaya mengantar kepada diraihnya hidayah, sebagai nikmat terbesar dalam hidup manusia. Dengan hidayah, orang itu akan merasakan nikmatnya hidup dibimbing langsung oleh Allah. Ia cinta kepada keimanan dan ketaatan, sebaliknya ia benci kepada kekufuran, kefasikan, dan kzhaliman. Hari-harinya hanya disibukkan dengan urusan ketaatan kepada Allah. Semakin ia cinta kepada Allah maka kian dirinya dicintai pula oleh Allah.
Keempat; nikmat apa lagi yang dikejar oleh manusia setelah hidayah dari Allah? Sebab jaminan hidayah al-Qur’an menjadikan kehidupan manusia diruahi dengan rahmat dan berkah dari Allah. Hal itu tampak dari tegaknya keadilan dan tersiarnya dakwah amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat. Dengan hidayah al-Qur’an pula, pintu-pintu berkah itu terbuka lebar dari arah langit dan seluruh penjuru bumi.
Khatimah
Ramadhan syahrul Qur’an. Ramadhan ialah bulan Qur’an. Ungkapan itu sudah populer di tengah kaum Muslimin. Setiap Muslim juga memahami turunnya al-Qur’an pertama kali terjadi di tengah bulan Ramadhan. Pun Ramadhan telah berulang kali mendatangi kita semua, termasuk di tahun ini.
Namun, mari satu jenak untuk merenungi diri. Sebentang itu hamparan harapan yang ditawarkan oleh Allah kepada kaum Muslimin. Namun adakah di antara mereka yang tersadar dengan janji yang berlipat-lipat tersebut? Untuk selanjutnya, menenggelamkan waktu dan dirinya dalam lautan berkah Ramdhan dan rahmat al-Qur’an.*Masykur (Dosen STIS Hidayatullah Balikpapan)