PERNAH suatu ketika Rasulullah bersabda kepada para sahabat tentang akan terpecahnya ummatnya sebagaimana berpecahnya ummat-ummat sebelumnya.
Dari perpecahan tersebut hanya satu golongan yang masuk surga. Ini dijelaskan dalam hadits shahih riwayat Abu Hurairah yang berbunyi, “Yahudi telah berpecah belah ke dalam 71 atau 72 golongan. Nasrani pun telah berpecah belah ke dalam 71 atau 72 golongan dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan.” (HR Abu Dawud di dalam Sunannya, bab As-Sunnah, Bab Syarhussunnah).
Ada juga hadits lain dari Auf bin Malik, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Yahudi telah berpecah menjadi 71 golongan, satu golongan di surga dan 70 golongan di neraka. Dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72 golongan, 71 golongan di neraka dan satu di surga. Dan demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam tangan-Nya, ummatku ini pasti akan berpecah belah menjadi 73 golongan, satu golongan di surga dan 72 golongan di neraka.” Lalu beliau ditanya: “Wahai Rasulullah siapakah mereka ?” Beliau menjawab: “Al Jamaah.” (Sunan Ibnu Majah).
Defenisi sederhana arti ‘Al Jamaah’ adalah jalan hidup yang telah dilalui oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan para sahabatnya dalam hal aqidah dan amal. Ini artinya, golongan yang selamat adalah mereka yang secara aqidah dan amalan mengikuti Rasulullah SAW dan para sahabat. Sedang golongan yang masuk neraka adalah yang menyimpang dari jalan tersebut.
Dalam perjalanan peradaban Islam telah muncul bebagai macam aliran dan golongan dalam Islam. Di antara golongan yang menisbatkan dirinya kepada Islam ada yang sesat di dalam bab tauhidullah dan asma serta sifat-Nya. Mereka meyakini bahwa sesungguhnya semua yang ada adalah Allah atau bahwa Allah menyatu dalam diri makhluk.
Pendapat seperti ini banyak diikuti oleh kaum sufi. Dalam tingkatan tertentu mereka mengaku dirinya menyatu dengan Allah sebagaimana pengakuan Mansur al Hallaj dan Syeikh Siti Jenar. Al-Halaj menggemparkan Baghdad dengan dengan ucapan esoteriknya: “Ana al-Haqq” (Akulah kebenaran). Sementara Syeikh Siti Jenar menggemparkan Pulau Jawa dengan paham `Manunggaling kawula gusti’. Karena paham tersebut, keduanya dihukum mati oleh para ulama di jamannya. Alasannya, keduanya telah menganut paham hulul, yaitu kepercayaan Persia Kuno yang meyakini bahwa Tuhan dapat menjelma dalam tubuh manusia. Paham ini dikenal pula dengan teologi phantaisme. Ini sama dengan ajaran Paulus yang merusak ajaran tauhid Nabi Isa dengan ajaran Trinitas-nya. Dalam ajaran Trinitas disebutkan bahwa Tuhan telah menjelma dalam diri Yesus.
Paham seperti ini jelas ditolak oleh Islam karena tidak sesuai dengan ajaran para Nabi. Rasulullah sendiri yang lebih “sufi” tidak pernah mengucapkan kata seperti itu. Bahkan dengan tegas mengatakan bahwa beliau adalah manusia seperti kita, namun mendapat wahyu. “Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kamu yang diberi wahyu.” (Al Kahfi 110).
Jadi ajaran Al-Halaj dan Syeikh Siti Jenar menyalahi tuntunan aqidah Rasulullah. Ajaran Rasulullah yaitu bahwa Allah berada di atas langit, tegak (istawa) di atas Arsy-Nya dan terpisah dari makhluk-Nya. Karena itu kita hendaknya hati-hati dengan ajaran-ajaran sufi yang tidak berlandas pada Al Qur’an dan hadits. Imam Syafi’i berkata: “Orang yang paginya belajar sufi, maka sore harinya menjadi dungu.”
Kemudian di antara golongan itu ada pula yang sesat dalam bab iman. Mereka mengeluarkan amal dari iman dan mengatakan bahwa iman tidak bertambah ataupun berkurang sebagaimana pendapat Khawarij dan Mu’tazilah. Padahal yang benar adalah iman itu ucapan dan amalan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman yang artinya: “Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya”. (Al-Mudatstsir: 31).
Kemudian dalam ayat lain disebutkan: “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka diantara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata : ‘Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini ?’ Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (At-Taubah : 124-125).
Rasulullah bersabda sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, yang berbunyi: “Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan “la ilaha illallahu” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedang rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim, 1/63)
Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah pernah ditanya tentang keimanan apakah bisa bertambah dan berkurang, beliau menjawab: “Iman bertambah sampai puncak langit yang tujuh dan berkurang sampai kerak bumi yang tujuh.” Beliau juga berkata: “Iman itu ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang. Apabila engkau mengamalkan kebajikan maka ia bertambah dan apabila engkau menyia-nyiakannya maka ia pun akan berkurang.”
Ada pula golongan yang sesat dengan mengeluarkan orang yang melakukan dosa besar dari Islam (dianggap kafir-pent.) dan memvonisnya sebagai orang yang kekal di dalam neraka. Paham seperti ini diyakini oleh golongan Khawariz. Padahal yang benar, pelaku dosa besar -selain syirik dan kufur besar- tidak mengeluarkan mereka dari Islam.
Orang Islam yang berbuat dosa besar dan maksiat dikatakan tidak sempurna imannya. Ia disebut fasiq akibat dosa besar yang ia lakukan, namun ia tidak keluar dari keimanan. Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika ada 2 golongan dari orang- orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Sesungguhnya orang -orang mukmin bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.” (QS Al Hujurat : 10) Allah SWT menyebut dua kelompok yang saling berperang sebagai saudara meskipun kedua kelompok tersebut melakukan dosa besar dan juga kepada kelompok yang ketiga yaitu kelompok yang mengishlah keduanya.
Di antara mereka ada pula yang sesat dalam hal qadha’ dan qadar. Mereka mengatakan bahwa manusia dipaksa terhadap amal-amalnya. Padahal yang benar adalah bahwa manusia itu mempunyai kehendak dan keinginan, oleh karena itu dia akan dihisab dan akan memikul akibat dari perbuatannya.
Di antara golongan itu ada yang sesat dalam bab al-Quran. Mereka mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk. Paham ini diyakini oleh kaum Mu’tajzila. Padahal yang benar Al-Quran itu Kalam Allah yang diturunkan dan bukan makhluk.
Di antara mereka ada pula yang sesat dalam bab sahabat. Mereka mengkafirkan para sahabat dan mencelanya. Sikap seperti ini dilakukan oleh kaum Syi’ah. Padahal para sahabat adalah orang-orang mulia yang disayangi Rasulullah. Mereka hidup ketika wahyu diturunkan. Merekalah orang yang paling berilmu dan paling taat beribadah di kalangan ummat ini. Mereka berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad dan Allah menolong dien ini dengan mereka dan Allah telah ridha kepada mereka.
Itulah ciri-ciri golongan yang menyimpang dari Islam dan mengada-adakan kebid’ahan dalam dienullah dengan rasa bangga. Mereka telah menelusuri jalan syetan yang menyimpang dari firman Allah: “Dan sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah jalan ini dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain lalu kalian akan berpisah dari jalan-nya. Yang demikian itu Allah telah mewasiatkan kepadamu agar kalian bertaqwa.” (QS: Al An’am 153).
Mudah-mudahan kita termasuk golongan yang selamat!*/aql