DALAM berinteraksi dengan sesama, bukan tidak mungkin atau mungkin sering terjadi yang namanya salah paham, sehingga terjadi prasangka buruk, penilaian negatif, bahkan mungkin sampai terlontar ucapan yang tidak seharusnya.
Dalam kehidupan sosial, suasana atau peristiwa seperti itu sudah pasti pernah dialami oleh siapapun. Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap Muslim untuk memahami bagaimana cara terbaik menghadapi situasi semacam itu. Apalagi, tatkala kesalahan tidak kita lakukan, tapi anggapan buruk atau mungkin hujatan menimpa diri dan keluarga kita.
Rasional manusia tentu akan mendorong untuk melakukan pembelaan atau bahkan mungkin perlawanan. Bagaimana tidak, sedangkan dirinya berada pada posisi yang benar, tetapi kemudian ada pihak yang memfitnah atau mungkin menyalahkan dan mencacinya.
Apabila hal itu terjadi, maka percekcokan, pertengkaran, bahkan mungkin pemusuhan dan perkelahian tak bisa terhindarkan.
Oleh karena itu, sebagai utusan Allah, manusia paripurna Rasulullah telah memberikan panduang praktis dan efektif untuk mengatasi problem perpecahan seperti itu, yakni dengan gemar memberikan maaf kepada siapapun yang telah merugikan atau bahkan sangat membencinya.
Kedholiman yang diterima Nabi
Alkisah, tidak lama setelah kerasulannya, Nabi Muhammad mengajak kaum Quraisy untuk memeluk agama tauhid (Islam). Anehnya, bukan disambut, beliau justru mendapat perlakuan buruk. Ada yang menuduhnya gila, tukang sihir, dan pemecah belah keluarga.
Karena begitu bencinya kepada Nabi, ada seorang kafir Quraisy yang setiap hari kerjanya hanya menanti Nabi di pinggir jalan. Ketika sosok manusia mulia itu lewat dihadapannya, seketika kafir Quraisy itu meludahi Nabi yang sangat dimuliakan Allah itu. Kejadian seperti itu bukan sekali dua kali, tetapi hampir setiap hari.
Tetapi, apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Beliau tidak bergeming dan tidak terjebak emosinya. Beliau tetap tenang dan tidak menyisakan secuil kebencian apalagi dendam di dalam hatinya.
Waktu pun bergulir, pada suatu waktu sang peludah tidak meludahi beliau. Setelah mendengar kabar bahwa tukang ludah itu sakit, seketika Nabi Muhammad menemui orang kafir itu. Sang peludah pun terkejut dengan kedatangan Nabi.
“Duhai betapa luhur budi manusia ini. Kendati tiap hari aku ludahi, justru dialah orang pertama yang menjenguk kemari.” Dengan menitikan air mata haru bahagia, tukang ludah itu bertanya, “Wahai Muhammad, kenapa engkau menjengukku, padahal tiap hari aku meludahimu?”
Nabi menjawab, “Aku yakin, engkau meludahiku karena engkau belum tahu tentang kebenaranku. Jika engkau mengetahuinya, aku yakin engkau tak akan lagi melakukannya”.
Mendengar ucapan bijak dari beliau, tukang ludah itu pun menangis dalam hati. Dadanya sesak, tenggorokannya serasa tersekat. Kemudian berujar, “Wahai Muhammad mulai saat ini aku bersaksi untuk mengikuti agamamu”. Tukang ludah itu pun mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Kemuliaan Memaafkan
Begitulah sosok Nabi Muhammad. Kedhaliman yang ditimpakan orang kepadanya, tak membuatnya gelap mata untuk membalas apalagi menyerang dengan kekuatan yang lebih besar. Beliau justru tenang dan tak sedikit pun enggan, apalagi keberatan untuk memberikan maaf.
Dan, seperti kita ketahui bersama, betapa sifat memaafkan itu sangat mulia dan efektif untuk mengajak orang lain merasakan keindahan ajaran Islam. bukti telah dicontohkan oleh Rasulullah.
Lantas, adakah pilihan terbaik selain meneladani kebijaksanaan Rasulullah dengan mudah memaafkan? Sedangkan pada sikap gemar memaafkan Allah tidak beri balasan melainkan kemuliaan di sisi-Nya.
إِن تُبْدُواْ خَيْراً أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُواْ عَن سُوَءٍ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ عَفُوّاً قَدِيراً
“Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Kuasa.” (QS: an Nisa’ [4]: 149).
Terkait dengan ayat tersebut, Ibn Katsir dalam tafsirnya mengutip sebuah hadits. “Tidak berkurang harta disebabkan bershodaqoh dan tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba dengan pemaafannya kecuali kemuliaan. Dan barang siapa merendahkan diri kepada Allah, niscaya Allah mengangkatnya”.
Anjuran Untuk Memaafkan
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang didatangi saudaranya yang hendak meminta maaf, hendaklah memaafkannya, apakah ia berada dipihak yang benar ataukah yang salah, apabila tidak melakukan hal tersebut (memaafkan), niscaya tidak akan mendatangi telagaku (di akhirat).” (HR Al-Hakim).
“Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan.” (HR Ath-Thabrani).
“Barangsiapa senang melihat bangunannya dimuliakan, derjatnya ditingkatkan, maka hendaklah dia mengampuni orang yang bersalah kepadanya, dan menyambung (menghubungi) orang yang pernah memutuskan hubungannya dengan dia.“ (HR: Al-Hakim).
“Jika hari kiamat tiba, terdengarlah suara panggilan, “Manakah orang-orang yang suka mengampuni dosa sesama manusianya?” Datanglah kamu kepada Tuhan-mu dan terimalah pahala-pahalamu .Dan menjadi hak setiap muslim jika ia memaafkan kesalahan orang lain untuk masuk surga.” (HR: Adh-Dhahak dari ibnu Abbas Ra)
Jadi, tidak ada pilihan mulia bagi setiap Muslim selain mau meminta atau memberi maaf. Sebab, sikap sombong dengan mengedepankan egoisme, tidak akan memberi dampak, melainkan kehinaan.
Padahal, Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Lantas, bagaimana kita mendambakan ampunan dan maaf dari-Nya, sementara kita sendiri enggan untuk mengamalkan perintah dan anjurannya.
وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nuur [24]: 22).
Pemaaf, Paling dicintai Allah
Memaafkan benar-benar mendatangkan kemuliaan tinggi di sisi Allah. Dalam sebuah hadits yang bersumber dari Ibn Umar, diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat di antara mereka.
Amalan yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan ke (dalam hati ) orang Muslim atau kamu menghilangkan satu kesedihan darinya atau engkau melunasi hutangnya atau megnhilangkan rasa lapar darinya.
Sejatinya aku berjalan bersama saudara sesama Muslim adalm satu kepentingan lebih kusukai daripada aku beri’tikaf sebulan di dalam masjid.
“Barangsiapa menahan amarahnya, niscaya Allah akan menutupi auratnya. Barangsiapa menahan emosinya, yang andaikata ia mau, ia bisa melampiaskannya, niscaya Allah memenuhi hatinya dengan ridha-Nya pada hari kiamat.
Dan siapa saja yang berjalan bersama saudaranya sesama Muslim dalam satu kepentingannya hingga Dia menetapkannya untuknya, niscaya Allah akan mengokohkan langkah kakinya pada hari turunnya segenap kaki, dan sejatinya perangai buruk benar-benar akan merusak amal sholeh bagaikan cuka merusak madu.” (HR. Tabhrani).
Jadi, tunggu apalagi, mari kita budayakan berani minta maaf dan ikhlas memberi maaf terhadap sesama, terhadap keluarga, istri, orang tua, anak, saudara, bahkan terhadap mereka yang sangat membenci kita sekalipun. Sebab tidak ada balasan dari sifat memaafkan selain kemuliaan di sisi Allah. Tidak kah kita hidup di dunia ini hanya untuk mendapat keridhoan-Nya?*/Imam Nawawi