Sesungguhnya hakekat menjaga lisan itu adalah membawa keselamatan insan
Hdayatullah.com | IMAM HASAN AL-Bashri mengatakan, “Siapa yang tidak bisa mengendalikan lidahnya, berarti tidak bisa memahami agamanya.” Demikian anjuran menjaga lisan.
Setiap Insan selalu mendambakan keselamatan, disempurnakannya ad-diin juga disematkan nama Islam yang mempunyai ashlu al-maddah sin-lam-mim; silm dan mempunyai beberapa derivasi menjadi kata “as-salam”, ”islam” yang berarti keselamatan dan menyelamatkan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwasannya Rasul ﷺ bersabda :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam” (HR Bukhari).
Untuk mendatangkan keselamatan dunia akhirat mempunyai banyak cara.Salah satunya dengan menjaga lisan. Al-Qur’an sebagai pentunjuk, telah menunjukkan lafadz lisan disebut kurang lebih sebanyak 25 kali dengan beragam bentuk jama’ ataupun mufradnya.
Adapun berbagai makna sesuai dengan konteksnya. Dalam Qu’ran Dictionary definisi dari lisan menunjukkan beragam definisi namun masih dalam satu makna. Seperti arti lisan yang berarti lidah, bahasa, perkataan, dan kemampuan berbicara.
Dari sini, menunjukkan satu makna merujuk kepada “perkataan” serta segala hal yang berkaitan dengannya.
Dalam tatanan din al-islam, lisan mempunyai peran penting dan sakral. Kenapa demikian?, karena Islam terkandung di dalamnya konsep Iman, sedangkan mekanisme dalam makna Iman adalah tashdiq al-qalb, iqrar bil lisan, wa ‘amal bil arkan, kurang lebih terjemahannya seperti ini “percaya dengan jujur di dalam hati, mengucapkan (penegasan) dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan”.
Jadi, lisan mempunyai peran penting dalam kehidupan seorang muslim, lisan menjadi salah satu alat untuk pembuktian keimanan seorang dengan taqrir “amantu bil Allah” yang berarti “saya beriman kepada Allah”.
Menilik ke dalam ranah hablum minallah, lisan mempunyai andil penentuan dirinya berislam atau tidak. Seorang non-muslim masuk Islam bersyahadat menggunakan lisan-nya dengan mengatakan “Asyhadu An Laa Ilaha Illa Allah Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”, sebaliknya orang yang murtad pun mendeklarasikan kekafirannya dengan lisan juga.
Singkatnya lisan dapat menentukan status “muslim” atau “kafir” dan penentuan dirinya tertaut dengan Allah atau terputus.
Menguatkan penjelasan di atas, Rasulullah ﷺ memberikan peringatan (nadzr) kepada umatnya mengenai kesakralan lisan, dari Abu Hurairah ra, Rasulullah ﷺ bersabda
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam.”(HR: Bukhari & Muslim).
Menginsyafi hadits ini, tersirat makna bahwa menjaga lisan adalah bukti keimanan terhadap Allah dan hari akhir dan sekaligus mencerminkan identitas (mukmin). Kalaupun belum mampu untuk menjaga lisan, maka solusi dari Rasulullah adalah diam.
Dalam konteks hablu minannas, lisan dapat mencerminkan kedurhakaan dan kemuliaan. Allah berfirman dalam surat al-Isra ayat 23-24:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS: Al-Isra ayat 23-24).
Mensitir kalimat “janganlah kamu mengatakan kepada keduanya “ah” (uff), dan janganlah membentak mereka ucapkanlah perkataan yang baik”. Ini adalah penegasan kembali betapa sakralnya menjaga lisan.
Dengan menjaga lisan kepada orang tua kita bisa mulia dan jika tidak bisa menjaga lisan kita bisa durhaka. Lisan pun bisa membuat sakit hati meskipun ia berada di luar organ dalam tubuh, namun kenyataannya lisan bisa menembus hati organ yang sangat dalam.
Lebih dalam lagi, lisan ibarat “corong teko”, jika teko diisi air susu maka ketika dituang akan keluar air susu, dan jika teko diisi air keruh maka keluarnya pun air keruh.
‘Lisan Politik’
Merefleksikan urgensi menjaga lisan dalam konteks kekinian, mari bersama merenung janji-janji politisi, penarikan sumpah para elit pejabat diangkat. Dengan diawali bersumpah atas nama Allah serta ucapan “akan memenuhi amanat yang diberikan rakyat” atau , maka sebagai bentuk menjaga lisan harus diwujudkan dengan pertanggung jawaban. Sekali lagi, menjaga lisan itu berat!
Dalam ranah epistemologis, lisan bersumber bagaimana hati dan pikirannya atau lisan adalah gambaran isi akal, pola pikir, cara pandang serta basic life-nya. Apabila hati dan pikirannya diisi dengan kebaikan, maka out-putnya pun akan cenderung baik.
Namun lisan juga harus dibarengi dengan kejujuran dan keikhlasan hati serta dibuktikan dengan perbuatan. Jangan sampai lain kata lain hati serta lain perbuatan.
Maka mari menjaga lisan, karena ia bukti keimanan, cermin dari cara pandang yang bersumber pada hati dan pikiran, ia dapat menempatkan dalam kemuliaan atau kedurhakaan. Pesan terakhir, hakekat menjaga lisan karena adalah membawa keselamatan insan. Wallahu ‘alam bi sawab.*/ Alvin Qodri Lazuardy