Cara berekonomi, berpolitik, dan ber-apa saja adalah implementasi dari ibadah seseorang
Hidayatullah.com–Kebanyakan dari kaum muslimin memisahkan kegiatan ibadah dari kegiatan lainnya. Ibadah dengan politik, misalnya dianggap tidak ada hubungan apa-apa. lbadah ya ibadah, politik ya politik, dagang ya dagang, shalat ya shalat.
Memang tidak boleh menjadikan ibadah sebagai alat politik. Misalnya, untuk menarik simpati dan dukungan golongan Islam, seorang politisi melakukan kunjungan ke pesantren-pesantren, diekspos besar-besaran ketika menjalankan ibadah, berdoa dengan tendensi politik tertentu. Praktek-praktek seperti ini memang dilarang, sebab sama saja dengan menunggangi ibadah untuk kepentingan yang lain. Niatnya sudah melenceng dari tujuan ibadah yang ditetapkan. Tetapi tetap ada hubungan yang erat antara praktek ibadah seseorang dengan sepak terjangnya dalam kehidupan keseharian.
Kita harus mewaspadai orang-orang yang menjadikan agama hanya sebagai alat tunggangan. Begitu sampai di tujuan, tercapai yang diharapkan, tunggangan yang berupa agama itu dicampakkan. Praktek seperti ini tidak hanya terjadi sekarang, bahkan sejak zaman Nabi.
Sekarang banyak orang menunaikan ibadah haji bukan karena ingin menjalankan syariat agama. Mereka menunaikan ibadah ini semata-mata karena promosi jabatan atau demi karier politik. Praktek ibadah seperti ini tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali apa yang mereka niatkan tadi. Jika niatnya promosi jabatan, maka itulah yang akan didapat. Jika karier politik yang dituju, itulah yang diperolehnya.
Bagi seorang Muslim, kegiatan politik itu merupakan rangkaian ibadah. Bukan sebaliknya, ibadah merupakan rangkaian politik. Bagi orang beriman, politik itu bukan tujuan. Karier itu bukan tujuan. Demikian juga harta kekayaan, jabatan, dan kekuasaan.
Bagi orang beriman, justru harta kekayaan, jabatan, dan kekuasaan merupakan alat untuk beribadah kepada Allah. Bila menjabat, jabatan itu akan dimanfaatkan untuk pengabdian kepada Allah. Jika ada seorang Muslim menjalankan ibadah, shalat misalnya, tapi jabatannya tidak dimanfaatkan untuk mengabdi kepada Allah, berarti antara shalat dan jabatannya tidak ada kaitan, ini konyol.
Antara shalat, ibadah, hidup dan mati itu berkaitan sangat erat. Semuanya harus dipersembahkan kepada Allah. Mati karena Allah, hidup juga karena Allah. Berekonomi karena Allah, berpolitik karena Allah. Berbudaya karena Allah, ber-apa saja karena Allah, sebagaimana janji setiap muslim yang diucapkannya setiap kali shalat: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku untuk Allah, Tuhan sekalian alam.”
Cuma setan tidak pernah berhenti menggoda dan mempengaruhi. Bila iman tidak seberapa, kualitas ibadah tidak mencukupi, maka seringkali orang akan terjerumus dalam pelukan setan.
Cara-cara kotor, baik dalam berpolitik, berekonomi, maupun dalam mengembangkan budaya, menjadi bagian hidupnya. Hati nurani yang seharusnya menjadi cermin tidak lagi bisa berfungsi, digantikan oleh setan. Setan yang menjadi penuntun dan penunjuk jalan baginya.
Di sinilah fungsi ibadah itu sebenarnya. Jauh sebelum orang terjerumus ke dalam pelukan setan, ibadah seharusnya telah mampu mengendalikannya. Ibadah yang baik akan berfungsi secara otomatis sebagai pengerem seseorang dari perbuatan fakhsya’ dan munkar. Karenanya orang yang ahli ibadah seharusnya senantiasa terpelihara segala aktivitasnya di dunia.
Lebih jauh dari itu, ibadah dapat pula menjadi pendorong dan penggerak kehidupan. Energi yang ditimbulkan ibadah cukup memberi dorongan kepada seseorang untuk bisa hidup dengan penuh optimisme. Ada semangat, ada greget, dan ada keyakinan. Seseorang akan mantap dalam menapaki segala liku-liku kehidupan. Tidak loyo, tidak kurang bersemangat, apalagi sampai mati sebelum waktunya.
Jadi, ibadah ibaratnya vitamin yag dapat menambah vitalitas hidup. Seorang yang banyak berhubungan dengan yang Maha Kuasa tidak akan pernah kecut menghadapi situasi apapun. Tidak cemas, khawatir, atau takut menghadapi gelombang kehidupan. Semua bisa dihadapi dengan penuh keyakinan bahwa Allah selalu bersamanya. Akan menolong hamba-Nya.
Bila orang yang ahli ibadah ini terjun ke gelanggang politik, mereka bisa berperan secara optimal. Mereka tak takut kepada lawan politiknya, sebab yang ditakuti hanya Allah saja. Jika kebenaran yang diperjuangkan, ia tak pernah gentar walaupun kekuatan lawan jauh tidak seimbang.
Berbeda dengan mereka yang masih takut dengan manusia, takut mati, takut kelaparan, dan takut pada hal-hal lain yang kadang hanya berupa ilusi saja. Mereka akan selalu mbebek, menjadi pak turut, melempem, bahkan cenderung nifaq. Siapa yang berkuasa itulah yang diikutinya. Bagi orang seperti ini bukan lagi kebenaran yang diperjuangkan, tapi keamanan diri. Bukan Islam, tapi kenikmatan pribadi yang diupayakannya.
Memang, tidak semua orang yang ahli ibadah secara otomatis punya ghirah semacam ini. Hanya mereka yang tahu hakikat ibadah dan mampu memfungsikan sebagaimana mestinya saja yang punya semangat dan ghirah semacam ini.
Dalam kenyataan, banyak sekali orang yang sepertinya ahli ibadah, tapi jiwa pengecutnya besar sekali. Mereka tidak hanya mengekor, tapi malah tega menjual umatnya untuk ditukar dengan keamanan dan kenikmatan pribadi.
“Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepadamu dan yang diturunkan kepada mereka, sedang mereka khusyu’ kepada Allah dan mereka tidak menukar ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan¬Nya.” ( Ali Imraan: 199)
Dari ayat ini jelas, mereka yang khusyu’ dalam beribadah, tak akan mungkin menjual agamanya dengan harga sedikit. Menukar dengan kepentingan politik tertentu, dengan keuntungan sesaat, dengan -istilah mereka- surga dunia. Itu semua tak mungkin dilakukan seseorang yang kualitas ibadahnya sudah baik. Bila masih terjadi, dapat dipastikan telah terjadi penyimpangan dalam praktek ibadah maupun dalam pemahaman terhadap praktek itu sendiri.
Tidak hanya dalam berpolitik, tapi hal ini berlaku dalam dunia bisnis. Ahli ibadah bukanlah mereka yang hanya duduk-duduk di beranda masjid. Mereka yang shalatnya benar, yang kualitasnya telah mencapai khusyu’ akan memikul tanggung jawab sosial yang besar. Begitu selesai menjalankan shalat kepada Tuhannya, mereka segera bangkit untuk mengangkat proyek keduniaan.
“Dan apabila kamu telah selesaikan shalat, maka menye¬barlah di muka bumi, dan carilah rezeki dari Allah.” (Al Jumu’ah: 10)
Jadi orang yang disebut ahli ibadah bukanlah mereka yang hanya tinggal diam di masjid. Justru mereka akan tandang dengan penuh tanggung jawab di berbagai fron karena telah beroleh energi dan kekuatan dari Allah melalui ibadahnya. Energi itu yang kemudian dipergunakannya untuk menghadapi pergulatan hidup guna menegakkan kalimah Allah di muka bumi. Cara seseorang bergelut dengan urusan keduniaan merupakan implementasi langsung dari kekuatan yang diperoleh dari ibadahnya kepada Allah.
Karenanya antara aktivitas shalat dan kegiatan keumatan tidaklah bisa dipisahkan. Semakin besar tanggung jawab sosial yang diemban akan semakin banyak problem dan persoalan dihadirkan. Dan karena itu pula maka akan semakin meningkat pula kualitas shalatnya lantaran semakin banyak yang mesti didialogkan dengan Allah. Materi dialog yang banyak itu akan menjadikan kian khusyu’-nya shalat, yang otomatis akan melipatgandakan kekuatan yang diperoleh dari rangkaian ibadah itu. Kekuatan yang semakin besar akan menyelesaikan persoalan lebih besar lagi. Lingkaran ini akan membentuk kekuatan yang sangat besar pada saatnya.
Itulah sebabnya tepat sekali panggilan adzan yang dikumandangkan 5 kali sehari menyusuli hayya’alash-shalaah dengan hayya ‘alal-falaah. Karena setelah diserukan ‘mari ber-shalat’ umat Islam langsung diberi janji ‘mari menuju kemenangan.’