MASIH TEREKAM dibenak saya ketika ia mengirimkan kabar bahagia bahwa ada seorang ikhwan yang akan datang melamar. Kebahagiaan itu terus berlanjut hingga ia mengandung anak pertama beberapa bulan kemudian. Cerita-ceritanya mengalir sarat berisi keindahan berumahtangga. Hingga ia melahirkan, ceritanya mulai surut mengalir. Keceriaan celotehnya pun semakin jarang terdengar.
Waktu berjalan dengan cepatnya. Seiring dengan jumlah putra-putrinya yang kian bertambah. Celoteh bahagianya semakin senyap, berganti dengan air matanya yang lebih sering mengambang dipelupuk mata. Hingga, kalimat yang mengagetkan itu meluncur dari lisannya, “Sudah bukan lagi waktunya untuk mengucapkan cinta. Sekarang yang ada adalah realita bahwa kebersamaan semata karena kebutuhan untuk melanjutkan hidup.”
Ohh…demikian pudarnyakah warna cinta seiring dengan berjalannya waktu? Tentu kita sepakat bahwa cinta tak hanya milik sepasang suami-istri yang sedang berbulan madu. Hadirnya cinta yang semakin kuat seiring perjalanan waktu bersama tentu akan membuat suami dan istri menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Semakin bahagia dan tentu saja, meningkatkan kualitas ibadah kita.
Lalu bagaimanakah agar cinta itu semakin kuat terjalin diantara suami dan istri seiring berjalan dengan waktu?
Yang pertama, ingatlah selalu untuk apa kita menikah dan menjalani usia bersamanya. Jawabannya tentu untuk beribadah. Untuk saling mengingatkan dan untuk saling menguatkan. Mengingatkan dan menguatkan ini tak boleh dipisahkan. Mengingatkan saja bisa berubah menjadi tekanan dan menguatkan tentu tak akan mungkin indah dilakukan tanpa mengingat apa yang menjadi landasan.
Misalkan dalam masalah shalat diawal waktu. Mengingatkan seorang ibu untuk shalat awal waktu yang tengah menyusui anaknya ditiga bulan pertama usia bayi, tanpa membantunya untuk bisa punya waktu bersih-bersih dari pipis bayi dan menjaga bayi ketika sang ibu shalat, adalah bentuk tekanan dan ketidakpedulian.
Akan tetapi, membantu istri untuk bersih-bersih dan menimang buah hati saat istri shalat sebagai bentuk penguatan, akan terasa indah manakala kita tahu bahwa RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Sebaik-baik orang diantara kamu adalah yang berbuat kepada keluarganya, dan aku adalah yang terbaik dikalangan kamu terhadap keluargaku.” (Riwayat Tirmidzi)
Yang kedua, hadiahilah pasangan kita dengan doa dan rasa bersyukur akan hadirnya dia disisi. Tidak ada yang menyangkal bahwa doa adalah senjata utama bagi setiap Muslim. Dalam konteks berumah tangga, yakinilah bahwa doa adalah senjata yang ampuh untuk menepis perasangka buruk. Doakanlah yang terbaik untuk pasangan kita karena RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallammemerintahkan , “…, dan tidak mendoakan keburukan baginya.” (Riwayat Abu Dawud)
Bersyukurlah dengan kehadirannya karena pasti tak mudah baginya untuk menerima kita apa adanya. Apalagi kemudian mengubah penerimaan menjadi tanggung-jawab dan berangkai kewajiban yang harus dipikul hingga maut menjemput.
Berikanlah hadiah itu, karena keduanya akan melegakan hati dan membuat kita semakin bahagia dengan karunia AllahSubhanahu wa Ta’ala berupa kehadirannya.*/Kartika Ummu Arina, penulis buku ‘Jadilah Suami Istri Bijak’