Oleh: Henny (Ummu Ghiyas Faris)
BELUM lama ini munculnya sebuah iklan penjualan bayi di situs tokobagus.com yang menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan. Dalam iklan bayi berusia 18 bulan yang tertera dalam iklan tersebut seharga Rp.10 juta. Pemasang iklan juga melengkapi dengan foto bayi yang sedang dipasarkan.Aparat kepolisian pun menilai bahwa situs tersebut telah lalai.
Bukan hanya kasus penjualan bayi, akan tetapi kasus-kasus seperti ibu kandung yang tega membunuh, membuang, menganiaya. Kasus-kasus seperti ini sering kita lihat di media cetak dan media elektronik.
Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Arist Merdeka Sirait di Jakarta Jumat (21/12/2012) dikutip Jaringnews.com mengatakan, “Pada tahun 2011 kekerasan terhadap anak hanya naik 11 persen dengan jumlah kekerasan sebanyak 1.800 korban, akan tetapi pada 2012 terjadi lonjakan sekitar 38 persen dengan jumlah korban kekerasan sekitar 2.637 orang. KPAI mencatat sepanjang 2012, terjadi sebanyak 162 pembuangan bayi. 87 bayi berjenis kelamin laki-laki, dan 75 orang berjenis kelamin perempuan. Sebanyak 130 kasus pembuangan bayi dilakukan karena persoalan ekonomi, dan 82 kasus bayi itu meninggal dunia.”
Kenapa Bayi Itu Dibuang?
Fakta di atas sangatlah menyedihkan padahal sang bayi itu tidak berdosa, mereka korban dari kesalahan orang tuanya yang membuangnya. Sering kita mendengar berita bayi di kebun yang dibuang oleh orang tuanya. Bukankah bayi itu karunia? Bukankan bayi itu rezeki? Lalu kenapa dibuang?
Biasanya mereka membuangnya karena tidak menghendaki keberadaannya, biasanya yang dibuang adalah barang yang sudah tidak berguna lagi, atau barang yang jika disimpan hanya akan memenuhi ruangan, atau juga mungkin jika disimpan lama ia akan mencemarkan lingkungan seperti sampah. Lalu kenapa ada bayi yang dibuang? Apakah bayi ini tidak ada guna? Apakah bayi ini jika dipelihara berbahaya? Paling tidak dalam pikiran orang yang melahirkannya mungkin demikian, yang jelas orang yang membuangnya tidak menghendaki kelahiran bayi tersebut.
Banyak faktor penyebab mengapa mereka tega membuang anaknya sendiri:
Pertama, masyarakat semakin kering iman, dan jauh dari nilai-nilai spiritual/ketuhanan, tidak takut lagi kepada Sang Pencipta dan semakin mengabaikan nilai-nilai moral kemanusiaan.
Kedua, tidak ada lagi perasaan malu atau takut melanggar norma-norma sosial, termasuk norma agama. Ditambah lagi kondisi masyarakat semakin individualis, cuek dengan lingkungan sekitarnya, sehingga perbuatan maksiat merajalela di mana-mana tanpa ada rem. Tak jarang semua ini terjadi karena orang tua yang frustasi karena belum siap untuk menikah dan mempunyai anak. Anak dari hasil hubungan di luar nikah, pergaulan bebas dari anak-anak, remaja yang belum menghendaki untuk menikah, sehingga dari pada menanggung malu mereka tega membuang bahkan membunuh darah daging sendiri.
Ketiga, faktor kemiskinan, karena ekonomi yang sulit mereka tidak sanggup untuk membiayai anaknya nanti. Namun apapun alasan dan penyebabnya tersebut tidak dapat dibenarkan. Pengawasan dan penyelenggaraan perlindungan terhadap anak khususnya masalah pembuangan bayi semakin harus diperketat, baik oleh negara dalam hal ini Komisi Perlindungan Anak maupun warganegara yakni masyarakat dan keluarga yang terkait.
Keempat, longgarnya sanksi hukum yang diberikan kepada pelaku, sehingga tidak memberikan efek jera pada si pelaku dan mengakibatkan kasus-kasus ini terulang. Hukum sangat lemah mengganjar pelaku sehingga tidak ada efek jera bagi pelaku. Hal ini membuktikan bahwa ide-ide kebebasan yang ditawarkan sekluler-kapitalis tidak membawa kebaikan, kebahagiaan, dan kesejahteraan, tapi justru membawa kerusakan dan kesengsaraan di semua aspek kehidupan.
Kelima, kurangnya pengawasan dari negara sebagai pengontrol, sangat juga diperlukan peran serta aktif lembaga sosial masyarakat, agama dan terlebih keluarga. Keluarga memegang peranan penting dalam upaya meniadakan kasus-kasus bayi yang dibuang. Hubungan keluarga yang harmonis dan akrab serta saling mengasihi, didukung dengan pendidikan moral maupun agama, ketaatan di dalam beribadah kepada Sang Pencipta dapat menjadi fondasi yang kuat untuk membentengi diri dari perilaku-perilaku yang bertentangan dengan nilai tatasusila, moral dan agama, seperti hubungan di luar nikah yang menyebabkan kehamilan yang tidak dikehendaki, dan berujung dengan kasus aborsi dan bayi-bayi yang dibuang.
Penyebab-penyebab di atas adalah hasil dari sistem yang diterapkan yang menjauhkan agama dari kehidupan. Setelah melihat fakta-fakta di atas, ternyata ide-ide kebebasan yang diusung oleh kapitalisme, kedudukannya tidak bertambah mulia tapi justru bertambah rusak moralnya. Sementara sistem yang ada juga gagal memberikan perlindungan atas masyarakat. Lantas, apakah kita masih percaya pada sistem seperti ini?
Anak adalah Anugerah
Dalam al-Qur’an, anak disebutkan sebagai karunia dari Allah Subhanahu Wa Ta’aala. Ia adalah rezeki dan dambaan orang tua, ia adalah tabungan dan investasi orang tua, ia adalah tumpuan masa depan orang tua. Berapa banyak orang yang pontang-panting berobat ke sana sini, baik secara medis untuk mendapat anak, berapa banyak orang yang menghabiskan puluhan juta atau bahkan ratusan juta rupiah demi mendapatkan anak, dan juga tidak sedikit orang yang mengeluarkan ongkos yang tidak sedikit untuk mengadopsi anak.
Anak semestinya dilahirkan demi menjadi penerus generasi orangtuanya, sebagai amanah yang harus dijaga dan dilindungi. Sehingga, anak harus dilahirkan penuh perencanaan/ kesadaran kedua orangtuanya, dengan cara halal yaitu melalui pernikahan, disambut suka cita dan dijamin hak-haknya. Semua itu bisa terwujud jika secara individu, anak dilahirkan dari orangtua yang sadar sepenuhnya akan tanggungjawabnya sebagai orangtua.
Rasulullah saw bersabda:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ibn umar r.a berkata; saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda: Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari- Muslim)
Masyarakat, harus memiliki kepedulian agar tindak maksiat, seperti perzinaan tidak terjadi. Negara, wajib menerapkan sistem yang mencegah lahirnya bayi-bayi tanpa dosa dengan cara yang tidak halal. Artinya wajib memberantas perzinaan dan berbagai sarana yang mengarahkan ke sana, kerena perbuatan zina mengakibatkan lahirnya anak yang tidak jelas nasabnya, perbuatan zina mengakibatkan lahirnya anak yang tidak dikehendaki, yang pada akhirnya para bayi yang tidak berdosa ditelantarkan, dibuang, bahkan tidak sedikit yang dimusnahkan.
Allah berfirman :
وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
”Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu juga. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar. ”(QS: al-Isra` [17]: 31).
Saatnya kita kembali pada Islam, kebenaran nilai-nilai Islam adalah sesuatu yang pasti yang harus ditunaikan oleh seluruh ummat manusia. Sudah saatnya kaum muslim memerangi hal-hal yang tidak beradab yang hanya membawa dampak keburukan pada manusia. Wallahu A’lam Bis-Shawaab!
Penulis seorang ibu rumah tangga, tinggal di Jakarta