KESEMPITAN ekonomi atau kemiskinan, kadang membuat orang mengambil jalan pintas agar kebutuhan ekonomi menjadi tercukupi, bahkan bisa lebih. Kemiskinan terkadang membuat orang lupa dan melalaikan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta norma keagamaan, dari cara sederhana seperti mencuri, mengambil harta orang lain yang tiada hak atasnya, sampai korupsi. Cara ini menjadi bagian dalam kehidupan mereka yang tidak mengimani Allah dan Rasul-Nya secara total.
Ekspresi keagamaan kadang hanya dipahami sebagai melaksanakan perintah lima rukun Islam. Sementara itu, dalam hal kehidupan bersifat duniawi, sering dipisahkan dari pesan keagamaan. Yang terjadi, seseorang yang shalatnya rajin, telah pergi haji dan umrah di tanah suci, dermawan, tetapi pada sisi lain cara mencari rezekinya tidak mengindahkan kaidah halal dan baik. Tentu, ini bukanlah kehidupan beragama yang kaffah (sempurna). Kehidupan beragama mereka masih cacat.
Rukun Islam pada hakikatnya cermin bagi kehidupan keberagamaan yang lain sehingga semuanya serba berimbang, penuh dengan dedikasi dalam jalan Allah dan Rasul-Nya.
Terkait dengan kemiskinan ini, Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam memberi tuntunan bahwa sikap paling baik dan terpuji bagi orang yang berada dalam kesulitan ekonomi adalah dengan bersabar. Sabar dalam hal ini adalah menjauhi semua perbuatan yang tidak terpuji.
Alih-alih mencuri dan korupsi, bahkan yang dimaksud Rasulullah adalah seorang miskin yang menyembunyikan kemiskinannya, yaitu tidak berkeluh kesah kepada makhluk dan menjauhi perilaku meminta-minta (menjadi pengemis).
Rasulullah bersabda, “Orang yang miskin itu bukanlah orang yang berjalan ke sana sini meminta-minta kepada manusia, kemudian diberikan dengan sesuap dua suap makanan dan sebiji dua biji buah kurma.”
Para sahabat bertanya, “Kalau begitu, siapakah orang miskin yang sebenarnya, wahai Rasulullah?”
Rasulullah bersabda, “Orang yang tidak mendapati kesenangan yang mencukupi buatnya, tetapi orang banyak tidak tahu karena kesabaran dia menyembunyikan keadaannya, dan tidak meminta-minta kepada orang lain. Dia seharusnya diberikan sedekah tanpa dia meminta dari orang lain.” (Muttafaq ‘Alaih, dari Abu Hurairah).
Sejalan dengan ajaran Rasulullah tersebut, Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, memberikan tuntunan sebagai berikut:
Orang yang dalam keadaan tidak punya, tetapi selalu bersabar maka kedudukannya di sisi Allah lebih utama dibandingkan dengan orang kaya yang bersyukur. Sedangkan, orang yang fakir, tetapi tetap selalu bersyukur, ia lebih utama dari keduanya (yakni orang fakir yang bersabar dan orang kaya yang bersyukur). Dan, seseorang yang fakir, tetapi ia tetap selalu bersabar dan bersyukur maka di sisi Allah, ia lebih utama dari segalanya (dunia seisinya).*/Muhammad Sholikhin, dari bukunya The Power of Sabar.