Hidayatullah.com | PADA tahun 1967, Natsir diundang untuk datang ke Amman, Ibu Kota Jordania. Undangan ini diinisiasi agar para pemimpin dari berbagai negeri Islam yang diundang mengetahui langsung kondisi di lapangan pasca meletusnya perang enam hari antara Israel dan Mesir pada tahun yang sama (baca: Muhammad Natsir 70 Tahun Kenang-kenangan, 1978: 141).
Dalam momen ini, sebagai wujud konkret kepedulian Natsir terhadap persoalan umat Islam di dunia, beliau tak lupa untuk mangangkat isu Palestina berikut pemecahan solusinya menghadapi penjajah Israel. Pada penutupan acara, dibentuklah satu delegasai yang diwakili empat orang dari Jordania, Tunisia, Pakistan dan Indonesia.
Waktu itu, yang diamanahi menjadi pemimpin adalah M. Natsir. Tugas delegasi ini adalah untuk mengunjungi pemerintah-pemerintah bersangkutan guna mencari solusi masalah Palestinah pasca perang 6 hari antara Mesir dan Israel. Untuk kepentingan ini, Natsir dan kawan-kawan mengunjungi beberapa negara seperti: Sudan, Lebanon, Irak, Kuwait, dan Saudi Arabia.
Hal lain yang tidak kalah penting di balik pendelegasian ini adalah untuk menyampaikan aspirasi umat agar negara-negara terkait bersatupadu dan bersinergi untuk menghadapi Israel. Menariknya, dalam upaya mensukeseskan tujuan itu, Natsir tak lupa mengingatkan bahwa front menghadapi Israel bukan saja terbentang di pegunungan Golan, Sinai, pantai barat sungai Jordan saja, tapi juga perlu menghadapi font lain secara bersama-sama yang efeknya juga sangat signifikan.
Front itu disebut Natsir dengan istilah front mass-media Yahudi pro-Israel di Amerika serta negara-negara Barat umumnya yang mendukung Israel melalui surat kabar, radio dan televisi yang membuat opini publik guna menguntungkan kepentingan Israel dan merugikan front Arab kala itu.
Bayangkan! Pada tahun 1967, Natsir dan kawan-kawan sudah punya kepekaan bahwa untuk menghadapi Israel tak cukup sebatas perlawanan fisik di jantung Palestina dan sekiarnya tapi berbagai anasir pendukungnya seperti media masa harus juga dilawan. Dengan kecanggihan era digital seperti hari ini tentu saja, sangat relevan umat Islam ikut serta meluruskan informasi dan membantu perjuangan rakyat Palestina yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya minimal melalui media online dengan gadget masing-masing.
Pengalaman-pengalaman riil Natsir dalam mengurusi masalah Palestina ini di kemudian hari melahirkan buku “Masalah Palestina” (1971) yang merupakan ceramah beliau dalam masjid Munawwaroh Tanah Abang dan sebagai refleksi atas pertemuan kongres Mu’tamar ‘Alam Islamy di Damaskus sebagaimana sempat disinggung tadi. Tak cukup sampai di situ, beliau juga aktif menyuarakan kepentingan Palestina melalui artikel-artikel di berbagai media masa zamannya.
Apa yang dilakukan oleh Natsir tak semata karena urusan balas budi kepada Palestina yang dulu pernah berjasa besar dalam mengakui kemerdekaan Indonesia, atau juga bukan sekadar urusan kemanusiaan. Natsir dan kawan-kawan sadar betul bahwa ikatan imanlah yang melatari semuanya.
Hubungan iman ini melampau sekat-sekat primordialisme, suku, kelompok, aliran dan berbagai sekte buatan manusia.
Di sana ada Al-Aqsha, di sana ada umat Islam yang dijajah, di sana tempat yang diberkati ternoda, di sana kesucian agama dikoyak.Dalam kondisi demikian, apakah umat Islam tidak mau bersatu untuk melawan kelaliman ini? Pernah suatu ketika, tulis Natsir dalam Capita Selecta Jilid I, Amir Sakib Arsalan dicerca gara-gara meminta bantuan Italia untuk membantunya mempejuangkan hak-hak mukmin yang terjajah. Menariknya adalah jawaban Amir, “Kenapa saja tidak boleh menerima pertolongan Italia dalam urusan ini? Itu baru Italia, akan tetapi ditakdirkan ada satu gerombolan setan, jang mau menolong saja melawan politik jang sematjam itu, tentu saja akan bersatu dengan setan2 itu dalam urusan ini. Disini saja terpaksa memilih jang paling enteng daripada dua bahaja.”
Bahasa kasarannya, kenapa Anda melarang saya minta tolong kepada orang non-muslim untuk membantu saudara-saudara kita yang dijajah, sementara Anda sekalian yang katanya sama-sama mukmin berdiam diri dan tak tergerak untuk membantu teman-teman di Palestina. Dalam kaidah fikih diperbolehkan memilih darurat paling ringan ketika dihadapkan oleh dua darurat.
Semoga momen penistaan umat Islam di Masjid Aqsha baru-baru ini bisa menyadarkan umat Islam akan persatuan dan mengerahkan segenap potensi mereka untuk membantu saudara-saudara yang sedang berjuang di bumi Palestina. Bantuan bisa berupa doa, sedekah, atau minimal menggunakan jari-jemari Anda untuk meluruskan berita miring di media massa melalui gadget yang dipunya.
Bapak bangsa seperti Natsir dan kawan-kawan, meski belum berhasil, telah berupaya untuk memecahkan solusi Palestina. Pertanyaannya, maukah kita melanjutkan estafet cita-cita luhur itu demi terwujudnya kemerdekaan Palestina? Jawaban paling ampuh tak lagi sebatas kata-kata, tapi ketulusan jiwa yang diperkuat dengan tindakan nyata. Tabik!
Sebagai penyemangat, mungkin bait penutup puisi Taufik Ismail berjudul “Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu” bisa direnungi:
Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu
Tanahku jauh, bila diukur kilometer, beribu-ribu
Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu
Serasa terdengar di telingaku..*/MahmudBudi Setiawan