Salah satu faktor pendorong terbentuknya Pelajar Islam Indonesia (PII) adalah dualisme sistem pendidikan di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme Belanda, yakni pondok pesantren dan sekolah umum.
Hidayatullah.com | MEMASUKI usia ke-75, pengurus Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) menyatakan bila lembaganya bukanlah sebuah parpol politik. Dalam arti kata lain sampai hari ini GPII tetap merupakan ormas yang memperjuangkan tujuan nasional dan melakukan dakwah syiar Islam.
“Para kader GPII harus bisa membaca pesan zaman, mengambil peran dalam masyarakat khususnya generasi muda. Ini karena tema awal ketika GPII berdiri adalah untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, dan mensiarkan ajaran Islam, ajaran Quran,” kata M Toha Al Mansyur, salah satu mantan Ketua GPI diskusi untuk menandai acara ulang tahun GPII ke 75, di Jakarta, Jumat (2/10).
“Tentang jalan politik, GPII adalah organisasi politik tapi bukan parpol. Maka menjadi kewajiban bagi GPII untuk memberikan penyadaran politik kepada generasi muda agar mereka bisa melakukan perubahan melalui jalur politik secara benar atau politik adiluhung,” ungkapnya.
Jejak GPII
Pada 2 Oktober 1945 diresmikanlah GPII dengan para pucuk pimpinan terdiri dari Harsono Tjokroaminoto (Ketua), A. Karim Halim (Wakil ketua I), Mufraini Mukmin (Wakil ketua II), Anwar Harjono (Sekretaris umum) dengan tiga pembantu umum diantaranya Acham Buchari, DJanamar Adjam, dan Adnan Sjamni.
Bahwa lahirnya Gerakan Pemuda Islam (GPI) pada awalnya dari sebuah perkumpulan para aktivis mahasiswa dan pergerakan pemuda yang memperjuangkan kemerdekaan di Kampus Sekolah Tinggi Islam (STI) dengan nama Persatuan Pelajar Sekolah Tinggi Islam (PP-STI).
Pada tanggal 19 Agustus 1945 PP-STI sukses melakukan mobilisasi dan pengerahan massa dalam rapat akbar di lapangan IKADA, setelah itu banyak animo para pemuda serta kaum muslimin untuk datang ke Balai Muslimin di jalan Kramat Raya No. 19 dan menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan PP-STI.
Akan tetapi untuk bisa bergabung dan menjadi anggota dalam PP-STI harus terdaftar menjadi siswa. Akhirnya setelah berkonsultasi dengan para tokoh dan senior antara lain Abdul Kahar Muzakir, Mohammad Natsir, Wahid Hasyim, dan Buya Hamka.
Begitu dibentuk, GPII tancap gas membangkitkan semangat rakyat mempertahankan kemerdekaan RI. Mencetak selebaran bertulisan al Qur’an dan hadits dengan menekankan jihad fii sabilillah untuk mengusir penjajah.
Saat diselenggarakan sidang kedua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 15-17 Oktober 1945, wakil ketua II, A Karim Halim mengusulkan kepada Wakil Presiden M. Hatta, untuk mengirim pemuda ke daerah-daerah guna menggerakan revolusi kemerdekaan.
Bung Hatta sangat antusias dengan usul GPII, harapannya agar kemerdekaan ini tersosialisasikan ke segenap rakyat Indonesia. Kata Hatta, nyalakan dan bakar semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan.
Gerakan pemuda, pelajar dan mahasiswa
Salah satu faktor pendorong terbentuknya Pelajar Islam Indonesia (PII) adalah dualisme sistem pendidikan di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme Belanda, yakni pondok pesantren dan sekolah umum. Masing-masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda.
Pondok Pesantren berorientasi ke akhirat sementara sekolah umum berorientasi ke dunia. Akibatnya pelajar Islam juga terbelah menjadi dua kekuatan yang satu sama lain saling menjatuhkan.
Santri pondok pesantren menganggap sekolah umum merupakan sistem pendidikan orang kafir karena produk kolonial Belanda. Hal ini membuat para santri menjuluki pelajar sekolah umum dengan “pelajar kafir”.
Sementara pelajar sekolah umum menilai santri pondok pesantren kolot dan tradisional; mereka menjulukinya dengan sebutan “santri kolot” atau santri “teklekan”. Pada masa awal-awal Indonesia merdeka sebenarnya sudah ada organisasi pelajar, yakni Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) namun organisasi tersebut dinilai belum bisa menampung aspirasi santri pondok pesantren, hal ini menjadi kerisauan seorang pelajar STI Yogyakarta, Joesdi Ghazali.
Oleh karena itu, pada tanggal 25 Februari 1947 ketika sedang beri’tikaf di Masjid Besar Kauman Yogyakarta, terlintas dalam pikirannya, gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam. Gagasan tersebut kemudian disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Setyodiningratan, Yogyakarta.
Kawan-kawannya yang hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain: Anton Timur Djaelani, Amien Sjahri dan Ibrahim Zarkasji, dan semua yang hadir kemudian sepakat untuk mendirikan organisasi pelajar Islam. Hasil kesepakatan tersebut kemudian disampaikan Joesdi Ghazali dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), 30 Maret-1 April 1947.
Karena banyak peserta kongres yang menyetujui gagasan tersebut, maka kongres kemudian memutuskan melepas GPII Bagian Pelajar untuk bergabung dengan organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan kongres GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta untuk memudahkan berdirinya organisasi khusus pelajar Islam di daerah masing-masing.
Menindaklanjuti keputusan kongres, pada Ahad, 4 Mei 1947, diadakanlah pertemuan di kantor GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri Joesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani dan Amien Syahri mewakili bagian Pelajar GPII yang siap dilebur di organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk, Ibrahim Zarkasji, Yahya Ubeid dari Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS), Multazam dan Shawabi dari Pergabungan Kursus Islam Sekolah Menengah (PERKISEM) Surakarta serta Dida Gursida dan Supomo NA dari Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta.
Rapat dipimpin oleh Joesdi Ghozali itu kemudian memutuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) tepat pada pukul 10.00, 4 Mei 1947. Untuk memperingati momen pembentukan PII, tanggal 4 Mei diperingati sebagai Hari Bangkit PII (HARBA PII).
Hal dianggap sebagai momen kebangkitan dari gagasan yang sebelumnya sudah terakumulasi, sehingga tidak digunakan istilah hari lahir atau hari ulang tahun.
Sedangkan pada 5 Februari 1947, juga di Jogjakarta sudah ada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebuah organisasi yang didirikan pada 5 Februari 1947, atas prakarsa Lafran Pane beserta 14 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta. Saat itu organisasi tersebut diarahkan untuk menjadi wadah aspirasi mahasiswa STI.
Bahkan setelah PII berdiri, HMI sempat menjadi anggota luar biasa PII sebelum akhirnya pada 1951 melepaskan diri dari PII dan menggelar Kongres sendiri di luar PII. Setelah HMI berpisah dari PII dan membentuk Pengurus Besarnya sendiri, maka fakta ini kemudian diterima sebagai koeksistensi damai di antara kedua organisasi Islam ini.
Apalagi saat itu ada Masyumi sebagai wadah pemersatu umat Islam Indonesia. Namun Pemilu 1955 membuat situasi politik juga berubah.
NU yang tidak puas dengan model pengambil keputusan di Masyumi yang dianggap didominasi kader-kader Muhammadiyah akhirnya memutuskan berdiri sendiri sebagai sebuah partai politik. Dampaknya, para mahasiswa NU yang tadinya juga kader HMI dan PII berkumpul pada 17 April 1960 untuk membentuk sebuah organisasi baru yang dinamakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), pendirinya adalah Mahbub Junaidi (salah satu Ketua PB HMI hasil Kongres V di Medan) dan Subchan ZE (Sekretaris Umum PB PII).
Setelah itu, terbelahlah lagi organisasi pelajar menjadi tiga yaitu PII, HMI dan PMII.*