OlehSholih Hasyim
Manusiaadalah makhluk sosial. Ia tidak bisa menjalani kehidupan ini dengan harmonis,baik dalam skala kehidupan infirodi, usrah, dan sosial tanpaberinteraksi dengan pihak lain. Untuk mempertahankan hubungan batin antarakomponen masyarakat dan memeliharanya, serta untuk mengelola berbagai konflikyang mungkin terjadi (ishlaahu dzaatil biin), mutlak diperlukanseseorang yang lebih berkualitas, disegani di antara mereka, yaitu pemimpin. Karenaitu kehadiran seorang pemimpin dalam sebuah komunitas merupakan suatu yangaksiomatik (kebenaran yang tidak terbantahkan).
Jikamelihat persoalan umat, meliputi aspek sosial, politik, ekonomi, pendidikan,kebudayaan secara global sekarang ini, maka keberadaan pemimpin adalah suatukeharusan syar’i (faridhah syar’iyah) dan merupakan tuntutankehidupan primer (dharurat basyariyah). Kehidupan bermasyarakatdan bernegara harus diatur oleh sebuah sistem dan tunduk pada suatu aturanhukum yang dijalankan oleh penguasa/pemimpin/imam.
Begitupentingnya sebuah kepemimpinan, maka Rasulullah menganjurkan terbentuknyasebuah kepemimpinan, sekalipun bepergian yang sifatnya sementara dan jumlahpersonel yang relatif sedikit. Lebih-lebih dalam kehidupan berbangsa danbernegara.
Jikatiga orang keluar mengadakan perjalanan, hendaklah mereka mengangkat salahseorang di antaranya sebagai pemimpin (rombongan). (HR. AbuDawud).
IbnuTaimiyah secara radikal menegaskan bahwa keberadaan pemimpin yang zhalim masihlebih baik daripada hidup tanpa pemimpin. Selanjutnya beliau mengatakan: Enampuluh tahun di bawah penguasa yang zalim masih lebih baik daripada satu malamtanpa pemimpin.
Bertolakdari persepsi di atas dapat dikatakan, Islam adalah agama yang memberikan porsiperhatian besar pada masalah kepemimpinan. Karena Islam mengandung norma-normayang tidak bisa ditegakkan dengan sempurna tanpa adanya sistem. Contoh yangkongkrit adalah praktek shalat berjamaah. Kelebihan keutamaan shalat jamaahadalah 27 kali lipat, daripada shalat sendirian. Beliau pernah memberikankecaman terhadap sahabat yang tidak shalat berjama’ah dengan membakar rumahnya,dan shalat seseorang tidak dianggap sempurna, jika ia tinggal berdekatan denganmasjid tetapi tidak shalat di masjid. Kelalaian dalam menegakkan disiplinshalat jamaah, merupakan salah satu indikasi kemunafikan.
Ironisnya,kita mendiskusikan kepemimpinan dalam skup kecil (al imamat ashshughra), dengan penjang lebar, membongkar beragam kitab fiqh dan berbagaimazhabnya, sementara kita mengabaikan problem kepemimpinan yang lebih besar danlebih urgen (al imamat al kubra). Padahal kepemimpinan makro adalahkonsekuensi logis dan tindak lanjut dari konsistensi kita dalam penegakankepemimipinan mikro, shalat jamaah. Kita berlindung dari peringatan RasulullahSaw yang menjelaskan kualitas keshalihan ritual seseorang tidak berimplikasipada keshalihan sosial.
Betapabanyak orang yang mendirikan shalat, tetapi tidak memperoleh sesuatu selainbegadang dan lelah. (HR. Bukhari Muslim).
Celakalahorang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya. (QS. AlMaun : 4-5).
Dalambuku-buku hadits, bab ibadah mahdhah hanya merupakan bagian kecil dari seluruhhadits. Dari dua puluh jilid Fath al Bari, Syarah Shahih Bukhari,hanya empat jilid berkenaan dengan urusan ibadah. Dari dua jilid ShahihMuslim, hadits-hadits ibadah ritual hanya terdapat 1/3 jilid pertama. Demikianpula dalam Musnad Imam Ahmad, Al Kabirnya Thabrani, atau KanzulUmmal, atau kitab hadits manapun.
Yangislami tentu yang seimbang (tawazun) dalam beragama. Disiplin dalam menegakkanjamaah shalat sejatinya melahirkan kepemimpinan umat yang kokoh. Sehinggakehidupan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, hukum merupakanpenjelmaan dari kehendak-kehendak AllahSwt.
MerakitPotensi Umat
Bukankahumat ini kaya dengan orang shalih, ahli ibadah, ilmuwan, konglomerat, politisi?Tidakkah kekayaan alam yang melimpah sengaja dipilih oleh Allah di tempatmayoritas kaum muslimin menetap. Bukankah jumlah umat Islam Indonesia sajalebih besar secara kuantitas dibandingkan dengan seluruh negara Timur Tengah? Namun,sependapatkah kita bahwa umat ini tidak seindah, serapi, sekuat, sehebat dansekokoh dan sekualitas, seperti statemen Allah dan Rasul-Nya.
RasulullahSaw memprediksikan kondisi umat Islam kelak laksana buih (ghutsa) yangterapung-apung di atas permukaan laut. Ghutsa di sini lebih tepat bermaknasampah jika dianalogikan dengan realitas umat Islam kontemporer, meminjamistilah pakar hadits, DR. Daud Rasyid. Sampah adalah sesuatu yang sengajadibuang karena tidak bermanfaat dan berbau busuk. Kehadirannya tidakmenggenapkan, kepergiannya tidak mengganjilkan. Keberadaannya sama denganketidakadanya (wujuduhu ka’adamihi). Mayat-mayat umat Islam yangseharusnya mendapat penghormatan terakhir dengan ibadah ritual yang sakral,kini ibarat bangkai busuk yang tidak menarik perhatian aktifis HAMinternasional.
MohammadIqbal pernah melantunkan dalam doa sajaknya:
Walaupunsatu keluarga kami tak saling mengenal
Himpunlah daun-daun yangberhamburan ini
Hidupkan lagi ajaran salingmencinta
Ajari lagi kami berkhidmat sepertidulu
Begitulah kenyataan getir umatyang digambarkan oleh pemikir besar Pakistan. Umat ini berisi segudangorang shalih, orang kuat, orang hebat, orang cerdas, orang kaya. Tetapi merekabagaikan daun-daun yang berguguran diterpa oleh angin zaman. Orang shalih,orang kuat, dan orang hebat belum bisa bersinergis secara integral dengansaudaranya yang sama kualitasnya dalam struktur yang kuat, rapi, dan solid.Sehingga eksistensi umat ini terpojok, tersudut, dan terisolasi dalam percaturanglobal.
Adakah referensi dan fakta yangbisa dipercaya bahwa seseorang itu bisa survive mempertahankankehidupannya tanpa melibatkan orang lain. Sejarah hidup membuktikan bahwa kitatidak mungkin melakukan segalanya dan mensetting diri kita menjadisegalanya. Dan mustahil kita mengetahui dan menguasai segalanya, apalagimelihat cabang-cabang ilmu pengetahuan dan bidang kehidupan yang kompleks danberkembang pesat sekarang ini.
Berjamaah
Maka berjamaah adalah kebutuhanfithrah (hajah fithriyah) kita. Manusia adalah makhluk madaniyyun(makhluq sosial), kata Ibnu Khaldun. Berjamaah adalah media yang efektif danefisien untuk merakit beragam potensi dan kekuatan yang berserakan tadi,menjadi bom kekuatan yang sewaktu-sewaktu diledakkan pada momentumzamannya. Kecerdasan individual dipadukan menjadi kecerdasan kolektif.Keshalihan pribadi dilebur menjadi keshalihan jama’i (sosial). Kecerdasaninteraksi interpersonal perlu diimbangi dengan keterampilan bergaul secarakolektif .
Berjamaah adalah kunci suksesmerakit perbedaan, friksi, persepsi, latar belakang, menjadi mudahdisederhanakan. Bahkan dengan berjamaah kita lebih mudah untuk mempertahankankeshalihan pribadi. Karena kita sering berinteraksi dengan orang yangsefikrah dan sehati dengan kita.
Seseorangitu tergantung dengan agama temannya, maka perhatikanlah kepada siapa iaberteman. (HR. Ahmad).
Persoalannya,ternyata orang yang baik itu tidak mudah disatukan. Ternyata menumbuhkan rasacinta di antara kita tidak semudah membalik telapak tangan. Ternyata membangunbudaya berjamaah, izin, pamit, mendoakan sesama, bukan pekerjaan yang mudah. Ternyataorang hebat, orang kuat, orang berpotensi tidak selalu bersedia bersandingdengan saudaranya yang sama kuat, hebat, potensinya. Ternyata menjaga aib dankelemahan saudara kita, memerlukan komitmen dan pengorbanan yang tulus. Ternyataberjamaah itu harus menyediakan ruang pada kepribadian kita, keluasan dankelapangan dada, serta sikap berani mengalah demi keutuhan jamaah. Alibin Abi Thalib pernah mengatakan:
??????? ??????? ???????????????? ????? ?????????????????? ?????????? ????? ??????????
(Sayaheran, saya heran atas perselisihan kalian dalam kebenaran dan keutuhan musuhdalam kebatilan).
Betapamudahnya orang-orang kafir mengesampingkan perbedaan tajam di antara merekauntuk memusuhi Islam ini. Sementara alangkah sulitnya kita mengelolaperbedaan-perbedaan kecil (furuiyah) yang terjadi di antara kita. Betapa kitafasikh membaca Al-Quran, sama fasikhnya kita mencerca, memaki-maki,menggunjing, memfitnah saudara kita karena perbedaan bidang pekerjaan, profesi,dan perbedaan mazhab. Ada benarnya ungkapan di kalangan gangster mafia :seorang prajurit yang bodoh, terkadang lebih berguna dari pada dua orangjendral yang hebat. Sebab, kata Rasulullah saw: sekalipun adaketidakcocokan, perbedaan, ia tidak memaafkan kita meninggalkan jama’ah.
Alibin Abi Thalib mengatakan:
?????? ???????????? ?????? ???? ?????? ?????????
(Kekeruhanjamaah jauh lebih baik dari pada kejernihan individu).
Lebihbaik banyak jamaah daripada tidak ada sama sekali. Dalam kondisi suka dan tidaksuka kepentingan jamaah harus diprioritaskan dan dijunjung tinggi melebihidaripada kepentingan individu dan golongan. Anjuran ini sudah banyak dikutipberbagai hadist.
“Barangsiapamembenci dari amirnya sesuatu maka hendaklah dia, sabar atasnya, karenasesungguhnya tiada seorang pun di antara manusia yang keluar dari sulthansejengkal lalu mati pada keadaan itu, melainkan mati dengan kematianjahiliyah.” (HR. Muslim 12/240).
“Berhimpun(dalam jamaah) itu rahmat dan cerai berai itu siksa.” (HR.Ahmad)
“Barangsiapameninggalkan jamaah sejauh sejengkal maka seolah-olah seperti melepaskan taliikatan Islam dari lehernya.” (Fathul Bari 13 : 7).
??????? ????????? ??? ???????? ????? ?????? ?????????? ??????? ?????????? ?????? ??????????? ?????????? ???????????? ,???????????? ?????????????? ?????????? ???????? ????????? ????????????
“Tidaklahdari tiga orang di suatu negeri, tidak juga di suatu kampung yang ditengah-tengah mereka tidak ditegakkan shalat (berjamaah), melainkan syetanmengalahkan mereka. Maka hendaklah kalian berjamaah, karena sesungguhnyaserigala itu hanyalah memangsa domba yang jauh dari rombongannya.” (ShahihulJami’ Ash Shaghir : 5577).
“Sesungguhnyayang sebenar-benar orang mu’min yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, danapabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yangmemerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum memintaizin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad),mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabilamereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepadasiapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untukmereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.An Nur : 62).
Marikita bermuhasabah secara radikal dan kritis, benarkah kegiatan keislaman kitaselama ini mengarah pada keutuhan hidup berjamaah. Benarkah ibadah ritual kitamenjadikan kita sosok yang shalih sosial. Benarkah puasa, haji kita melahirkankepekaan sosial. Betulkah bahwa ibadah serimonial ritual kita melahirkan amalshalih yang membumi. Kita tidak mengharapkan seperti makhluk Allah, Iblis.Semula ia termasuk ahli surga, kualitas ibadahnya yang melebihi rata-ratadibandingkan penduduk surga yang lain (meminjam istilah dalam tafsir AshShowi), tetapi menjadikan dirinya egois dan individualis, sehingga tidakmengakui kepemimpinan Nabi Adam. Iman yang tidak melahirkan amal jama’i samajeleknya dengan amal yang tidak berlandaskan iman.
Mampukahkita menjadi orang shalih, kuat, hebat, tetapi mudah menyatu dengan saudarakita yang sama-sama shalih, kuat, dan hebat? Relakah popularitas kita dicatut untuk memberikan rasabahagia kepada sesama? Siapkah kita melepas posisi penting kita dengan ridhojika kepemimpinan memutuskan untuk itu, sebagaimana panglima Khalid bin Walidmenyerahkan jabatannya dengan sam’naa wa ‘atha’na kepada penggantinya yanglebih yunior Abu ubaidah atas instruksi Umar bin Khathab.
Alangkahironisnya jika cita-cita awal harakah kita ingin mewujudkan kehidupan yang baiksecara individu (hayatan thayyibah), keluarga yang Islami (usrah islamiyah),desa yang diberkahi (qoryah mubarokah), negeri yang aman (baladan aminan), dannegeri makmur penuh ampunan Tuhan (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur),iqomatul khilafah (menegakkan khilafah), terserang penyakit dari dalam, sepertiyang terjadi pada komunitas Yahudi.
????? ????? ???? ?????? ????? ??????? ???
“Permusuhandi antara mereka sangat hebat, kamu sama mengira mereka itu bersatu sedang hatiberpecah belah” (QS. Al Hasyr : 14).
Mereka(Yahudi) bersama tetapi tidak bekerjasama. Secara fisik bersatu, tetapi tidakada keakraban hati. Mereka tidak berkumpul, tetapi hanya berkerumun. Sepertipara penumpang di kendaraan umum, mereka duduk bersama, tetapi memiliki tujuanakhir yang berbeda. Apakah kita di antaranya? Na’uzhu billah.
Penulisadalah kolumnis hidayatullah.com