Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatullah.com | SEKALI-KALI, bacalah materi ajaran tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di sekolah. Tertulis dalam pada salah satu ringkasan buku PKN Kelas X:
“Langkah untuk pemajuan, penghormatan dan penegakan HAM semakin nyata ketika Majelis Umum PBB mengeluarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini menjadi salah satu acuan bagi negara-negara anggota PBB untuk menyusun langkah-langkah dalam penegakan HAM. (https://dedelfip.wordpress.com/2011/10/14/materi-pkn-kelas-x-ham/).
Jadi, sejak di bangku sekolah, para siswa sudah didoktrin, bahwa kita harus menerima Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), tanpa catatan kritis sama sekali! Pada umumnya, konsepsi HAM yang kini digunakan sebagai acuan internasional dianggap bermula dari Piagam Magna Charta, tahun 1215, dan kemudian diformulasikan secara universal mengacu pada Deklarasi Universal HAM (DUHAM), yang diproklamasikan PBB, 10 Desember 1948.
Sejak di bangku sekolah, anak-anak sudah didoktrin bahwa konsep HAM dalam DUHAM bersifat universal, bukan lokal, atau parsial. Padahal, ada sejumlah pasal yang dikritisi oleh dunia Islam. Itu artinya konsep HAM dalam DUHAM itu tidak UNIVERSAL lagi. Seorang muslim yakin, justru ajaran Islamlah yang bersifat universal. Sebab, Nabi Muhammad ﷺ memang diutus kepada seluruh manusia! (QS 34:28).
*****
Pada tahun 1990, negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) menghasilkan ”Deklarasi Kairo” (The Cairo Declaration on Human Rights in Islam), sebagai ”tandingan” dari DUHAM yang dikeluarkan di San Francisco pada 24 Oktober 1948.
Pasal 25 Deklarasi Kairo menegaskan: ”The Islamic Syariah is the only source of reference for the explanation or clarification of any of the articles of this Declaration.” (Syariat Islam adalah satu-satunya penjelasan atau klarifikasi dari semua artikel dalam Deklarasi Kairo ini).
Jadi, dalam Deklarasi Kairo, negara-negara Islam telah sepakat untuk meletakkan syariat Islam di atas HAM. Bukan sebaliknya: meletakkan Islam di bawah HAM. Karena itulah, ada sejumlah pasal Deklarasi Kairo yang merupakan koreksi terhadap DUHAM.
Sebagai contoh, dalam konsep perkawinan, DUHAM pasal 16 menyatakan: “Laki-laki dan wanita yang telah dewasa, tanpa dibatasi faktor ras, kebangsaan atau agama, memiliki hak untuk menikah dan membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama terhadap pernikahan, selama pernikahan, dan saat perceraian”.
Dalam Deklarasi Kairo dikatakan: “Keluarga adalah fondasi masyarakat, dan perkawinan adalah basis pembentukannya. Laki-laki dan wanita memiliki hak untuk menikah dan tidak boleh ada pembatasan dalam soal ras, warna kulit, dan kebangsaan yang menghalangi mereka untuk menikmati hak tersebut.” (pasal 5).
Jadi, negara-negara Islam menolak pengabaian faktor agama dalam pernikahan. Sebab, Islam mengatur masalah perkawinan dengan jelas dan tegas. Wanita muslimah haram menikah dengan laki-laki kafir (non-Muslim). Bagi kaum Muslim, faktor agama adalah soal mendasar dalam membangun tali ikatan kasih sayang. (Lihat, QS al-Mujadilah:22).
*****
Disamping soal pernikahan, Deklarasi Kairo juga menolak konsep kebebasan beragama ala DUHAM, sebagaimana tercantum dalam pasal 18: “Setiap orang mempunyai hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan, dan beragama; hak ini mencakup hak untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan — baik sendiri atau di tengah masyarakat, baik di tempat umum atau tersendiri – untuk menyatakan agama atau kepercayaannya, dengan mengajarkannya, mempraktikkannya, beribadah atau mengamalkannya.”
Jadi, DUHAM menjamin hak untuk pindah agama (hak untuk murtad). Sebagian kalangan yang menjadikan DUHAM sebagai “kitab sucinya” sempat menuntut pembubaran MUI, karena dianggap melanggar HAM. MUI telah mengeluarkan fatwa sesat atas Ahmadiyah, agama Salamullah, dan sebagainya.
Deklarasi Kairo membuat konsep tandingan terhadap konsep kebebasan beragama versi DUHAM tersebut. Pasal 10 Deklarasi Kairo menegaskan: “Islam adalah agama yang murni (tidak rusak atau tercemar). Islam melarang adanya paksaan dalam bentuk apa pun untuk mengeksploitasi kemiskinan atau kebodohan seseorang untuk mengganti agamanya ke agama lain atau ke atheisme.”
Prof. Dr. Hamka telah membuat kajian khusus tentang DUHAM, dalam satu makalah berjudul Perbandingan antara Hak-Hak Azasi Manusia Deklarasi PBB dan Islam. Terhadappasal18 DUHAM, Hamka menegaskan: “Kalau ada orang-orang yang mengaku Islam menerima hak pindah agama ini buat diterapkan di Indonesia, peringatkanlah kepadanya bahwa ia telah turut dengan sengaja menghancurkan ayat-ayat Allah dalam al-Qur’an. Dengan demikian Islamnya sudah diragukan.”
Terhadap pasal 16 DUHAM, yang mengabaikan faktor agama dalam pernikahan, Hamka juga menolak dengan keras. Dalam soal pernikahan, harus ada pembatasan soal agama. “Tegasnya di sini bahwa Muslim yang sejati, yang dikendalikan oleh imannya, kalau hendak mendirikan rumah tangga hendaklah dijaga kesucian budi dan kesucian kepercayaan. Orang pezina jodohnya hanya pezina pula, orang musyrik, yaitu orang yang mempersekutukan yang lain dengan Tuhan Allah, jodohnya hanya sama-sama musyrik pula,” tulis Hamka.
Mengapa Hamka pasal 16 dan 18 DUHAM? Beliau menjawab: “Sebab saya orang Islam.”
Jadi, sekali-kali, mohon Bapak-Ibu menyempatkan diri membaca buku-buku ajar anaknya di sekolah. Di negeri yang mayoritas muslim ini, sepatutnyalah pelajaran tentang HAM juga mencamtumkan pandangan dunia Islam tentang HAM. Meyakini konsep HAM menurut Islam, itu juga merupakan HAM-nya seorang muslim. Jangan muslim dipaksa menjadi sekuler, bahkan dipaksa murtad dari Islam, dengan alasan HAM.
Semoga nanti banyak anak-anak kita yang memahami pemikiran Islam dengan baik, dan mampu menjadi guru PKN yang baik. Dengan itu, konsep HAM Barat bisa diajarkan secara adil. Yang sesuai dengan Islam, bisa diajarkan. Yang tidak sesuai harus dikritik, dijelaskan kekeliruannya. Wallahu A’lam bish-shawab.*
Guru Pesantren Attaqwa Depok