Oleh: Alwi Alatas
SEBAGAIMANA pernah disebutkan dalam tulisan-tulisan sebelumnya, sebab kegagalan kaum Muslimin dalam mempertahankan al-Quds dan wilayah-wilayah di sekitarnya dari penguasaan orang-orang Frank (pasukan salib) adalah karena perpecahan yang melanda dunia Islam. Jauh sebelum terjadinya Perang Salib, Mesir dikuasai oleh Dinasti Fatimiyah yang berpaham Syiah Ismailiyah dan bermusuhan dengan Dinasti Abbasiyah yang Sunni.
Menjelang terjadinya Perang Salib, yaitu setelah tahun 1092, dunia Sunni sendiri terpecah belah, khususnya di Suriah. Damaskus dan Aleppo dipimpin oleh dua orang kakak beradik yang saling bermusuhan satu sama lain.
Demikian pula, Baghdad, Mesopotamia, Asia Minor (Turki), dan Mesir sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Akibatnya, saat pasukan salib masuk ke Suriah-Palestina pada tahun 1097-1099, tidak ada kekuatan yang efektif di dunia Islam untuk menghalau mereka keluar.
Baru setengah abad kemudian mulai dilakukan gerakan yang lebih serius untuk menghadapi orang-orang Frank. Usaha ini dipimpin oleh Nuruddin Mahmud bin Zanki. Walaupun keberadaan orang-orang Frank di Suriah-Palestina merupakan sesuatu yang serius, Nuruddin tidak tergesa-gesa mengerahkan sumber daya yang dimilikinya untuk memerangi orang-orang Frank habis-habisan. Ia menyadari bahwa kondisi internal kaum Muslimin sendiri masih lemah dan mereka tidak mau bersatu untuk menghadapi musuh. Maka yang menjadi kebijakan utamanya adalah menguatkan nilai-nilai Islam dalam pemerintahannya dan mengupayakan persatuan di antara para pemimpin Muslim. Dalam hal ini ia banyak dibantu oleh para ulama. Pembebaskan al-Quds menjadi cita-cita pemerintahannya dan jihad serta penyebaran syiar Islam menjadi sarana utama perjuangannya.
Upaya menyatukan wilayah Muslim sedikit demi sedikit membuahkan hasil dan pada tahun 1154 ia dapat menyatukan Aleppo dan Damaskus di bawah pemerintahannya. Terhadap komunitas dan pemerintahan Syiah pun ia memiliki sikap yang bijak. Walaupun tidak menyetujui paham Syiah, ia tidak memerangi mereka. Terhadap warga Syiah di Aleppo, ia hanya memberi batasan terhadap praktek keagamaan mereka yang bersifat publik, sambil menguatkan dakwah dan pendidikan Ahlu Sunnah di kota itu. Ia juga tidak memerangi pemerintah Fatimiyah, dan tidak keberatan untuk menjalinkerja sama dengannya dalam menghadapi orang-orang Frank. Fatimiyah akhirnya jatuh dan dihapuskan karena kelemahan internalnya sendiri. Nuruddin belakangan mengirim pasukannya di bawah pimpinan Shirkuh dan Shalahuddinke Mesir karena adanya permintaan bantuan dari pemerintahan Fatimiyah sendiri dan karena ia khawatir orang-orang Frank akan masuk ke sana dan menguasai negeri itu.
Pada tahun 1169, Shalahuddin berhasil memimpin Mesir dan perlahan-lahan mereduksi pengaruh kekhalifahan Fatimiyah yang sudah semakin keropos. Dua tahun kemudian, Dinasti Fatimiyah dihapuskan bersamaan dengan wafatnya khalifah Fatimiyah yang terakhir. Detail pembahasan ini dapat dibaca dalam buku yang kami tulis, Nuruddin Zanki dan Perang Salib.
Kebijakan yang sama jugasecara umumdiambil oleh Shalahuddin al-Ayyubi selepas wafatnya Nuruddin pada tahun 1174. Wilayah Muslim di Suriah dan Mesopotamia untuk sementara waktu terpecah-pecah selepas kematian Nuruddin. Shalahuddin, didukung oleh para emir dan pasukannya di Mesir, secara bertahap merajut kembali wilayah Suriah yang tercerai berai. Pada saat yang sama, ia juga memerangi orang-orang Frank.
Shalahuddin berhasil menguasai Damaskus pada akhir tahun 1174, tak terlalu lama setelah wafatnya Nuruddin.Seorang penulis Syiah di Aleppo, Ibn Abi Tayy, mengakui bahwa “ketika Shalahuddin menguasai Damaskus dan kastilnya, ia menebarkan keadilan dan kebaikan, menghilangkan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan, menghapuskan semua perilaku yang buruk, serta melarang pajak-pajak yang ditarik oleh para penguasa selepas wafatnya Nuruddin” Hal ini disebutkan dalam Kitab Rawdhatayn fi Akhbar Dawlatayn karya Abu Shamah al-Maqdisi.
Penghapusan pajak yang tidak ada landasan syariahnya merupakan salah satu kebijakan penting Nuruddin Zanki. Ketika ia wafat, para emir di Suriah dalam masa kekuasaannya yang singkat sempat menghidupkan kembali pajak-pajak ini. Ketika Shalahuddin masuk ke Damaskus dan wilayah Suriah lainnya, ia mengembalikan keadaan seperti pada masa Nuruddin, antara lain dengan menghapuskan pajak.
Sembilan tahun setelah memasuki Damaskus, yaitu pada pertengahan tahun 1183, Shalahuddin berhasil menguasai Aleppo. Dengan demikian ia telah menyatukan seluruh wilayah Suriah dan Mesir di bawah kepemimpinannya. Pada saat yang sama, keberadaan Shalahuddin di Suriah membuat orang-orang Frank berada dalam posisi yang defensif dan terjepit, karena kini kaum Muslimin memiliki semangat Islam yang tinggi, memiliki pemimpin yang kuat, serta bersatu padu dalam menghadapi mereka.
Walaupun begitu, Shalahuddin masih berusaha untuk meluaskan kekuasaannya ke Mesopotamia dan beberapa kali terlibat peperangan dengan penguasa Mosul yang sama-sama Muslim. Al-Qadi al-Fadil, seorang penasihat dan administrator utama di pemerintahan Shalahuddin beberapa kali mengingatkan Shalahuddin untuk menahan diri dari hal itu dan mencurahkan perhatiannya dalam memerangi orang-orang Frank serta dalam upaya pembebasan al-Quds.
Pada masa sebelumnya, saat Shalahuddin masuk ke Suriah dan berusaha menyatukan wilayah ini dengan Mesir yang sudah berada di bawah kepemimpinannya, al-Qadi al-Fadil sepenuhnya mendukung Shalahuddin. Hal ini disebabkan al-Qadi al-Fadil menyadari pentingnya penyatuan Mesir dan Suriah dalam menghadapi orang-orang Frank. Sebagaimana disebutkan oleh Hadia Rageb Dajani-Shakeel dalam tesisnya Al-Qadi al-Fadil: His Life and Political Career, al-Qadi al-Fadil percaya bahwa “menyatukan kedua negeri ini merupakan strategi yang lebih baik bagi pertahanan keduanya, sebagaimana juga untuk melancarkan serangan kepada orang-orang Frank, karena Kerajaan Yerusalem dapat dihancurkan di antara dua rahang Kairo dan Damaskus.”
Seperti itulah posisi penting Mesir dan Suriah dalam proses pembebasan al-Quds. Keduanya ibarat rahang yang dapat melumatkan kekuatan musuh yang menjajah al-Quds dan Palestina. Tentunya ini tanpa mengecilkan peranan negeri-negeri Muslim lainnya.
Namun setelah menguasai seluruh Suriah, Shalahuddin masih meneruskan perluasan kekuasaannya ke Mosul, dan selalu saja mengalami kegagalan. Bahkan pada tahun 1185, saat mengepung Mosul untuk yang kesekian kalinya, Shalahuddin jatuh sakit. Sakitnya sangat serius sehingga orang-orang merasa bahwa ia akan meninggal dunia. Bagaimanapun, beberapa waktu kemudian kesehatannya pulih kembali. Ketika ia kembali ke Damaskus pada tahun berikutnya, al-Qadi al-Fadil menasihatinya:
“Sekarang Tuhan telah menyembuhkan Anda; tak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Anda dari keburukan (penyakit) ini selain daripada-Nya. Maka bersumpahlah dengan menyebut nama Allah bahwa jika Anda sepenuhnya sembuh dari penyakit ini, Anda akan melaksanakan seluruh tugas keagamaan dan bersumpahlah juga atas nama Allah bahwa Anda tidak akan memerangi pemimpin Muslim lainnya, dan bahwa Anda hanya akan memerangi musuh-musuh Allah (orang-orang Frank).”
Shalahuddin menerima nasihat ini dan sejak saat itu ia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghadapi orang-orang Frank. Pada tahun berikutnya, 1187, Shalahuddin berhasil mengalahkan orang-orang Frank pada Perang Hattin dan setelah itu dapat merebut kembali kota al-Quds. (bersambung..)
Penulis adalah penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib” kolumnis hidayatullah.com, kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
Untuk melihat tulisan-tulisan lain terkait Perang Salib klik #Perang Salib