Sambungan artikel PERTAMA
Perubahan Kimia
Imam al Ghazali dalam Kitabnya “Kimiatusy- Sya’adah” (Kimia Kebahagian) mengatakan, bila kebahagiaan bisa dicapai dengan perubahan kimiawi di dalam diri seorang manusia, dan bukan perubahan fisikawi. Perubahan kimiawi yang dimaksud al-Ghazali adalah perubahan yang tidak bersifat fisik, akan tetapi perubahan yang bersifat non fisik, non materi, perubahan jiwa, batin, pikiran dan perasaan, yang dapat menghantarkan sesorang dapat menggapai kebahagiaan sejati.
“Kebahagiaan itu berbeda-beda bagi setiap makhluk hidup. Ada yang bahagia bila terpenuhi urusan makan, minum dan segala kebutuhan biologisnya, maka ini adalah kebahagiaan kelompok binatang ternak (baha’im). Ada yang merasa bahagia bila berhasil melakukan penyerangan, bisa mengalahkan dan bahkan membunuh lawan, ini adalah kebahagiaan bagi kelompok binatang liar (siba’),” tulis Al Ghazali.
Namun ada yang merasa bahagia dengan melakukan tipu daya dan muslihat, ini adalah ciri kebahagiaan bagi syaitan. Sementara kebahagiaan bagi para malaikat adalah kebahagiaan bisa taat kepada Tuhan sepenuhnya, tanpa bisa membangkang, tidak memiliki syahwat dan tidak pernah marah.
Menurut Al Ghazali, kebahagiaan sejati dapat diraih dengan memperhatikan tiga hal: kekuatan amarah, kekuatan syahwat dan kekuatan ilmu.
Dengan mengelolah amarah, sesorang bisa bersikap sabar, tenang dan bahagia. Dan dengan menjaga syahwat seseorang dapat menjaga kehormatan dan muru’ahnya. Manusia diberi kelebihan yang tidak dikaruniakan pada binatang. Yaitu ilmu yang puncaknya bisa mencapai ma’rifatullah. Inilah yang mengantarkan pada kebahagiaan sejati, menurut al-Ghazali.
Intinya, tiada kebahagiaan tanpa sakinah (ketenangan) dan thuma’ninah (ketentraman).Dan tiada ketenangan dan ketentraman tanpa iman. Allah Ta’la berfirman tentang orang-orang beriman:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” (QS al-Qashash [28]:77).
هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ ۗ
“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (QS Al-Fath: 4).
Walhasil, dalam Islam, bahagia itu bersumber dari iman dan amal seseorang. Bahagia itu bermuara kepada ilmu yang bermanfaat. Ia bukan semata berasal dari kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan, serta materi dunia lainnya. Tapi semua itu bisa menjadi wasilah kebahagiaan pula dengan syarat dimanfaatkan untuk amal kebaikan.*/Masykur Abu Jaulah