Oleh: Bambang Galih Setiawan
TINGGINYA kedudukan ilmu dalam Islam, sehingga menuntut ilmu pun menjadi kewajiban bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan. Ia merupakan jalan untuk seseorang mendapatkan kebaikan. Mohammad Natsir Perdana Mentri Pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang juga pernah menjabat sebagai ketua Masyumi pada masa Orde Lama sampai mengistilahkan Islam sebagai “agama pendidik”.
“Jikalau satu agama yang begini hakikatnya masih belum boleh dinamakan agama pendidikan atau pencerdasan manusia, maka kita hendak numpang bertanya: Agama macam mana lagi sebenarnya yang lebih berhak dinamakan “agama pendidik bangsa-bangsa?” lantaran kita tidak tahu dan ingin tahu! Hanya kita tahu ada satu agama yang antara lain kitab sucinya memuat beberapa ayat yang menerangkan bahwa semua kejayaan dunia itu tak lain daripada barang kosong yang tak berarti belaka, anitas vanitatum, katanya.
Dan yang pengikut-pengikutnya atas nama agama itu pernah membunuh seorang Hypatia lantaran berani menjadikan akalnya memperdalam ilmu pengetahuan, dan pernah membunuh seorang Galileo Galilei, lantaran berani mengatakan bumi ini berputar. Entahlah kalau yang begitu berhak dinamakan ,,agama pendidik bagsa-bangsa. (Mohammad Natsir, Islam dan Akal Merdeka, Sega Arsy: Bandung, 2015, hlm.25)
Natsir menerangkan akan hakikat agama Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, merupakan satu agama rasional, agama yang memberikan pendidikan bagi manusia menggunakan potensi akalnya untuk belajar dan berpikir, serta mendorong perkembangan ilmu pengetahuan untuk memberi manfaat kepada manusia dalam mendapatkan kebaikan-kebaikan bagi kehidupannya.
Berbeda halnya dengan agama bagi Barat –Kristen- yang pada abad pertengahan telah menutup pintu ilmu pengetahuan, karena mengganggap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterkaitan dan bertentangan dengan doktrin Gereja, serta dunia tidak memiliki arti terhadap agama. Sehingga banyak diantara para ilmuan Barat yang harus mengalami perlawanan sengit dengan pemuka agama Kristen dan mendapatkan hukuman dari Dewan Inquisi, hingga membunuh tokoh-tokoh ilmuan Barat seperti Galileo Galilei, pencetus teori heliosentris.
Islam merupakan agama yang sangat menghargai dan memuliakan ilmu, dikisahkan oleh Natsir sebagaimana yang pernah dilakukan pada masa Rasulullah ﷺ bahwa untuk para tahanan perang yang tersandera oleh umat Islam, maka untuk menebusnya tidak hanya dengan harta, namun dengan pengajaran atau nilai ilmu yang mereka bisa berikan kepada generasi kaum muslimin, dengan cara mengajari mereka untuk dapat membaca dan menulis.
“…Bukan diajarkan supaya tawanan itu, ditaklukkan” dengan mata pedang, melainkan mereka disuruh mengajar anak-anak Islam menulis dan membaca. Pelajaran membaca dan menulis itulah yang menjadi uang tebusan mereka. (Mohammad Natsir, Islam dan Akal Merdeka, Sega Arsy: Bandung, 2015, hlm.25)
Mohammad Natsir yang memiliki peranan penting dalam memobilisasi penyatuan Indonesia pasca pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), yang membagi Indonesia menjadi 15 negara bagian “buatan” Belanda. Melalui “Mosi Integral Natsir” yaitu gagasan dan lobilisasi Natsir kepada para tokoh-tokoh nasional, membuka jalan kesepakatan dan persatuan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 19 Mei 1950. Ia tidak hanya terkenal sebagai politisi, namun Natsir juga memang dikenal memiliki perhatian besar dan terlibat langsung dalam bidang pendidikan, khususnya melalui sekolah Pendis “Pendidikan Islam” yang pernah didirikannya di Bandung pada tahun 1930.
Meskipun besar dan terdidik dalam sekolah didikan Belanda dari jenjang HIS (Hollandsch Inlansche School), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) hingga AMS (Algememeene Middelbare School) dengan prestasi yang membanggakan sehingga mendapatkan beasiswa hingga lulus sekolah Belanda. Namun Natsir lebih terpana dan terbangkitkan melalui pendidikan agama Islam, sebagaimana yang juga dialami oleh banyak tokoh dan masyarakat pribumi lainnya.
Natsir mengutip keadaan masyarakat pribumi ditengah kolonialisasi Belanda yang mengancam nyawa dan harta mereka, melalui penuturan dari Prof. Snouck Hurgonje salah seorang tokoh orientalis Belanda yang menjadi tokoh utama Belanda pada masa politik etis Hindia Belanda di Nusantara, melalui pidatonya sebagai guru besar di Universitas Leiden Belanda tahun 1907;
“Demikianlah, seorang anak laki-laki berumur 14 tahun, anak dari seorang ulama, yang tertawan oleh lascar kita (lascar Belanda), kenyataan hafal luar kepala gramatika bahasa Arab yang disyiirkan dalam 1000 baris… Dan beberapa kali telah kejadian, penduduk negeri; yang tengah melarikan diri, dikejar oleh pasukan kita, meninggalkan beberapa kitab. Di sinilah ternyata, bagaimana ulama-ulama itu dalam perjalanan mereka mengembara melalui hutan-hutan dan rawa-rawa, tidak meninggalkan pembacaan dan penyelidikan ilmu. (Mohammad Natsir, Islam dan Akal Merdeka, Sega Arsy: Bandung, 2015, hlm.29)
Dikisahkan oleh Prof Snouck Hurgonje, meskipun masyarakat pribumi yang saat itu sedang dalam keadaan terdesak di medan perang, namun semangat mereka untuk belajar tidak padam meskipun dalam keadaan perang dan tertawan. Semangat perjuangan kemerdekaan mereka, dibarengi semangat dalam menuntut ilmu yang juga akan memerdekakan mereka dari kebodohan dan ketertinggalanya.
Sebagaimana seorang anak yang menghafal 1000 baris gramatika bahasa Arab, atau yang dimaksudkan adalah menghafal kitab Alfiah karangan Imam Ibnu Malik, yang sejak dahulu hingga saat ini menjadi pelajaran pokok bahasa Arab mayoritas pesantren di Indonesia dan berbagai belahan dunia.
Banyaknya kitab-kitab atau buku yang bisa ditulis dan dibaca oleh tokoh-tokoh Islam ditengah gencatan hidup mereka. Islam sebagai agama pendidik, telah memberikan pelajaran kepada kita tentang keluhuran menuntut ilmu dan mendidik manusia, yang tidak dihalangi oleh berbagai keadaan dan latar belakang. Sehingga keutamaan menuntut ilmu pun merupakan perjuangan yang sama besarnya, sebagaimana disebutkan dalam hadist Rasulullah ﷺ, seperti seorang yang sedang berjihad di jalan Allah. Wallahu ‘alam bishawab.*
Alumni Ma`had Aly Imam Ghazally