Oleh: Shaifurrokhman Mahfudz, Lc. M.Sh
UMAT ISLAM tengah diuji untuk ke sekian kali. Umat Islam dihadapkan dengan berbagai realitas yang merendahkan citra ‘ummat terbaik’ (khaira ummah) dan menciderai syariah Islam sebagai agama penebar rahmat. Masih kuat dalam penglihatan mata kita, kasus Ahmadiyah yang dengan nyata merupakan penyimpangan terhadap ajaran Islam, tidak dianggap bentuk penodaan agama, tetapi justru dipolitisasi sebagai penindasan umat mayoritas terhadap kelompok minoritas. Genderang opini media yang bertalu-talu turut ‘berjasa’ mendorong pemerintah untuk membubarkan ormas yang dianggap anarkis. Sebagian masyarakat pun kemudian dengan mudah menyimpulkan bahwa pelaku kerusuhan itu adalah orang-orang Islam bergaris keras.
Meski kita tidak setuju dengan anarkisme dalam bentuk apapun, namun harus diakui bahwa pemerintah yang didominasi oleh orang-orang Islam ini ternyata belum bisa ‘membuka mata’ dan tidak bisa bersikap tegas terhadap kelompok Ahmadiyah, yang jelas-jelas melanggar UU No. 1/PNPS/1965 dan SKB. Jika merujuk pada aturan ini, para pemimpinnya pun seharusnya sudah ditangkap dan diadili. Sikap pemerintah yang selalu “bimbang” dalam menyelesaikan persoalan-persoalan ummat membawa dampak buruk bagi kewibawaan negara dan bangsa ini.
Simak saja, setiap kali isu-isu kebebasan beragama dibangkitkan di negeri muslim ini, maka selalu saja Amerika dan Barat melakukan campur tangan bahkan melancarkan tekanan-tekanan yang serius terhadap pemerintah. Untuk kasus Ahmadiyah, kita diberitahu tentang tindakan 27 anggota Kongres AS yang dengan jelas mengintervensi pemerintah RI dengan menulis surat kepada Presiden SBY agar membatalkan SKB pelarangan Ahmadiyah dan UU tahun 1965 tentang Penodaan Agama.
Pihak luar Islam meyakini bahwa mengusung persoalan kebebasan beragama (freedom of religion) di negara-negara Islam adalah tema rutin yang selalu ‘layak dijual’. Tentu saja, anggota Kongres yang sebagian besarnya pemeluk Nasrani itu tidak main-main. Tetapi, sayangnya mereka tidak dibekali dengan informasi yang utuh tentang Islam dan sejarah peradabannya yang mempesona.
Gustave Le Bon (1884) dalam La civilisation des Arabes menuturkan: “Setelah umat Nasrani berhasil menaklukkan Granada; kota yang terbilang berada di garis paling akhir dari serantaian kota yang telah ditaklukkan umat Islam di Eropa, tidak terpikir sedikitpun oleh umat Nasrani untuk meniru bangsa Arab tentang cara memperlakukan generasi-generasi yang tersisa di daerah taklukkannya, di mana umat Islam jika menaklukkan suatu wilayah selalu memperlakukan penduduk pribumi dengan cara yang baik dan lembut, menepis fanatisme kelompok dan agama. Sebaliknya, instruksi yang pertama kali dikeluarkan oleh umat Narsani setelah menaklukkan kota itu adalah penyiksaan penduduk pribumi yang beragama Islam dan memperlakukannya dengan kejam dengan melanggar perjanjian yang telah disepakati sebelumnya”.
Boleh jadi mereka memang benar-benar belum mengenal Islam lebih dalam, ataupun sengaja menutup rapat-rapat telinga dan nurani mereka dari kebenaran sejati yang diketahui untuk kemudian berkoalisi dengan musuh internal ummat Islam sendiri. Namun, kita tidak mungkin menyalahkan pihak luar yang setiap saat berusaha menghancurkan ummat ini, tetapi secara objektif harus diakui dengan jujur adanya kegagalan dakwah Islam dan lemahnya dialog keagamaan dalam masyarakat kita. Sebagian efeknya dapat dirasakan dengan munculnya kelompok-kelompok ummat yang memonopoli kebenaran dalam penafsiran teks-teks agama, sehingga dengan itu mereka dapat melakukan segala tindak kekerasan dengan mengatasnamakan agama.
Dibalik Kampanye ‘Perang Melawan Terorisme’
Tidak berselang lama, kita juga diperlihatkan dengan maraknya teror ‘bom buku’ dan paket-paket mencurigakan yang meresahkan masyarakat. Opini yang berkembang lagi-lagi mengarah kepada kelompok muslim. Dibongkarnya ‘borok’ partai-partai Islam yang dianggap paling bermoral di tanah air ini secara sistematis tidak hanya berimbas pada partai-partai tersebut tetapi juga mengesankan citra buruk syariah Islam. Dengan dalih itu semua, instrumen keamanan negara ini bisa saja dengan represif melakukan tindakan-tindakan liar dengan menangkapi tokoh-tokoh dan ormas-ormas Islam yang dianggap ‘berbahaya’. Berlindung dibalik slogan ‘perang melawan terorisme’, pemerintah yang ditumpangi pihak-pihak islamophobia serasa memiliki otoritarianisme baru untuk melakukan berbagai pembenaran dalam upaya menghabisi seluruh potensi dan kekuatan dakwah Islam.
Langkah ini serupa dengan apa yang dilancarkan AS dan tentara sekutu NATO terhadap Libya yang berdalih melengserkan rezim Muammar Qadhafi. Alih-alih melindungi rakyat sipil, serangan membabi buta mereka, ribuan masyarakat harus meregang nyawa dan banyak lagi kerugian besar yang harus ditanggung ummat Islam Libya. Namun, seperti yang berlaku sebelumnya, bagi mereka, jalan inilah yang dianggap paling ‘elegan’ untuk mengeruk kekayaan negeri Islam. Cara ini juga dipandang paling tepat untuk menghabisi umat Islam sekaligus menghancurkan image Islam di mata warga dunia, sehingga semakin lama ummat ini tidak yakin dengan ajarannya. Diantara mereka sudah tidak terlihat lagi identitas keislamannya dan kemudian secara sadar mereka tinggalkan Islam secara total (murtad).
Allah Swt mengingatkan kita semua: “…mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al-Baqarah 217).
Kebencian Abadi terhadap al-Qur’an
Berbagai upaya yang dapat mengobarkan kebencian terhadap ummat ini akan terus berlangsung, dengan cara dan media apapun yang bisa digunakan. Salah satunya dengan ‘menghabisi’ kitab suci ummat Islam yang sangat besar pengaruhnya bagi umat manusia. Berita terbaru yang dilansir AFP pada Ahad 20 Maret 2011 yang lalu menyebutkan bahwa di sebuah gereja kecil di Gainesville, Florida, Pendeta Wayne Sapp dibawah pengawasan Terry Jones, telah melakukan aksi pembakaran Al-Qur’an. Jones yang dianggap pastor oleh 50 orang pengikutnya di Dove World Outreach Center (DWOC) Florida itu mengaku, ia tidak bisa menggelar sebuah pengadilan sungguhan tanpa melakukan hukuman yang sesungguhnya yakni dengan membakar Al-Qur’an.
Perbuatan provokatif dan keji itu dilakukan dengan alasan al-Qur’an dianggap bersalah terhadap beberapa kejahatan. Tidak ada penjelasan soal kejahatan apa yang dimaksud oleh pendeta tersebut. Sebelumnya, al-Qur’an yang akan dibakar tersebut direndam dalam bensin selama satu jam. Wayne Sapp kemudian mengambil pemantik api yang biasa digunakan untuk menyalakan tungku barbeque. Lalu, al-Quran yang telah basah oleh bensin itu diletakkan di sebuah nampan berbahan metal agar efek pembakarannya tidak meluas. Sungguh sebuah perilaku yang sangat tidak beradab. Meski aksi itu dihadiri tidak kurang dari 30 orang, namun pesan yang ditinggalkan cukup jelas, seperti yang diekspresikan salah seorang pendukung Jones yang gusar dengan perkembangan Islam di Eropa;
“These people, for me, are like monsters. I hate these people.”
Jones memang dikenal sebagai pendeta yang rajin mengkampanyekan anti Islam. Sebelumnya pada Juli 2010, Jones mengumumkan akan menggelar “International Burn a Koran Day” atau “Hari Pembakaran al Qur’an Sedunia.” Jones memilih tanggal 11 September 2010 yang bertepatan dengan peringatan kesembilan tragedi 11 September meski gagal saat itu. Jones pernah mengarang buku “Islam Sama dengan Iblis”. Kampanye negatif ini dia luncurkan sejak 2002, setahun setelah serangan 11 September dan kemungkinan besar masih akan terus terjadi sepanjang sejarah manusia di bumi ini.*/bagian KEDUA
Penulis adalah Sekjen Andalusia Islamic Centre, Sentul City dan Dosen STEI Tazkia Bogor