Hidayatullah.com- Ulil Abshar Abdalla, yang pernah memimpin Jaringan Islam Liberal (JIL), mengungkapkan bahwa dirinya pernah “terguncang” setelah membaca tulisan karya Sayyid Qutb.
Ulil mengaku bahwa tulisan ulama Mesir tersebut telah memikatnya saat itu. Akibat membaca tulisan Sayyid Qutb tersebut ia pun mengakui bahwa dirinya mengalami perubahan atau hijrah.
“Terguncangnya” Ulil oleh karya tulis Sayyid Qutb itu terjadi saat Ulil masih berstatus santri di sebuah pesantren di tanah Jawa.
“Saya dulu pernah mengalami “hijrah”. Bahkan dua kali, sampai “tanduk” (nambah). Pertama waktu di pesantren, kedua waktu kuliah. Kok bisa hijrah saat di pesantren? Memang aneh sih, hijrah kok saat di pesantren,” tulis Ulil dalam utas panjangnya di Twitter pada Jumat (01/10/2021) pantauan hidayatullah.com.
“Saat di pesantren, saya pernah dapat “lungsuran” kitab Ma’alim fi al-Tariq karya Sayyid Qutb. Tahu kan siapa dia ini? Dialah ideolog kelompok Ikhwan di Mesir; mati dieksekusi pada 1966 oleh Gamal Abdel Nasser, presiden Mesir saat itu.
Buku ini terus terang “mengguncang” saya,” tambahnya.
Ia juga mengakui, buku karya Sayyid Qutb itu ditulis dengan indah. “Yang paham bahasa Arab, pasti akan menikmati manifesto yg ditulis Sayyid Qutb itu. Isinya sederhana tp “electrifying“: menganalisis masyarakat Muslim saat ini. Qutb mengatakan: umat Islam skg sudah kembali menjadi “jahiliyyah” lagi.
Kenapa? Karena semua umat Islam saat ini hidup di bawah pemerintahan-pemerintahan yang tidak melaksanakan syariat Islam. Hukum-hukum yang menguasai kehidupan umat Islam saat ini adalah hukum kafir. Jahiliyyah, karen itu, meraja-lela di semua negeri-negeri mayoritas Muslim. Apa solusinya?” tulis Ulil
Kata Sayyid Qutb sebagaimana dikutip Ulil lewat Twitter, “harus ada “elit kecil” (ia sebut “nukhbah“, “thali’ah“) yang menjadi garda depan, memimpin perjuangan menghancurkan sistem jahiliyyah itu. Intinya: elit kecil, tapi militan.”
Tak heran jika Ulil sampai “terguncang” membaca karya Sayyid Qutb tersebut. Sebab, teori Sayyid Qutb tersebut bahkan telah mengilhami beberapa gerakan yang disebut Ulil sebagai Islam radikal di Mesir.
Ulil menuturkan, analisis Sayyid Qutb itu memikat Ulil yang masih seorang santri berumur 18 tahun saat itu (tahun 1987). “Usai baca buku Qutb ini, saya merasa bahwa dunia sekitar saya adalah “gelap” sekali; saya seperti melihat ke-jahiliyyah-an di mana-mana. Saya merasa sebagai satu-satunya yang paling Islami. Lucu!” tulisnya dengan menambahkan emoticon wajah menyeringai.
“Andai saat itu sudah ada internet, mungkin saya sudah direkrut oleh kelompok radikal. Walau secara fisik tinggal di pesantren tradisional, tetapi secara “pikiran” saya sudah disihir oleh ide-ide Qutb. Saya merasakan perubahan dalam diri saya.
Untungnya, peristiwa itu terjadi pra-era internet,” tulisnya.
Ulil mengaku terkena “sihir” Sayyid Qutb ini hanya sebentar saja. Sekitar setahun. “Setelah itu, saya balik menjadi santri “normal” lagi — ngaji kitab, baca majalah Prisma, artikel2 Gus Dur di Kompas, kolom2 Caping-nya Goenawan Mohamad, dsb. Bacaan2 ini telah menyelamatkan saya,” ujarnya.
Selain tentang Sayyid Qutb, Ulil juga menyampaikan “pengalaman hijrahnya” di tempat lain. Setelah “hijrah” pertama saat masih mondok tersebut, “hijrah” kedua yang dituturkannya adalah saat Ulil kuliah di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam and Arab (LIPIA) Jakarta, mulai 1989.
“Setahun pertama kuliah, tak ada apa2. Tahun kedua, saya diajak oleh seorang teman untuk “jalan2” ke Puncak. Sebagai anak kampung, seneng dong diajak ke Puncak. Sampai di sana, ternyata dicuci otak dlm sebuah “daurah.”,” tuturnya.
“Belakangan baru saya tahu, daurah ini dikelola gerakan yg biasa disebut Tarbiyah, cikal bakal PKS. Pertama2, saya menikmati liqa’/pertemuan2 dlm daurah ini. Ketemu banyak teman, ada informasi baru. Daaan yg penting: semangat menggebu2. Sebagai anak muda, suasana ini menyenangkan,” tambahnya.
Ulil pun mengaku bahwa ia berada dalam gerakan Tarbiyah itu selama dua tahun. Setelah itu, Ulil mengakui kecewa karena kata dia suasananya yang doktriner. “Saya ndak suka indoktrinasi. Akhirnya saya keluar dan mendirikan kelompok studi (secara diam-diam) di LIPIA. Saya ajak anak-anak NU yang kuliah di sana untuk gabung.”
“Saya ajak anak-anak LIPIA yang berlatar NU untuk diskusi soal-soal sosial-politik, membaca buku-buku Mizan (colek Mas @Haidar_Bagir), karya-karya Cak Nur, dan membicarakan masalah-masalah Indonesia. Bagi mereka, ini seperti angin segar, selingan dari perkuliahan yg isinya hanya buku-buku berbahasa Arab,” tambahnya lagi.
Setelah itu, Ulil kemudian ikut mendirikan PMII (organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan NU) di LIPIA. “Ini berita yang agak mengagetkan. Suasana kemahasiswaan di LIPIA sangat didominasi oleh gerakan Tarbiyah yang militan. Kehadiran PMII seperti “pemberontakan”,” sebutnya.
Dua “Hijrah”
Begitulah cerita singkat dua peristiwa “hijrah” yang dialami oleh Ulil. Ia pun mengaku tidak menyesal pernah mengalami dua “hijrah” itu.
“Bagi saya, ini adalah proses pendewasaan intelektual dan spiritual yang mengasyikkan. Belajar dari pengalaman ini, saya mencoba bersikap “adil” kepada anak-anak muda yang hijrah saat ini. Tidak “judgemental“,” ujarnya.
Ulil mengaku tidak menyalahkan anak-anak muda yang mengambil jalan hijrah. Semua orang mengalami perkembangan, tidak statik. Anak-anak muda hijrah itu, tambahnya, suatu saat, pasti akan “berproses”, berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang beragam, “terbentur” kiri-kanan. “Semuanya adalah proses pendewasaan,” sebutnya.
Poin yang hendak Ulil kemukakan yaitu jangan “menghakimi” anak-anak muda yang masih dalam pencarian. Berikan mereka kesempatan bertumbuh. “Saya beruntung, ayah saya tidak “mencampuri” perkembangan diri saya saat menjalani hijrah dulu. Ayah saya yang kiai kampung itu, membiarkan saya berproses,” imbuh Ulil.
Menurut Ulil, masa-masa muda adalah momen yang mengasyikkan untuk bereksperimen dalam gagasan. “Saya pernah bereksperimen dengan banyak model gagasan: konservatif, fundamentalis, sosialis, liberal. Saya nikmati semuanya sebagai proses pendewasaan yang mengasyikkan. Sekian,” pungkasnya lewat akun twitter @Ulil itu.*