Maka, mari kita jangan jadi saintis yang offside, kecuali kita memang paham dan pakar
Oleh: Dr. Budi Handrianto
Hidayatullah.com | SAINS, menurut Imam al-Ghazali, tidak bertentangan dengan agama. Bahkan justru bisa menjadi bukti yang tidak terbantahkan.
Mengapa demikian? Karena sains adalah penjelasan atau tafsir tentang fenomena alam (description of nature). Alam adalah ayat Allah dan tafsir terhadap ayat-ayat Allah sah-sah saja. Namun demikian, “kepastian” sains telah menimbulkan malapetaka bagi sebagian manusia, terutama di kalangan saintis.
Dalam kitab al-Munqidz min al-Dhalal (Pembebas dari Kesesatan) Imam al-Ghazali mengemukakan beberapa kelompok pencari kebenaran, di antaranya para saintis. Jaman dulu, saintis sebagaimana makna yang kita pahami sekarang, disebut dengan filosof. Sementara filosof (ahli filsafat) yang kita pahami saat ini, dulu disebut dengan ahli metafisik.
Menurut Imam Ghazali, orang yang melihat kesempurnaan sains ini kagum terhadap para saintis dan akhirnya mengira bahwa semua ilmu yang mereka kuasai itu kuat dan tepat, sepertinya halnya sains. Kemudian ketika para saintis ini menyatakan pendapat yang mengandung kekufuran dan meremehkan agama, mereka pun mengikutinya.
Mereka beralasan, kalau sekiranya agama itu benar, masak para saintis itu tidak mengetahuinya. Padahal mereka itu kan orang-orang yang cerdas otaknya dan mendalam terhadap ilmu sains.
Pendapat saintis tentang sesuatu yang menyangkut kekufuran dan menganggap remeh agama, mereka anggap itulah kebenaran, karena disampaikan oleh para saintis. Tidak sedikit orang terjerumus menjadi kufur dan sesat karena persoalan ini.
Baca: Islam dan Sekularisasi Sains dalam Pendidikan
Padahal mestinya mereka bisa menilai secara jelas dan tegas, bila ada pendapat dari saintis yang kelihatan kufur dan meremehkan agama, maka seharusnya ditinggalkan. Sebab, saintis yang pakar pada disiplin ilmu belum tentu pakar di bidang yang lain.
Ahli fikih belum tentu paham ilmu kedokteran, demikian pula sebaliknya. Ahli fisika belum tentu paham ilmu tata bahasa, demikian pula sebaliknya. Seorang yang ahli di satu bidang tidak otomatis menjadi ahli di bidang lain. Tiap pekerjaan ada ahlinya meskipun dia tidak pandai pada bidang lainnya.
Memang argumen para saintis tentang sains bisa dibilang mempunyai bukti yang kuat. Tapi pernyataan mereka -terutama saintis atheis, tentang agama dan tuhan hanyalah terkaan dan perkiraan belaka karena mereka bukan ahli di bidang agama.
Mereka -saintis atheis itu, telah offside dalam memberikan pendapat. Mereka tidak tahu tentang agama dan tuhan namun mencoba dengan “kecerdasan” otaknya mengira-ngira tentang tuhan. Jadi meskipun mereka pandai, mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang tuhan dan agama.
Namun jika pernyataan ini didengar oleh orang yang taqlid tadi, mereka tidak akan menerima. Bahkan karena memang enggan beragama dan berlagak pandai, ia akan terus saja mendewa-dewakan saintis tersebut dalam segala-galanya.
Ini adalah musibah besar. Maka, orang yang terjun di bidang sains harus diingatkan. Sebab, meskipun tidak ada hubungannya dengan agama, namun biasanya orang-orang yang terjun dalam sains seringkali melalaikan agama.
Kita dapati saat ini, banyak orang mengikuti pendapat tentang tuhan dan agama dari para saintis Barat seperti Stephen Hawking, Richard Dawkins, Yuval Noah Harari, Neil deGrasse Tyson dan lainnya, sebelumnya ada Charles Darwin, Karl Marx, Freud, Feurbach dan sebagainya. Tidak dapat dielakkan, mungkin karena merasa tahu banyak hal, mereka pun merasa tahu tentang tuhan juga.
Lalu mereka bicara tentang alam, Tuhan dan agama. Di sinilah mereka offside. Seperti seorang kiai yang merasa hafal kitab Alfiyah lalu berbicara soal Mekanika Fluida atau Sebaran Gauss, walaupun yang seperti ini tidak ada -atau jarang, kita dapatkan.
Baca: Islam tanpa Sains?
Dalam karya terakhirnya, Stephen Hawking menulis buku Brief Answers to the Big Questions. Buku terjemahan dalam Bahasa Indonesia sudah ada. Buku ini terbit pada bulan Oktober 2018 atau tujuh bulan setelah Hawking meninggal Maret 2018.
Buku ini sebenarnya belum selesai, namun kemudian diselesaikan oleh rekan dan keluarganya. Dari membaca judulnya saja kita bisa tahu buku ini tentang apa. Dan benar, di bab 1 Hawking menaruh judul: Apakah Tuhan Ada? Tentu kitapun sudah bisa mengira-ngira apa kesimpulannya.
Di halaman 26 dia menulis, “Ketika orang bertanya kepada saya apakah Tuhan menciptakan alam semesta, saya memberi tahu mereka bahwa pertanyaan itu sendiri tidak masuk akal. Waktu tidak ada sebelum Big Bang sehingga tidak ada waktu bagi Tuhan untuk membuat alam semesta.” Lalu berikutnya dia berkata, “Apakah saya memiliki iman? Kita masing-masing bebas untuk mempercayai apa yang kita inginkan dan pandangan saya mengenai hal itu, dalam penjelasan yang paling sederhana, adalah tidak ada Tuhan. Tidak ada yang menciptakan alam semesta dan tidak ada yang mengarahkan nasib kita.” Dan masih ada 9 pertanyaan lain dalam buku itu yang mungkin bisa mengguncang aqidah kita.
Maka, mari kita jangan offside, kecuali kita memang paham dan pakar mengenai hal itu. Saya pernah menulis artikel tentang sains. Ada yang menyanggahnya.
Bukan menyanggah artikelnya, tapi mengatakan saya bukan orang sains. Sudah saya jelaskan latar belakang saya juga sains, tapi tidak percaya. Mungkin dianggapnya saya muggle atau half-blood dalam dunia sihir Harry Potter.
Namun ketika saya browsing, orang sains ini ternyata juga bicara soal Tuhan. Ya saya merasa sebagai saintis dia bersifat tidak adil.
Tulisan ini ingin mengajak diri saya pribadi dan rekan-rekan saya yang terjun di bidang sains untuk memahami Tuhan dan agama lebih mendalam. Tidak sekedar kulit, browsing di internet atau kata orang.
Pelajari dari sumbernya melalui guru-guru yang ilmunya mendalam, terpercaya dan berakhlak mulia. Sehingga, ketika kita bicara sains yang dikaitkan dengan Tuhan dan agama, kita tidak offside.*
Penulis adalah Peneliti INSISTS