Oleh: Syahrial Zulkapadri
sambungan dari artikel PERTAMA
Siapa tak Beradab, tiadalah iman dan Tauhid
ISTILAH adab juga merupakan salah satu istilah yang terdapat dalam pendidikan akhlak sebagai landasan dasar dalam Islam. Para ulama telah banyak membahas makna adab dalam pandangan Islam. Istilah adab dapat ditemukan dalam sejumlah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam.
Misalnya, Anas ra meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:
اكرموا أولادكم و احسنوا ادابهم
“Muliakan anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka.” (HR. Ibn Majah)
Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari, misalnya dalam kitabnya, Adabul Alim wal-Muta’allim, mengutip pendapat Imam al-Syafi’i yang menjelaskan begitu pentingnya kedudukan adab dalam Islam. Bahkan, sang Imam menyatakan, beliau mengejar adab laksana seorang ibu yang mengejar anak satu-satunya yang hilang.
Secara umum, menurut Kiai Hasyim Asy’ari, tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakikatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.
Jadi, itulah pentingnya kedudukan adab dalam ajaran Islam.
Lalu, apa sebenarnya konsep adab? Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam Islam disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu. Menurut Prof. Naquib al-Attas, adab adalah pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan derajat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta. Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. Keduanya sia-sia karena yang sau mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan kejahilan. (SM Naquib al-Attas, Risalah untuk kaum Muslimin, ISTAC, 2001, h. 85)
Begitu pentingnya masalah adab ini, maka dapat dikatakan, jatuh-bangunnya umat Islam, tergantung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Manusia yang beradab terhadap orang lain akan paham bagaimana mengenai dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama yang shalih beda dengan martabat orang fasik yang durhaka kepada Allah. Jika Allah Subhanahu Wata’ala menyebut dalam al-Qur’an, bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa , maka seorang yang beradab tidak akan lebih hormat kepada penguasa yang zalim ketimbang guru mengaji yang shalih di kampung.*/bersambung “Pendidikan Karakter belum jadi Rujukan”
Penulis adalah peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) ISID Gontor angkatan V