Hidayatullah.com– Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia Ke-5 di Pesantren At-Tuhidiyah Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah yang berlangsung sejak 07 -09 Juni 2015 akhirnya berakhir pada hari Selasa (09/06/2015).
Sejumlah fatwa penting yang dihasilkan dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia adalah masalah takfiri yang dibahas Komisi A.
Dalam pembahasan masalah takfir dan kriteria pengkafiran (Dhawabit At-Takfiri) yang masuk dalam Masail Asasiyyah Wathaniyyah (Masalah Strategis Kebangsaan) ini, Komisi Fatwa MUI mengeluarkan sembilan kesimpulan.
Pertama, pada prinsipnya, orang yang telah bersyahadat (beragama Islam) berlaku atasnya semua hukum-hukum Islam, dan orang yang keluar dari Islam (kafir) batal atasnya hukum-hukum Islam.
Termasuk pernikahannya secara otomatis juga batal, tidak ada hak asuh baginya terhadap anaknya, tidak ada hak untuk mewariskan dan mewarisi, dan jika meninggal dalam keadaan kufur tidak dikubur di pemakaman Islam serta mendapat laknat dan akan jauh dari rahmat Allah Subhanahu Wata’ala.
Kedua, kafir adalah orang yang menentang dan menolak kebenaran dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang disampaikan Rasul-Nya. Kafir dalam hal ini ada empat macam yakni, kafir inkar yaitu mengingkari tauhid dengan hati dan lisannya; kafir penolakan (juhud) yaitu mengingkari dengan lisannya dan mengakui dalam hatinya; kafir mu’anid yaitu mengetahui kebenaran Islam dalam hatinya dan dinyatakan oleh lisannya, namun ia menolak beriman; kafir nifaq yaitu menyatakan beriman dengan lisannya, namun hatinya mengingkari.
Ketiga, memvonis kafir (takfir) adalah mengeluarkan seorang muslim dari keislamannya sehingga ia dinilai kafir (keluar dari agama Islam).
“Takfir merupakan hukum syariat yang tidak boleh dilakukan oleh orang-perorang atau lembaga yang tidak mempunyai kredibilitas dan kompetensi untuk itu. Vonis kafir harus diputuskan oleh lembaga keulamaan yang diotorisasi oleh umat dan Negara,” demikian kesimpulan Komisi Fatwa MUI.
Keempat, saat ini munculnya dua sikap ekstrim; pertama, menganggap enteng bahkan meniadakan vonis kafir (tafrith fi at-takfir). Dan kedua, mudah memvonis kafir (ifrath fi at-takfir). Dengan ini, MUI mengharap umat Islam bisa menghindarkan diri agar tidak terjebak ke dalam salah satu dari dua ekstrim tersebut, yaitu dengan mengambil pendapat yang adil dan tengah (wasath).
Kelima, vonis kafir sedapat mungkin dilakukan sebagai upaya terakhir dengan syarat dan prosedur yang sangat ketat, kecuali telah nyata dan meyakinkan melakukan satu dari tiga penyebab kekafiran sebagai berikut;
a. Kekafiran I’tiqad (mukaffirat i’tiqadiyyah), segala macam akidah dan keyakinan yang bertentangan dengan salah satu rukun iman yang enam atau mengingkari ajaran Islam yang qath’i (al-ma’lum min ad-din bi ad-dharurah).
b. Kekafiran Ucapan (mukaffirat qawliyyah), yaitu setiap ucapan yang mengandung pengakuan atas akidah kufur atau penolakan terhadap salah satu akidah Islam atau unsur pelecehan/penistaan agama baik aqidah maupun syariah.
c. Kekafiran Perbuatan (mukaffirat ‘amaliyyah), setiap perbuatan yang dipastikan mengandung indikator nyata akidah yang kufur.
Keenam, vonis kafir ditetapkan setelah benar-benar memenuhi semua syarat-syarat pengkafiran sebagai berikut;
a. Ucapan atau perbuatan yang menyebabkan kekafiran itu benar dilakukan oleh orang mukallaf, yaitu orang yang sudah akil baligh, dan berakal;
b. Ucapan atau perbuatan yang menyebabkan kekafiran itu benar dilakukan tidak dalam keadaan terpaksa. Jika ia dipaksa untuk mengingkari Islam, sementara hatinya masih tetap iman, maka tidak bisa ditetapkan atasnya vonis kafir.
c. Ucapan yang menyebabkan kekafiran itu bukan akibat dari ketidak stabilan emosi atau fikiran, misalnya karena terlampau senang atau sedih.
d. Sudah sampai padanya hujjah dan dalil-dalil yang jelas. Sehingga apabila muncul penyebab kekafiran karena kebodohannya, misalnya karena ia tumbuh di tempat yang jauh dari jangkauan Islam, atau baru saja masuk Islam, maka tidak boleh baginya divonis kafir.
e. Tidak karena syubhat atau takwil tertentu. Seseorang yang melakukan takwil atas nash dengan niat untuk mencapai kebenaran, bukan karena hawa nafsunya, seandainya ia salah dalam hal itu maka tidak bisa ditetapkan atasnya vonis kafir.
f. Vonis kafir harus ditetapkan berdasarkan syara’ dan bukan oleh opini, hawa nafsu, atau keinginan pihak-pihak tertentu. Kalau tidak demikian maka tidak boleh dihukumi kafir.
Ketujuh, sebelum menetapkan vonis kafir harus dilakukan terlebih dahulu semua ketentuan sebagai berikut;
a. Harus dilakukan verifikasi dan validasi secara jelas semua hal-hal terkait dengan i’tiqad, perkataan, dan perbuatan yang menyebabkan kekufuran.
b. Vonis kafir ditetapkan secara hati-hati sebagai langkah terakhir setelah upaya-upaya lainnya dilakukan, dengan maksud menjaga jangan sampai umat Islam lainnya terjatuh pada kekufuran serupa.
c. Menghindari pengkafiran individual-personal kecuali setelah tegaknya hujjah yang mu’tabarah.
d. Vonis pengkafiran hanya boleh dilakukan secara kolektif oleh ulama yang berkompeten yang memahami syarat-syarat dan penghalang takfir.
Kedelapan, setiap kesesatan yang ditetapkan setelah melalui prosedur penelitian dan fatwa yang ketat, sudah pasti adalah sesat. Namun tidak setiap kesesatan yang telah difatwakan otomatis adalah kekafiran dengan segala konsekuensi syar’inya.
Kesembilan, dosa besar yang dilakukan oleh seorang muslim tidak otomatis menjadikannya kafir. Dalam paham aqidah ahlussunnah wal jamaah, dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang meskipun dilakukan berulang-ulang tidak membatalkan syahadatnya sehingga tidak membuatnya menjadi kafir, selama dia tidak menghalalkan perbuatannya itu.
Kesepuluh, untuk memutuskan suatu keyakinan, ucapan, dan perbuatan adalah kufur, adalah kewenangan MUI Pusat dengan persyaratan dan prosedur yang ketat.*