Oleh: Dr. Adian Husaini
PADA 5 Mei 2015, dari Yogya kami melanjutkan perjalanan ke Kota Solo (Surakarta). Pagi itu, sekitar 60 peserta pelatihan pemikiran Islam sudah menunggu di Islamic Center Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Surakarta. Di sini kita membahas perkembangan paham liberalisme dalam berbagai aspek bidang kehidupan dan tingkatan – mulai tingkat eceran sampai borongan.
Sejak MUI mengeluarkan fatwa Sipilis (Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme) tahun 2010, berbagai dinamika pemikiran berlangsung dengan sangat dinamis. Kaum liberal tidak ridho dengan fatwa MUI. Mereka melakukan berbagai upaya untuk melemahkan fatwa MUI. Berbagai buku diterbitkan. Sejumlah disertasi disusun, diluluskan, dan diterbitkan untuk melemahkan fatwa MUI.
Salah satunya, sebuah disertasi Ilmu Tafsir di UIN Jakarta yang diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul “Argumen Pluralisme Agama”. Sederet tokoh terkenal dimuat komentarnya. Tentu dengan tujuan memberikan kesan bahwa disertasi itu berkualitas tinggi, sehingga memperkuat dukungan terhadap paham pluralism agama. Seorang Profesor mantan ketua suatu Ormas Islam, dikutip komentarnya pada sampul belakang buku ini: “Al-Quran jika dipahami secara jujur dan cerdas bersikap lebih toleran dibandingkan dengan sikap sebagian umat Islam yang berpikir parsial. Intelektual muda Muslim … telah bertungkus lumus meneliti pandangan Islam terhadap pluralisme agama berdasarkan dalil-dalil normatif dan historis yang dipahami secara adil dan proporsional, sebuah upaya akademik yang bernilai tinggi dan berjangkauan jauh.”
Tentu saja, kita menghargai setiap karya ilmiah, apalagi yang bernilai tinggi. Akan tetapi, di atas semua itu, kebenaran dan kejujuran ilmiah lebih penting. Banyak hal yang bisa dikritisi pada buku ini, khususnya pada soal kejujuran dan logika ilmiah. Misalnya, saat menafsirkan QS al-Baqarah: 62, ditulis: “Jika diperhatikan secara seksama, jelas bahwa dalam ayat itu taka da ungkapan agar orang Yahudi, Nasrani, dan orang-orang Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti pernyataan eksplisit ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dengan keimanannya, orang-orang Yahudi, Nasrani dan Shabiah yang beriman kepada Allah dan hari Akhir serta melakukan amal saleh – sekalipun tak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang Yahudi, Nasrani dan Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para mufasir dan bukan ungkapan al-Quran.”
Kita patut bertanya, apakah benar, disertasi tersebut bernilai tinggi dan berjangkauan jauh? Dengan logika sederhana saja kita bisa mengkritisi kesimpulan tersebut. Bagaimana mungkin kaum yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw bisa beriman kepada Allah dan Hari Akhir dengan benar?
Orang yang menolak beriman kepada Nabi Muhammad saw, pastilah tidak beriman kepada al-Quran. Hingga kini, kaum Nasrani tetap mengangkat Nabi Isa sebagai Tuhan atau anak Tuhan. Itu artinya, mereka menserikatkan Allah dengan makhluk-Nya. Karena itulah, kaum seperti ini dimurkai Allah Subhanahu Wata’ala. (QS 19:88-91). Kaum Yahudi juga tidak mengakui Nabi Muhammad saw sebagai utusan-Nya yang terakhir. Karena itu, kaum Yahudi hingga kini, menolak beriman kepada Allah. Mereka mempercayai Tuhan yang mereka sendiri gagal menyebut nama-Nya, yaitu YHWH.
Sangatlah mustahil, orang yang menolak kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam akan dapat melaksanakan amal shaleh. Amal shaleh menurut siapa? Bagi kaum Muslim, suatu amal disebut ‘shaleh’ jika amal itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Sebab, dialah utusan Allah Subhanahu Wata’ala. Orang yang tidak melaksanakan shalat lima waktu; tidak melaksanakan puasa Ramadhan; menyantap babi; dan meminum khamr; bukanlah orang shaleh, menurut agama Islam. Karena itu, tanpa beriman kepada Nabi Muhammad ShubhanahU Wata’alatidak mungkin seorang menjadi shaleh.
Kita berharap, kaum liberal bersedia menyadari kekeliruan pemikirannya. Manusia itu biasa terjatuh dalam kekeliruan. Tetapi, jika kekeliruan didasari atas hawa nafsu dan kesengajaan, biasanya tidak mudah untuk kembali ke jalan yang benar. Banyak buku, artikel, makalah telah kita tulis untuk menjelaskan kekeliruan paham Pluralisme Agama. Tetapi, tampaknya, penyebaran paham ini terus dipaksakan. Maka, tugas kita adalah terus berdakwah; menjelaskan bagaimana kekeliruan paham Pluralisme Agama yang telah dikritisi para ulama dan cendekiawan dari berbagai agama.
Pada 6 Mei 2015, perjalanan kami berikutnya menuju Universitas Darussalam (Unida) Gontor Ponorogo. Di sini, digelar acara khusus: Bedah Novel Trilogi Kemi. Di luar dugaan saya, mahasiswa – yang juga mahasantri – Unida memenuhi ruang seminar. Lebih dari itu, saya merasakan semangat yang sangat tinggi dari para mahasiswa ini. Beberapa diantaranya menyatakan sudah berulang kali membaca Novel Kemi 1&2. Kehadiran Novel Kemi-3 diharapkan melengkapi cerita dan logika yang telah tersusun pada Kemi-1 dan Kemi-2.
Kepada para mahasiswa Unida, saya menjelaskan, bahwa Trilogi Kemi tetaplah sebuah cerita fiksi. Jika tampak ada kesesuaian antara tokoh-tokoh tertentu dan pemikirannya dengan realitas kehidupan saat ini, itu sebuah kebetulan. Fiksi tetaplah sebuah visi. Entah berhasil atau tidak, melalui Trilogi Kemi, saya ingin menunjukkan hakikat pemikiran dan kejiwaan kaum liberal yang lemah, inkonsisten, dan hina.
Tujuannya agar para santri berpikir serbu kali untuk mencoba-coba pemikiran dan kehidupan liberal. Harta yang mungkin berlimpah, yang mereka terima dari sumber-sumber dana asing, adalah laksana tumbal yang akan memakan korban – bahkan akan memakan dirinya sendiri. Kesenangan duniawi yang sesaat akan dibayar mahal, di dunia dan tentu saja juga nanti di Akhirat.
Melalui Trilogi KEMI, saya juga bermaksud menampilkan gambaran pesantren dan kyainya sebagai lembaga dan pendidik ideal. Sosok Kiai Rois, pejuang Islam yang haus ilmu, sabar, berwawasan luas dan integratif, akhirnya berani mengambil keputusan cerdas: menyerahkan pesantren kepada ustad muda potensial dan dia melanjutkan menimba ilmu ke negeri Muslim yang jauh. Pada KEMI-3, kita bertemu dengan sosok Ibu rumah tangga hebat yang tetap menjaga diri dan putrinya dari pemikiran liberal, meskipun suaminya sendiri adalah gembong penyebar paham liberalisme.
Pada akhir diskusi, saya sampaikan, kiranya para mahasiswa Unida Gontor itu lebih bergairah untuk belajar lebih serius dan berlatih menulis dengan tujuan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Tantangan pemikiran ke depan melalui berbagai media informasi akan semakin rumit dan menantang. Pilihannya hanya satu: kebatilan dilawan dengan kebenaran dengan cara yang lebih baik.* (bersambung)
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com