Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatullah.com | DALAM buku Fiqih Lintas Agama (2004) ditulis: “Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.”
Inilah contoh penggunaan metode kontekstual historis yang menjadikan satu hukum menjadi relatif dan tidak tetap. Padahal, dalam pandangan Islam, masalah agama adalah hal pinsip dalam perkawinan. Seorang muslimah diharamkan menikah dengan laki-laki non-muslim. Itu mutlak. (QS Mumtahanah: 10).
Dengan model tafsir liberal semacam itu, hukum Islam bisa diubah sesuai dengan kemauan siapa saja, karena tidak ada standar dan metodologi yang baku. Padahal, cara seperti ini tidak bisa diterapkan dalam penafsiran al-Quran, sebab al-Quran adalah wahyu yang lafaz dan maknanya dari Allah, bukan ditulis oleh manusia. Karena itu, ketika ayat-ayat al-Quran berbicara tentang perkawinan, khamr, aurat wanita, dan sebagainya, al-Quran tidak berbicara untuk orang Arab saja. Maka, dalam penafsiran al-Quran, memang tidak mungkin lepas dari makna teks, karena al-Quran memiliki teks yang final dan tetap.
Teks al-Quran tidak berubah sepanjang masa, dan maknanya tetap terjaga, sejak diturunkan sampai sekarang dan nanti. Jadi, meskipun ayat tentang khamr diturunkan di Arab, dan dalam bahasa Arab, ayat itu berbicara kepada semua manusia, bukan hanya ditujukan kepada orang Arab yang hidup di daerah panas dan sudah kecanduan khamr. Maka, khamr haram bagi semua manusia, sedikit atau banyak, baik untuk orang Arab atau tidak; baik untuk wilayah beriklim panas atau beriklim dingin.
Begitu pula dengan kewajiban menutup aurat bagi wanita. Ayat tentang kewajiban menutup aurat bagi wanita (QS 24:31 dan 33:59), sudah dipahami seluruh ulama sepanjang sejarah Islam, bahwa wanita muslimah wajib menutup tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan.
Karena ayat al-Quran bersifat universal, maka perintah menutup aurat itu berlaku untuk semua wanita, dan sepanjang zaman, bukan hanya untuk wanita Arab. Sebab, anatomi tubuh seluruh wanita adalah sama, baik Arab, Eropa, China, atau Jawa. Hingga kini, para perancang mode tetap memperlakukan bagian-bagian khusus pada tubuh wanita sebagai daya tarik bagi laki-laki normal. Kontes-kontes ratu kecantikan pun masih tetap menonjolkan dan mengukur bagian-bagian tertentu dari tubuh wanita. Oleh karena itu, sepanjang sejarah Islam, para ulama hanya tidak ada yang berpendapat bahwa wanita boleh memperlihatkan perut atau punggungnya.
Maka, aneh, misalnya, dalam Jurnal terbitan Pusat Studi Gender suatu Perguruan Tinggi Islam, seorang dosen menulis, bahwa aurat adalah konsep budaya, dan tidak perlu didasarkan pada nash. ”Apabila disetujui bahwa “kesulitan” dan “keperluan” merupakan penentu dalam menginterpretasikan teks-teks aurat, maka aurat adalah bukan terminologi agama, artinya batasannya bukan ditentukan oleh teks-teks agama. Dalam hal ini, kata aurat sama halnya dengan kata-kata yang lain seperti aib dan memalukan atau sebaliknya wajar dan sopan, adalah bukan terminologi agama tetapi terminologi sosial budaya yang sangat relatif berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain.” (Vol. 2, Nomor 1, Juni 2006, hal. 66).
Cara memandang Islam sebagai ”produk budaya” menjadi akar dari pola pikir yang merusak syariat Islam. Padahal, Islam adalah agama wahyu yang final. Konsep finalitas dan universalitas teks al-Quran inilah yang patut disyukuri oleh umat Islam, sehingga umat Islam seluruh dunia, sampai saat ini memiliki sikap yang sama berbagai masalah mendasar dalam Islam.
***
Cara penetapan hukum dalam Islam berdasar nash yang tetap. Ini berbeda dengan apa yang terjadi dalam tradisi Kristen. Contoh yang mudah, bisa dilihat dalam hal ayat tentang babi, jika dilihat sejumlah versi teks Kitab Imamat 11:7-8. Dalam Alkitab versi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), tahun 1968 ditulis: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu.”
Tetapi, dalam Alkitab versi LAI tahun 2004, kata babi sudah berubah menjadi babi hutan: “Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.”
Dalam Bibel, juga ada ketentuan tentang keharusan wanita menutup kepalanya dengan tudung. Korintus, 11:5-6, menyebutkan: ”(5) Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. (6). Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya.
Apa yang dimaksud sebagai “tudung kepala bagi wanita”? Daniel B. Wllace, dari Dallas Theological Seminary memberikan paparan tentang berbagai penafsiran tentang hal itu. (Lihat www.bible.org). Di antaranya, ada penafsir yang menyatakan, teks itu tidak ada lagi hubungannya dengan kondisi modern sekarang. (The text has no applicability to us today. Paul is speaking about a ‘tradition’ that he has handed on. Hence, since this is not the tradition of the modern church, we hardly need to consider this text).
Ada lagi yang menyatakan, bahwa yang dimaksud tudung kepala adalah rambut itu sendiri. (The head covering is the hair. Hence, the applicability today is that women should wear (relatively) long hair). Ada lagi yang memiliki penafsiran lain. Dan sebagainya.
***
Rasulullah ﷺ diutus untuk semua manusia, sampai akhir zaman. (QS Saba: 28). Karena itu, syariat Islam bersifat universal; lintas zaman dan lintas budaya. Allah Subhanahu Wata’ala menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang sudah sempurna sejak awal (QS al-Maidah: 3). Jadi, kita patut bersyukur menjadi seorang muslim, sebab memiliki panduan hidup yang abadi dan tidak berubah. (Depok, 14 Oktober 2020).*
Penulis adalah pengasuh PP Attaqwa College (ATCO) Depok