Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Dr. Adian Husaini
ESOK paginya, 7 Mei 2015, kami harus melanjutkan perjalanan ke Universitas Brawijaya di Malang. Di sini ada dua acara sekaligus, yakni Pelatihan Pemikiran Islam dan Bedah Trilogi Kemi. Perjalanan Ponorogo-Malang sekitar lima jam, Alhamdulillah, dengan lancar kami jalani. Sekitar pukul 13.00, acara dimulai, dibuka oleh Wakil Dekan III FISIP-Universitas Brawijaya dan Ketua MIUMI Malang.
Sebagaimana dalam acara sebelumnya, selain membahas peta percaturan pemikiran liberalisme di Indonesia dan strategi penanggulangannya, saya juga menekankan perlunya kita memahami konsep adab dan penerapannya dalam dunia pendidikan. Liberalisme jelas berdampak pada kerancuan pemikiran yang berujung pada loss of adab (hilang adab). Pluralisme Agama yang menyamakan Tauhid dengan Syirik jelas telah mengacaukan tatanan wujud, dimana al-Khaliq disejajarkan dengan makhluk; penyembah Allah disamakan derajatnya dengan penyembah setan.
Sebagian pihak di Indonesia kini berkampanye tentang konsep “Indonesia tanpa Diskriminasi”. Program ini digarap dengan sungguh-sungguh melalui berbagai media komunikasi: televisi, buku, film, dan sebagainya. Mereka pun turun ke jalan, menggelar berbagai aksi, meneriakkan slogan: “Indonesia Tanpa Diskriminasi!” Akan tetapi, apa yang mereka maksudkan dengan “tanpa diskriminasi” hanya terbatas pada diskriminasi “agama”, “aliran keagamaan”, “gender”, dan “orientasi seksual”. (Lihat buku, Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi, Jakarta: Inspirasi.co, 2014).
Buku ini mengambil contoh suksesnya perjuangan kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) di AS dalam meraih “persamaan hak” dan menghapus diskriminasi:
“Keberhasilan paling puncak dari perjuangan kalangan homoseksual adalah diakuinya pernikahan sesama jenis di sejumlah negara bagian di Amerika. Negara bagian Massachusetts pertama kali melegalkan pernikahan sesama jenis pada tahun 2004. Kebijakan ini diikuti oleh sejumlah Negara bagian di Amerika – Connecticut, Iowa, New Hampshire, New York, dan Vermont.
Presiden Barack Obama dalam berbagai kesempatan mendukung disahkannya pernikahan sesama jenis dan akan ikut memperjuangkan legalisasi pernikahan tersebut di tingkat federal.
Yang menarik, keberhasilan itu juga berbarengan dengan penerimaan masyarakat Amerika pada gay dan lesbian. Dalam kurun waktu lama, homoseksual oleh masyarakat Amerika dipandang sebagai kelainan dan secara moral tidak bisa dibenarkan. Masyarakat Amerika dulu juga tidak mendukung pernikahan sesama jenis. Tetapi saat ini, mayoritas masyarakat Amerika bisa menerima pernikahan sesama jenis.” (Menjadi Indonesia tanpa Diskriminasi, hlm. 247-248).
Itulah langkah-langkah yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh kaum liberal dalam memperjuangkan terwujudnya masyarakat tanpa diskriminasi. Dalam pandangan Islam, konsep Indonesia tanpa diskriminasi itu jelas keliru dan tidak beradab. Konsep itu bertentangan dengan UUD 1945 yang menegaskan, bahwa Indonesia adalah Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan juga kemanusiaan yang adil dan beradab. Allah Subhanahu Wata’ala telah jelas mengharamkan perilaku homoseksual. Betapa tidak beradabnya jika perkawinan sejenis itu sampai disahkan di Indonesia. Perilaku homoseksual adalah tindakan yang sangat keji dan kotor. (QS al-A’raf: 80-82).
Pada 7 Mei 2015 malam, usai acara di Universitas Brawijaya, kami langsung melanjutkan perjalanan ke Surabaya. Dua agenda acara sudah menunggu di Kota Pahlawan ini pada esok harinya. Pagi hari, 8 Mei 105, saya diundang ke Sekolah al-Hikmah Surabaya untuk memberikan perbekalan pemikiran Islam pada sekitar 200 siswa SMA yang baru saja menyelesaikan Ujian Nasional. Siang harinya, sudah disiapkan acara Dialog Peradaban di Masjid Nurul Ilmi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Acara terakhir dari serangkaian Pelatihan Pemikiran Islam berlangsung di kampus Politeknik Semarang (Polines), pada 9 Mei 2015. Pagi harinya, saya menyempatkan diri berdialog dengan guru-guru SD Islam Diponegoro Semarang yang bernaung di bawah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Acara di Polines diikuti sejumlah dosen dan mahasiswa Semarang. Secara umum, saya menekankan pentingnya para akademisi muslim tetap mempertahankan worldview Islam, meskipun sehari-hari aktif dalam sistem pendidikan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan konsep ilmu dan pendidikan Islam.
Para akademisi muslim pun perlu mewaspadai penyakit “sekolahisme” yang meletakkan posisi sekolah formal secara berlebihan dalam pendidikan; menyamakan sekolah dengan “mencari ilmu” (thalabul ilmi), sehingga kehilangan kesempatan untuk pengembangan potensi keilmuan secara optimal dalam kehidupan mereka. Sebab, penyakit “sekolahisme” ini berdampak pada banyaknya sarjana yang berhenti mencari ilmu setelah lulus kuliah. Mereka merasa kewajiban mencari ilmu sudah selesai, bersama selesainya jenjang pendidikan formal.
Padahal, setiap muslim wajib mencari ilmu, sepanjang hayatnya. Apalagi, dari bukti-bukti menunjukkan, masih banyaknya pemikiran-pemikiran sekuler-liberal yang dipaksakan kepada anak didik di sekolah-sekolah dan perguruan Tinggi. Justru, saat anak-anaknya mulai memasuki jenjang kuliah di Perguruan Tinggi, para orang tua harus semakin giat menuntut ilmu, agar bisa mendidik anak-anaknya dengan ilmu yang benar, sekaligus membentengi pemikiran mereka dari aneka pemikiran sesat.
Walhasil, Alhamdulillah, demikianlah catatan ringkas perjalanan sepuluh hari di beberapa kota di Pulau Jawa. Alhamdulillah, pada 10 Mei 2015, pagi hari, kami semua tiba di Jakarta dengan selamat.
Kami menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung lahir dan batin atas terlaksananya berbagai program Pelatihan Pemikiran Islam tersebut. Semoga Allah Subhahu Wata’ala senantiasa memberikan bimbingan-Nya kepada kita semua, agar kita bisa meniti jalan kehidupan ini dengan selamat. Amin.*/Depok, 10 Juni 2015
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com