Sifat mazhab yang beragam, tetap menjaga persatuan karena ia berada pada furu’, karena itu perbedaan mazhab menjadi rahmat, berbeda dengan sekte, yang melahirkan perpecahan
Hidayatullah.com | ISLAM tidak hanya memiliki sisi teologis penting, namun juga memiliki ragam pemikiran terhadap beberapa pernyataan sumber ajarannya.
Ia menimbulkan warna warni dalam khazanah keislaman. Hampir dalam setiap disiplin ilmu, corak yang beragam ini muncul.
Dalam fikih misalnya, kita mengenal ikhtilaf atau khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Perbedaan corak pemikiran ini tidak dipungkiri berasal dari ijtihad para ulama.
KH Abdullah bin Nuh pernah menulis kitab yang cukup masyhur nama La Thaifiyyah fi al-Islam (tidak ada sekte dalam Islam). Kitabnya menurut salah satu putra, KH Mustopa bin Nuh, merupakan ringkasan dari kitab karangan sebelumnya, yaitu Ana Muslim Sunniyun Syafi’iyyun (Saya seorang muslim suni bermazhab Syafi’i).
Naskah Kitab
Kitab ini ditemukan pada salah satu muridnya, yaitu KH Ingi Badruzzaman. Halamannya tergolong tipis sekitar 61 halaman, karena berupa ringkasan.
Kitab ditulis dengan menggunakan tangan. Hurufnya mirip dengan khat nasakh. Kitab ini merupakan bahan pidato ilmiah KH Abdullah bin Nuh di UNISBA Bandung (muhadharah ulqiyat fi muhadharah fi jami’ah bandung al-islamiyyah).
Isi kitab cenderung membahas berbagai kajian dalam prinsip usul fikih. Bagian pembahasannya dimulai dengan judul al-muqaddimah (prinsip). Di dalamnya memuat pembahasan pokok dalam kajian usul fikih.
Dari teori tentang mazhab yang ditulisnya, KH Abdullah bin Nuh membedakannya dengan sekte (firqah). Pembahasan permulaan ini menjadi titik awal kajian perbedaan mazhab dengan sekte.
Mazhab bukan Sekte
Judul lengkap kitab ini adalah La Thaifiyyah fi al-Islam bi al-Ragm min Wujud al-Maz}ahib (tidak ada sekte dalam Islam meskipun banyak mazhab). KH Abdullah bin Nuh menegaskan bahwa mazhab memang ada sampai akhir ini.
Namun menurutnya, sekte sejatinya tidak ada dalam Islam. Mazhab berawal dari ijtihad sementara sekte bukan dari ijtihad.
Sekte sepadan dengan kata firqah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2019), sekter diartikan kelompok orang yang mempunyai kepercayaan atau pandangan agama yang sama, yang berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut. Sekte memisahkan diri penganut agama pada umumnya.
Pemikir sosiologi agama, Bryan Wilson (1982) dalam Religion in Sociological Perspective pernah mengemukakan bahwa sekte umumnya adalah kelompok keagamaan atau politik yang memisahkan diri dari kelompok yang lebih besar, biasanya karena pertikaian tentang masalah-masalah doktriner.
Pengalaman di ajaran Kristen, kata Wilson, bahwa sekte mengandung konotasi penghinaan dan biasanya merujuk kepada gerakan dengan keyakinan atau ajaran yang sesat dan yang sering kali menyimpang dari ajaran dan praktik ortodoks.
Dalam sejarah pemikiran keislaman, sekte cukup banyak. Namun keyakinan dan pandangannya berbeda dengan keumuman masyarakat.
KH Abdullah bin Nuh memandang sekte berasal dari hawa nafsu, bukan dari produk pemikiran ijtihadi. Sekte dipandang sebagai ahl al-hawa, yang tidak memperhatikan kaidah berfikir yang benar. Kelompok ini cenderung sesuai dengan kehendak sendiri. Kemunculannya terkadang sesat dan bisa menyesatkan (dhillun wa mudhillun).
Sekte berbeda dengan mazhab. Menurutnya, mazhab adalah hasil ijtihad (natijah al-ijtihad).
Ijtihad merupakan proses seorang faqih dengan mengerahkan segenap kompetensi untuk menggali hukum. Prosesnya melibatkan segenap dimensi keilmuan keislaman, kebahasAAn, al-Qur’an, hadis, juga ilmu lain yang relevan dengan penggalian hukum.
Ijtihad menurutnya menghendaki ra’yu, yaitu proses berfikir yang mendalam sesuai keilmuan untuk menggali hukum dari al-Qur’an dan hadis.
Pada pendahuluan kitab, KH Abdullah bin Nuh menegaskan meskipun mazhab beragam, namun tetap persatuan harus dijunjung tinggi. Ragam mazhab berada pada furu’ bukan pada perkara pokok agama.
Pemikiran KH Abdullah bin Nuh beranjak dari hadis riwayat Abu Dawud dan al-Tirmidzi yang berkaitan dengan pengutusan Muadz bin Jabal ke Yaman. Nabi ﷺ bertanya kepada Muadz, “Dengan apa engkau akan menghukumi sesuatu?” Muadz menjawab, “Dengan kitab Allah (al-Qur’an)”. “Jika engkau tidak menemukannya?”, “Dengan sunah Rasulullah ﷺ”. “ Jika engkau tidak menemukannya?”,”Dengan pemikiranku (ra’yu). KH Abdullah bin Nuh memandang kata ra’yu bermakna ijtihad.
Ra’yu bukan hawa atau pemikiran yang tak berdasar. Ijtihad sejatinya adalah ra’yu.
Ijtihad berawal dari penerimaan terhadap nas al-Qur’an dan sunah. Para mujtahid mendasarkan ra’yu pada nas al-Qur’an dan sunah.
Mereka meyakini bahwa Allah menurunkan hukum relevan pada setiap waktu dan tempat. Di dalamnya terdapat nash yang jelas juga kaidah umum yang mungkin diterapkan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan situasinya.
Keduanya menjadi wilayah ijtihad. Ijtihad akhirnya melahirkan mazhab.KH Abdullah bin Nuh menegaskan bahwa ijtihad menjadi penyebab lahirnya ikhtilaf.
Hal ini berbeda dengan sekte. Sekte bukan beranjak dari nash yang jelas dan kaidah umum yang dapat diterapkan. Sekte berasal dari pikiran yang tidak berdasar.
Posisinya berbeda atau bahkan keluar dari keumuman keyakinan yang dianut masyarakat muslim.
Akhirnya, mazhab ini menjadi rahmat dan melahirkan sikap toleran terhadap beragam pemahaman dan hikmah yang cenderung melahirkan kasih sayang dan persaudaraan. Hal ini berbeda dengan sekte yang berujung pada lahirnya perpecahan.
Pemikiran KH Abdullah bin Nuh ingin meneguhkan bahwa mazhab menjadi keniscayaan dalam ruang historis pemikiran Islam. Mazhab berasal dari metodologi berfikir yang jelas sesuai dengan prosedur keilmuan tertentu. Perbedaan mazhab ditegaskan olehnya berada pada wilayah furu’ .
Kondisi ini melahirkan ragam pemikiran yang dibalut dengan semangat saling memahami dan memperkenankan pihak lain dalam berpendapat. Sehingga, mazhab sejatinya menjadi rahmat bagi umat, bukan perpecahan. Wallahu A’lam.*/ Rudi Ahmad Suryadi