Oleh: Imam Nawawi
UMAT Islam dunia, kembali dikejutkan dengan berita kontroversial. Sebelum ini, setelah eboh kartun Nabi, disusuk kemudian film Nabi. Dan disusul berikutnya rencana akan diterbitkannya seb uah komik Nabi. Adalah majalah satir Prancis, Charlie Hebdo, yang berencana menerbitkannya. Komik tersebut diberitakan akan mengupas kehidupan Muhammad. Tentu saja semua tahu reputasi media ini.
Situs majalah itu menyebutkan mereka menuturkan kehidupan Muhammad dalam gambar sesuai dengan kisah sejarah Islam tanpa tambahan humor. Komik itu akan disusun berdasarkan riset yang disiapkan oleh seorang ahli sosiologi Prancis keturunan Tunisia.
“Itu merupakan biografi yang akan diterima oleh orang-orang Islam karena diedit oleh orang Islam (sendiri),” tutur Stephane Charbonnier, redaktur Charlie Hebdo yang juga menjadi ilustrator buku, dikutip AFP.
Charbonnier menambahkan bahwa gagasan buku komik Nabi Muhammad muncul tahun 2006 ketika surat surat kabar di Denmark menerbitkan kartun Nabi Muhammad, yang belakangan diterbitkan juga oleh Charlie Hebdo. “Banyak yang kita ketahui tentang kehidupan Jesus, tapi kita tidak tahu apa-apa tentang Muhammad,” tuturnya.
Frame Kebebasan dan Penistaan
Ide semacam itu, sekalipun terbukti telah mengundang reaksi keras dari berbagai elemen di dunia internasional, tetap akan bergulir. Sebab, Barat memang tidak mengenal frame berpikir, selain dari kata kebebasan. Apalagi di dunia seperti sekarang, kebebasan berbicara menjadi semakin tidak boleh dibatasi.
Dr Hamid Fahmy Zarkasi (Gus Hamid) dalam bukunya Misykat mengutip apa yang dimaksud kebebasan oleh John Stuart Mill. Menurutnya, kebebasan berbicara adalah kebebasan menyebarkan informasi, pendapat, termasuk mencari, menerima dan memberi informasi dan ide.
Jadi, ide Charbonnier itu menjadi absah dalam frame berpikir Barat. Dan, karena itu segala bentuk pemikiran yang menentangnya dianggap intoleran dan melanggar HAM. Bahkan, jika ada demonstrasi yang menentang ide kebebasan, dianggap tidak dewasa dan uncivilized.
Maka wajar saja jika di Barat, kebebasan menista pun diakui. Sebab, secara legal, pelaku penistaan agama, sama sekali tidak bisa diancam oleh hukum, sekalipun di beberapa negara Barat, termasuk PBB telah memberlakukan Undang-Undang anti penistaan. Karena melarang penistaan agama sama dengan membatasi kebebasan.
Hal itu terbukti pada saat seruan yang disampaikan oleh utusan dari Pakista, Zamir Akram yang secara tegas mengatakan bahwa pnistaan agama merupakan sumber kerusuhan sosial, PBB melalui UNHRC (United Nation Human Right Council) pun segera meluluskan resolusi yang menyatakan bahwa “Penistaan agama sebagai penistaan hak asasi manusia”.
Namun, pada hari yang sama, yakni 26 Maret 2009, tutur Gus Hamid dalam bukunya yang populer itu, lebih dari 200 organisasi masyarakat sipil (civil society organizations) yang berasal dari 46 negara mendesak UNHRC untuk menolak resolusi yang melarang penistaan agama.
Atas hal tersebut, Gus Hamid pun menyimpulkan bahwa, sebenarnya hampir seluruh kasus penistaan Nabi, Tuhan dan kepercayaan agama-agama di Barat bukanlah hasil murni kebebasan berbicara, berpendapat atau berekspresi untuk tujuan-tujuan kreatif yang secara tidak sengaja menista agama.
Akan tetapi, semua gambar-gambar, film, dan belakangan akan muncul komik Nabi, murni merupakan kebencian terhadap agama. Kalau mereka bebas menista agama, maka kebebasan itu menjadi terkotori. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa sejatinya kebebasan menista itu pada akhirnya malah menista kebebasan itu sendiri. Terhadap frame semacam ini, umat Islam dan pemerintah harus secara tegas menyatakan menolak.
Sejarah Penistaan
Umat Islam, tak henti-hentinya menjadi objek penistan, terutama di Barat. Hal ini jika ditinjau secara empiris, mungkin tidak bisa dikatakan sebagai penistaan, karena semua agama di Barat adalah sama. Artinya sama-sama bisa dinistakan. Kasus pelecehan terhadap agama memang tidak saja dialami Islam tetapi juga Kristen.
Seperti yang terjadi pada tahun 2008, festival punk di Linkoping, Sewdia, dimana terdapat poster yang menggambarkan setan yang sedang, maaf, memberaki Jesus di tiang salib. Di dalam poster tersebut terdapat tulisan, “Punx against christ”.
Dan, ketika Charbonnier berencana menerbitkan komik Nabi pun, ia berkilah perlunya kehadiran komik Muhammad itu sebagai upaya untuk mengenalkan sosok Muhammad. “Banyak yang kita ketahui tentang kehidupan Jesus, tapi kita tidak tahu apa-apa tentang Muhammad,” tuturnya.
Di tahun 1989, Salman Rushdie, warga Inggris keturunan India, menulis novel berjudul The Satanic Verses yang isinya menghina nabi dan Al-Qur’an. Kemudian 1997, Tatiana Soskin tertangkap di Hebron ketika mencoba menempelkan gambar Nabi Muhammad dalam bentuk babi sedang membaca Al-Qur’an.
Tahun 2002 peraih hadiah Pulitzer Doug Marlette menyebarkan gambar Nabi Muhammad yang sedang mengendarai truk sedang membawa roket nuklir.
Di tahun 2004, Theo van Gogh dan Ayaan Hirsi Ali produser film asal Belanda membuat film berjudul Submission. Film berdurasi 10 menit itu menggambarkan kekerasan terhadap wanita dalam masyarakat Islam. dalam film itu ditunjukkan empat wanita bugil yang mengenakan bau transparan. Dan, pada tubuh empat wanita itu ditulis ayat-ayat Al-Qur’an.
Tidak cukup disitu, politisi Belanda Geert Wilders pun melakukan langkah-langkah penistaan lebih kejam. Ia membuat film yang diberi judul Fitnah. Film tersebut menggambarkan kekerasan dalam Islam dan dianggap ancaman bagi Barat. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa penistaan adalah wajah buruk dari Barat, yang sangat membenci agama, terkhusus Islam. Hal itu semakin gamblang setelah dunia dihebohkan oleh film murahan dari Barat yang berjudul Innocence of Muslim yang menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak, terutama umat Islam.
Kejahilan
Sumber masalah yang menjadi inti dari seluruh permasalahan Barat dalam memandang Islam adalah kejahilan Barat sendiri. Yaitu cara Barat dalam memandang agama. Bagi Barat, agama adalah dogma-dogma yang dipegang secara keras dan kaku secara fundamental. Persis seperti apa yang pernah dialami masyarakat Barat dalam sejarah peradaban mereka, ketika berada di bawah asuhan otoritas Gereja.
Maka dari itu, Barat lebih memilih worldview yang bersifat saintifik, seperti; empirisme, rasionalisme, dualisme atau dikotomi, sekularisme, desakralisasi, pragmatisme, dan atheisme, serta lain sebagainya. Paham-paham yang demikian itu sama sekali tidak memberi ruang agama, sehingga Barat meyakini bahwa manusialah yang sebenarnya tuhan.
Akibatnya jelas, Barat merasa sangat superior. Barat melihat nilai-nilai Barat sebagai yang terbaik dan universal, yang karena itu bisa diterapkan di seluruh dunia, termasuk dalam kehidupan umat Islam.
Maka, logikanya sederhana, ketika Charbonnier ingin menerbitkan komik Muhammad, ia merasa usahanya itu benar dan harus diterima oleh siapapun, terlebih umat Islam. Meskipun secara empiris, upaya-upaya kontraproduktif semacam lebih menimbulkan kerusuhan daripada penerimaan. Inilah kejahilan Barat.
Barat tetap merasa pandangan hidup dan peradabannya benar, maju dan superior, sementara tidak pernah secara objektif mengevaluasi pandangannya tersebut, benar atau salah. Meskipun penduduk dunia secara lantang meneriakkan kepada Barat bahwa mereka telah salah dalam memandang Islam.
Barat lebih sering menimbulkan kerusuhan daripada kedamaian, kerusakan daripada keindahan, setidaknya itulah yang terjadi ketika mereka hendak mendefinisikan agama (Islam) tanpa ilmu dan niat yang suci.
Seharusnya, sebagai peradaban maju, seperti anggapan Barat sendiri, ketika hendak memahami Nabi Muhammad, tidak dengan melakukan pendefinisian secara subjektif dan sesuka hati, apalagi dibumbui pretensi-pretensi rendahan.
Jika memang ingin mengenalkan Nabi Muhammad ke dunia internasional, apa yang tertera di dalam al-Qur’an, hadits dan riwayat para ulama sudah terlalu lengkap. Anak kecil pun bisa dengan mudah memahami siapa Nabi Muhammad, meski hanya lewat terjemahan. Al-Quran sendiri sudah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa dunia, termasuk Inggris.
Selain penistaan, apakah kita masih percaya media-media Barat ini punya niat baik atas rencana-rencana yang selalu saya membuat kecewa di hati kaum Muslim? Anda pasti tahu jawabannya.*
Imam Nawawi adalah pengajar dan penulis buku “Syukur Membawa Nikmat”