Oleh: Abu Ummah Al Makassari
TANGGAL 13 November 2015, serangkaian serangan penembakan massal, dan penyanderaan—terjadi di Paris, Prancis dan Saint-Denis. Peristiwa itu sedikitnya menyebabkan 129 orang tewas, 89 di antaranya di teater Bataclan. Namun penulis tidak sedang menghakimi siapa dalang sesungguhnya siapa serangan Paris (paris attack).
Bukan juga mengurai dengan pendekatan teori konspirasi maupun investigasi data primer di balik peristiwa yang menggemparkan dunia dan sebagai hari berkabung massal ini.
Penulis lebih fokus melihat peta respon opini kaum Muslimin di Indonesia sendiri.
Ketika Barat di bawah komando AS menyebut pelakunya ISIS/IS dengan bukti munculnya statement yang diklaim dari pihak ISIS/IS, maka banyak kaum Muslimin ikut terbawa permainan Barat.
Setidaknya ada tiga hal penting yang terjadi pasca serangan Paris.
Pertama, Paris Attack sudah diklaim pelakunya ISIS/IS yang oleh intelijen Barat sebagai bagian dari desain proyek “War On Terrorism”.
Jika WTC 9/11 menggunakan sasaran tuduhan Al-Qaidah maka Paris Attack adalah ISIS/IS
Kedua, banyak dari kalangan kelompok Islam mengikuti mindset yang dikembangkan Barat dengan fokus lebih dalam mengurai-menjelaskan pandangan terhadap keberadaan dan sepak terjang ISIS/IS dengan beragam kesesatannya.
Ketiga, banyak yang mengutuk peristiwa tersebut namun di sisi lain tidak proporsionalnya opini media dunia yang menutup mata berbagai penindasan dalam terorisme yang dilakukan Negara (state terrorism) terhadap kaum muslimin di berbagai negara dunia Islam. Di Iraq, di Afghanistan juga di Palestina dan Gaza.
Branding Kekerasan
Dari ketiga penjelasan tersebut bisa ditarik beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, alasan Barat membranding ISIS/IS menjadi sasaran anatara untuk mendeskripsikan entitas pejuang Islam, ajaran jihad dan khilafah sebagai sebuah bentuk dan gambaran yang mengerikan.
Terlepas adanya sikal ghuluw (berlebih-lebihan) kelompok Islam di medan jihad atau pertempuran, memang pada dasarnya suasana medan perang dan medan jihad berbeda karakternya dengan pergolakan pemikiran dan politik yang normal.
Di medan perang, senjata adalah alat komunikasi utama yang menghubungkan antara kelompok yang satu dengan yang lain.
Kedua, melalui peristiwa Paris Attack, Barat menggunakan isu ISIS/IS, sebagai pintu masuk mendiskreditkan ajaran Islam. Termasuk syariah, jihad dan khilafah beserta entitas pejuang yang mengusungnya.
Parahnya dengan menggunakan pendekatan adu domba melalui invisible hand (tangan-tangan tersembunyi). Pola ini sama dengan yang dilakukan pada peristiwa WTC 9/11, di mana Barat mem-branding Al-Qaidah dan Usamah bin Ladin sebagai kelompok yang radikal dan kelompok fundamentalis.
Barat menjadikan kasus Paris dan ISIS/IS untuk menunjukkan pesan pada dunia juga pada kaum Muslimin sendiri, bahwa jihad dan ide khilafah ada hal yang sangat mengerikan dan kejam. Sebuah konspirasi jahat untuk menciptakan pembunuhan karakter terhadap kaum Muslimin berikut ajarannya.
Ketiga, larut dalam pembahasan panjang tentang keberadaan sepak terjang ISIS/IS dengan segala manuver-manuvernya sama halnya dengan melanggengkan dan mengokohkan upaya Barat menggunakan pendekatan adu domba untuk mendiskreditkan Islam dan kelompok pejuang.
Apalagi akhirnya diketahui dengan pendekatan investigasi data primer otak pelaku di balik Paris Attack ternyata bukan ISIS/IS.
Jika demikian yang terjadi, maka Barat telah mengambil keuntungan opini dunia untuk mendiskreditkan Islam dan para pejuang di medan jihad.
Akhirnya perlu kreatifitas untuk mengurai dan merajut realitas politis dan opini media dunia agar tidak terjebak pada skenario perang opini dan jebakan politik yang dikembangkan Barat. Wallahu a’lam bis showab.*
Penulis peminta masalah social dan politik